Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 25 Desember 2009

Pencitraan Masyarakat Madura Swasta

Pencitraan Masyarakat Madura Swasta
Oleh TIRMIDZI*


Samapi detik ini, masyarakat Madura dikenal dengan masyarakat perantau. Di berbagai daerah di negeri ini, khususnya di tempat-tempat perdagangan, tersebar orang Madura. Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, lebih-lebih di pulau Jawa sudah musti memiliki ‘koleksi’ orang Madura. Bahkan di bagian timur pulau Jawa, masyarakat Madura mendominasi dan membentuk komunitas besar yang sering kali dikenal sebagai masyrakat Madura swasta, masyrakat gadungan, masyarakat duplikat, dan masyarakat murtadin karena Maduro ora dan Jowo ora.
Namun demikian, harus diakui bahwa masyarakat Madura swasta tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai yang eksistensinya tidak lepas dari eksistensi masyarakat Madura asli dan Madura itu sendiri. Hal itu disebabkan karena mayoritas mereka adalah keturunan asli orang Madura, pun juga karena mereka telah membawa kultur, budaya, dialektika, dan bahasa resmi Madura. Atribut-atribut ‘Maduraisme’ pun sangat lekat bagi mereka dan kehidupannya. Tidak heran jika ada yang menyatakan bahwa memasuki wilayah timur pulau Jawa, mulai dari Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Banyuwangi, sama halnya dengan masuk ke pulau Madura.
Lebih erat lagi, antara Madura swasta dan Madura murni memiliki keterkaitan citra, dalam artian reputasi keduanya saling bergantung satu sama lain. Sebagai permisalan adalah konflik keagamaan yang terjadi di Situbondo beberapa tahun yang lalu. Dampak negatif konflik tersebut berimbas samapi ke pulau Madura. Tanpa ada pengecualian swasta apa bukan, seluruh masyarakat Madura diklaim sebagai orang-orang keras, kasar, tidak egaliter, dan tidak menghargai pluralitas. Begitu juga sebaliknya, ketika Masyarakat Madura menjadi prakarsa penyelesaian konflik, di Jember misalnya, maka nama Madura menjadi harum. Namun, harus diakui bahwa stigma negatif lebih kuat dan lebih banyak disandangkan bagi masyarakat Madura serta lebih membutuhkan perhatian sejak dini.
Untuk menghindari stigma negatif tersebut diperlukan proses pencitraan demi untuk menampilkan reputasi Madura yang lebih baik. Pencitraan tersebut merupakan PR sekaligus tugas bersama yang amat mendesak bagi masyarakat Madura secara umum. Sedangkan mekanisme pelaksanaannya bias saja berbeda antara satu daerah dengan derah yang lain, yang swasta dan yang bukan swasta. Bagi masyarakat Madura swasta, tugas demikian akan menjadi lebih berat karena mereka hidup di tengah lingkungan yang lebih plural dan hiterogen di banding dengan pulau Madura. Tantangan dan rintangan sudah barang tentu akan lebih kompleks yang sekaligus akan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang lebih ekstra pula.
Oleh karena demikian, mereka dituntut untuk bersikap kreatif dalam mencari upaya-upaya konstruktif pencitraan tersebut. Salah satu upaya yang menurut penulis dapat diaplikasikan oleh masyrakat untuk pencitraan tersebut adalah menafsirkan dan menerjemahkan kaidah usul fiqih ‘al muhafadhatu ala al qodimi al sholih wa al akhdzu ala al jadidi al ashlah’ dalam konteks kehidupan mereka. Penulis yakin jika pesan yang tersirat dalam kaidah tersebut dijalankan secara maksimal maka akan menghasilkan pencitraan Madura yang lebih gemilang di masa depan.
Setidaknya terdapat beberapa pesan penting dalam kaidah tersebut. Pertama, melestarikan tradisi lama yang baik. Dalam artian, bagaimana masyarakat dapat menjaga tradisi-tradisi luhur nenek moyang sehingga tetap eksis di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Misalnya, melestarikan tradisi berbahasa engghi-bhunten dan gotong royong. Sepengetahuan penulis, bahasa Madura yang paling halus tersebut sangat minim di kalangan masyarakat Madura, termasuk Madura swasta. Padahal pelestariannya akan mencerminkan sikap halus dan sopan orang Madura. Sedangkan gotong royong yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Madura akan menjadi simbol integritas dan solidaritas. Jangan sampai sikap demikian diganti dengan virus-virus individualisme sebagaimana telah menjangkit masyarakat kota.
Kedua, mengambil (akhdzu) tradisi-tradisi baru yang lebih baik. Upaya yang kedua ini meniscayakan adanya sikap akomodatif-produktif-kreatif dari masyarakat untuk menciptakan tradisi atau setidaknya mengadopsi tradisi baru yang lebih baik, baik yang datang dari Madura maupun dari luar Madura. Munculnya tradisi ruwetan desa dan petik laut di sebagian masyarakat Madura merupakan angin segar yang mengarah pada penciptaan tradisi baru yang lebih baik. Walaupun pada hakikatnya kedua tradisi tersebut berasal dari Jawa, namun akan lebih baik jika masyarakat Madura juga melaksanakannya. Karena di samping dapat dijadikan momentum ucapan terima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan, juga dapat dijadikan sebagai medium silaturrahmi demi untuk memperkuat ukhuwah ijtimaiyah antar masyarakat.
Ketiga, jika difahami secara terbalik (mafhum mukholafah), maka kaidah di muka meniscayakan kepada masyarakat untuk meninggalkan tradisi-tradisi yang bernilai negatif baik itu dari Madura itu sendiri seperti carok, terlebih yang dari luar semisal pesta minuman keras, sabu-sabu, sek bebas, korupsi, dan semacamnya. Intinya, mereka harus melakukan filterisasi terhadap tradisi-tradisi yang ada. Upaya ini dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk memurnikan tradisi-tradis lokal Madura dari tradisi-tradisi yang negatif sekaligus tidak mencampuradukkan tradisi luhur Madura dengan tradisi luar yang tidak jelas nilainya.
Demikian beberapa uapaya yang dapat dilakukan dalam proses pencitraan masyarakat Madura, khususnya yang swasta. Perlu diingat bahwa sebuah proses tidak akan berjalan secara optimal tanpa adanya kesamaan misi antar masyarakat. Oleh karenanya, mari kita bangun citra Madura dengan bersama-sama menuju Madura masa depan. Masyarakat Madura swasta bukanlah masyarakat duplikasi atau gadungan sebagaimana diasumsikan akhir-akhir ini tapi mereka adalah komunitas yang akan menciptakan Madura yang lebih bercitra dan bernilai adiluhung.



* Penulis Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel, Asal Madura

Membangun Rasionalitas Kaum Nahdliyin

Membangun Rasionalitas Kaum Nahdliyin
Oleh: Tirmidzi*


Tulisan M Kamil Akhyari Benarkah NU Moderat? (Kompas Jatim 03/11/2009) sangat menarik untuk dijabarkan lebih luas. Pasalnya, moderatisme yang ada dalam tubuh NU sudah mulai luntur dan perlu direinterpretasikan oleh kaum nahdliyin, mengingat pula NU saat ini bukan hanya bergerak dalam bidang sosial-keagamaan tapi juga dalam budaya, ekonomi dan politik yang barang tentu lebih luas dan lebih sulit dari sebelumnya.
Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu dan samapi detik ini terkenal dengan moderatismenya. Hal itu terlihat dari paradigma tawasuth, tawazun, dan ta'adul yang sangat lekat pada pola pikir kaum nahdliyin. Di samping itu, dalil ushul fiqh: al muhafdhatu 'ala al qodimi al sholih wa al akhdzu 'ala al jadidi al ashlah yang dipelihara dengan ketat di kalangan nahdliyain juga turut memperkuat asumsi tersebut, hingga pada gilirannya NU sering kali disebut sebagai organisasi yang elastis, yang lentur dan dapat beradaptasi dalam setiap ruang dan waktu.
Di sisi yang berbeda, sikap moderat yang diambil oleh kaum nahdliyin membawa pada pengaburan antara dua sisi, antara putih dan hitam, antara bawah dan atas, antara kanan dan kiri, antara rasionalitas dan intuitif, dan semacamnya. Jaringan islam liberal (JIL) yang lahir dari tubuh NU menunjukkan pemikiran-pemikiran liberal semisal tidak wajib shalat dan melaksanakan haji bukan di bulan haji. Fakta lain, persetujuan pengurus dan warga NU terhadap peraturan wajib jilbab bagi karyawan di beberapa daerah membuktikan radikalitas yang melilit di benak kaum nahdliyin. Dua fakta tersebut jelas sama-sama tidak dilandasi dengan pemikiran yang jernih dan jauh dari rasio. Alih-alih memakai rasio tapi yang terjadi justeru 'pembunuhan' terhadap sikap moderat yang dianutnya sendiri.
Contoh lain, pemilihan yang dilaksanakan oleh kaum nahdliyin baik di ranting, cabang, wilayah, maupun pusat. Ketika terdapat dua kandidat misalnya, yang satu dijadikan calon karena latar belakang pendidikan, keilmuan dan pengalaman dan yang satunya didukung karena berlatarbelakang kiai atau gus, maka jelas yang akan memenangkan kontes tersebut adalah yang berlatar kiai atau gus. kiai atau Gus bagi kaum nahdliyin bagaikan 'Tuhan' yang harus sami'na wa atho'na, harus didukung dalam setiap kesempatan terlepas dari latar belakang dan kredibelitasnya. Tidak heran jika sampai-sampai Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar menulis buku Bila Kyai DiperTuhankan untuk mengkritisi sikap kaum nahdliyin tersebut. Dia menulis bzhwz kaum nahdliyin tidak mau meninggalkan apa kata kiainya, walaupun apa yang dikatakannya bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, terciptalah iklim 'penuhanan' di bawah sadar yang mungkin tidak pernah dikehendaki. (Harotono/10/2001). Apakah sikap nahdliyin yang lebih memilih kiai atau gus daripada yang lain mencerminkan sikap moderat?, masihkah mereka bisa dikatakan rasional?.

Rasionalitas Ala Descartes
Rene Descartes, semasa hidupnya telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan filsafat. Metode-metode yang dia kemukakan merupakan langkah awal lahirnya pemikiran filsafat modern, bahkan dikatakan bahwa dialah bapak filsafat modern. Pada saat itu, akhir abad pertengahan, dunia filsafat telah merosot perkembangannya. Diawali sejak penghujung zaman helenisme sampai kemudian memasuki abad pertengahan, agama, hati dan iman mendominasi, sedangkan akal sama sekali tidak berkutik.
Salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh saat itu adalah rumusan terkenal yang diungkapkan oleh Saint Anselmus dengan pernyataannya credo uz intelligam, yang artinya adalah iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Dalam ungkapan ini, orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus di imani, melainkan orang mengerti karena mengimaninya. Demikian tetap diyakini terutama oleh tokoh-tokoh gereja yang tetap percaya bahwa dasar filsafat adalah iman. Konsepsi ini kemudian menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam prakteknya, karena ketika seseorang telah yakin dan beriman pada sesuatu maka dia cenderung tidak berusaha untuk mengerti. Dia akan menjunjung tinggi, membela bahkan menganggapnya benar walaupun pada hakikatnya keyakinannya salah, dan dia akan tidak support, mencaci dan bahkan menyalahkan yang hakikatnya benar. Sekali lagi itu dikarenakan oleh keyakinan dan keimanan yang terlalu dikedepankan.
Dalam kondisi demikianlah, kemudian Descartes hadir untuk menanamkan dasar filsafat yang baru yaitu akal. Untuk mendukung argumentasinya tesebut ia mengungkapkan metodenya yang terkenal tentang keraguan (Cartesian Doubt) atau yang lebih dikenal dengan cagito Descartes. Ia memulai dengan cara meragukan apa saja, meragukan kepercayaan, meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam di luar dunia, eksistensi orang lain semisal kiai dan gus dan dirinya sendiri bahkan meragukan eksistensi Tuhan. Kemudian keraguan itulah yang memotivasinya untuk selalu berfikir. Oleh karenanya, dia akhirnya berkesimpulan bahwa ia ragu disebabkan oleh berfikir. Tidak mungkin ia ragu jika tidak berpikir. Berfikir yang membuatnya ada, aku berfikir maka aku ada.
Konsepsi Descartes itulah yang selayaknya dibangun di kalangan kaum nahdliyin dewasa ini mengingat menguatnya 'irrasionalisme' dalam tubuh NU itu sendiri. Jika Descartes bisa meragukan eksistensi seseorang, dirinya bahkan Tuhan, maka seyogyanya kaum nahdliyin juga dapat meragukan eksistensi yang lain. Namun yang jelas, keraguan dimaksud bukan untuk mengucilkan eksistensi yang lain tapi lebih pada pembacaan untuk mencari kebenaran dengan berdasar pada rasio dan pengetahuan bukan pada sesuatu yang semu.
Muktamar NU ke 32 yang akan diselenggarakan di Makasar sudah hampir tiba waktunya. Kalau tidak ada kendala, hajatan besar tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 22-27 bulan Maret 2010 mendatang. Beberapa nama kandidat sudah mulai disebut-sebut, seperti Salahuddin Wahid, Said Aqil Siradj, Slamet Effendy Yusuf, Ulil Abshar Abdalla, Masdar Farid Mas’udi, dan lainnya. Toh walaupun nama-nama tersebut sudah tidak asing, tapi memilih salah satu mereka sebagai pengganti KH. Hasyim Muzadi bukanlah perkara yang mudah. Bukan hanya karena akrab, teman seperjuangan, pintar ngaji, keilmuannya mumpuni, liberal, atau fundamental dan semacamnya. Tapi lebih dari itu, harus dilandasi permikiran dan rasionalisasi yang matang. Harus diingat bahwa meragukan eksistensi mereka sebagaimana dilakukan Desacartes bukanlah pekerjaan dosa, melainkan pekerjaan terhormat karena menyangkut kehidupan umat sejagat. Semoga yang terpilih nanti bisa menjadi lokomotif yang dapat membawa gerbongnya dengan baik dan selamat sampai tujuan. Amien…


* Penulis adalah Alumni PP. Annawari Bluto Sumenep Madura

Senin, 23 November 2009

Spirit Pergerakan Mahasiswa

Spirit Pergerakan Mahasiswa

Oleh: Tirmidzi*

Dalam sejarahnya, pergerakan mahasiswa telah banyak melakukan perubahan-perubahan dalam berbagai sektor kehidupan. Yang sangat lekat di benak penulis adalah fenomena tumbangnya orde baru dimana pergerakan mahasiswa memiliki peran strategis dalam prosesnya. Bukan hanya itu, sampai detik ini gerakan mahasiswa terus berada di depan untuk mengawal perubahan baik dalam masalah ekonomi, sosial, politik pemerintahan, pendidikan, dan semacamnya.

Beberapa bulan yang lalu, puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Aliansi Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) se-Jatim berunjuk rasa di depan kantor Pemkab Probolinggo. Mereka menyampaikan beberapa tuntutan terkait dengan masalah pendidikan, ekonomi dan politik. Aksi tersebut digelar setelah diskusi forum BEM di Universitas Zainul Hasan, Pajarakan, Probolinggo, yang diikuti aktivis BEM dari perguruan tinggi di 38 kota dan kabupaten se Jatim. Di antara tuntutannya, mereka meminta kepada pemerintah kota dan kabupaten supaya menganggarkan biaya pendidikan dengan presentase 20,4 persen, optimalisasi dan pemberdayaan pasar tradisional, pengusutan tindakan korupsi yang semakin mengakar di kalangan pemerintah.

Sedangkan mahasiswa yang tergolong dalam Aliansi Pemuda Indonesia (API) berdemo di depan gedung DPRD kota Malang, mereka menolak kenaikan gaji menteri karena tidak sesuai dengan etos kerja mereka di samping juga mereka menuntut pencabutan undang-undang badan hukum pendidikan. (antarajatim.com). Sedangkan di Sumenep Madura, dua kelompok mahasiswa beraksi dipendopo agung Sumenep saat pelantikan anggota DPRD pada tanggal 21 Agustus yang lalu. Aksi yang sama dilakukan oleh mahasiswa Universitas Jember. Mereka turun lapangan dan memenuhi kantor DPRD Jember dengan tuntutan bahwa mereka telah dikokohkan sebagai pengurus, pemerhati, dan pemberdaya masyarakat yang semestinya dilaksanakan secara tegas dan penuh tanggung jawab.

Di Surabaya, pelantikan anggota DPRD diwarnai aksi demo dari berbagai gerakan mahasiswa yang meliputi GMNI, PMII, dan KAMMI. Mereka sama-sama berorasi di sebelah utara pintu gerbang DPRD Surabaya. GMNI-PMII menuntut tiga poin penting yaitu DPRD harus menepati janji politik yang pro rakyat, mereka harus membuka ruang komunikasi yang intensif dengan masyarakat, anggota dewan harus berkometmen tidak melakukan korupsi dan mendukung pemberantasan korupsi di segala bidang. Sedangkan massa KAMMI, yang diawali dengan teaterikal kostum anggota dewan, membacakan lima tuntutan yang di antaranya adalah optimalisasi penyerapan APBD yang pro rakyat, siap mundur jika tersangkut korupsi, produktivitas kunjungan kerja anggota dewan harus dapat dipertanggungjawabkan, mengawal program pendidikan gratis atau paling tidak murah tapi produktif.

Demikian beberapa rentetan aksi pergerakan mahasiswa dalam mengawal perubahan. Agent of change, agent of knowledge dan agent of social control betul-betul menjadi spirit bagi gerakan mahasiswa untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Gerakan aksi bagi mereka sudah menjadi ritual wajib untuk meneliti, mengkritisi, menuntut, menentang, bahkan menolak kebijakan-kebijakan yang dilihat tidak sesuai dengan nurani masyarakat atau menyimpang dari undang-undang yang berlaku.

Ritual Temporal

Walau demikian, dewasa ini terdapat anggapan masyarakat bahwa mahasiswa hanya bisa ngomong dan berdemo dijalanan. Anggapan semacam itu tidak sepenuhnya salah, karena memang sejauh pengamatan penulis bahwa gerakan bagi mahasisaw saat ini hanya semacam ritual mingguan, bulanan atau tahunan. Artinya, gerakan mahasiswa tidak bisa berkesinambungan dalam mengawal perubahan. Mereka melakukan aksi hanya ketika ada momen seperti pemilu, pelantikan, hari bersejarah, dan kasus korupsi, di luar itu mereka diam tanpa kata tanpa aksi.

Kita ambil contoh kasus korupsi di Jawa Tirmur. Penulis melihat mungkin hampir setiap hari terdapat gerakan mahasiswa yang turun ke jalanan melaknat tikdakan korupsi dan menuntut penyelesaian kasus korupsi yang terjadi. Namun apa yang terjadi, korupsi samapi detik ini masih tumbuh subur di kalangan masyarakat Jatim, pemerintah khususnya.. Di Madura, Surabaya, Sidoarjo, Jember, Ponorogo dan lainnya tidak absen dari tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota wakil rakyat. Adakah mahasiswa yang berpartisipasi dan memonetor penyelesaian kasus dugaan korupsi secara tuntas di daerah-daerah Jatim tersebut?, jawabannya jelas 'tidak ada'.

Lebih tragis lagi, saat ini diasumsikan terdapat pergerakan mahasiswa yang ditunggangi oleh kelompok atau instansi yang kurang bertanggung jawab. Ditemukannya demo mahasiswa bayaran di beberapa tempat turut memperkuat asumsi tersebut. Hal demikian membuktikan bahwa spirit pergerakan mahasiswa dewasa ini telah mengalami pergeseran. Semboyan untuk menjadi agent of change, agent of knowledge dan agent of social control sebagaimana disebutkan tidak lagi menjadi spirit pergerakan dalam mengawal perubahan-perubahan dalam kehidupan ini.

Oleh sebab itu, detik ini adalah waktu yang tepat untuk membangun kembali spirit pergerakan mahasiswa mengingat problema yang dihadapi masyarakat semakin kompleks. Kebutuhan mereka akan ide-ide segar anak bangsa semakin mendesak. Bukanlah saatnya sebuah pergerakan bergantung pada momentum atau instansi yang tidak bertanggung jawab, karena ketergantungan terhadap momentum dan instansi tersebut hanya akan membuat gerakan menjadi statis dan mandeg, dan pada gilirannya akan menghambat tercapainya perjuangan pergerakan mahasiswa dalam membangun gerbang pencerahan (Enlightment).

Harus diingat bahwa dalam rentetan sejrah pergerakan mahasiswa memiliki fokus, karakteristik dan spiritnya masing-masing. Pergerakan mahasiswa Angkatan 66 berusaha untuk membumikan isu otoritarian state dengan ‘Ikon tritura’. Angkatan 74 mengusung isu NKK/BKK dengan ‘Ikon otonomisasi’. Angkatan 78 mengangkat isu perlunya merealisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, bahkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan ‘Ikon menolak Soeharto sebagai calon presiden’. Angkatan 98 mengumbar isu reformasi dengan ‘Ikon enam visi reformasi’. Angkatan 2001 dengan isu reformasi jilid 2 berikon ‘Demokratisasi’. Lantas, apa spirit yang akan diusung oleh pergerakan mahasiswa dewasa ini?.


* Penulis Alumni PP. Annawari Seratengah Bluto Sumenep

Senin, 02 November 2009

Radikalisme dan Pemberdayaan Masjid

Radikalisme dan Pemberdayaan Masjid

Oleh: TIRMIDZI



Isu radikalisme agama kembali mencuat seiring menguatnya aksi terorisme di tanah air beberapa pekan terakhir saat ini. Radikalisme agama dianggap sebagai biang keladi munculnya faham-faham sempalan dan kelompok garis keras karena dilandasi dengan pemahaman keagamaan yang kurang komprehensif. Aksi terorisme oleh jaringan Noordin M. Top yang dewasa ini menjadi perhatian banyak pihak merupakan bukti konret dari aplikasi pemahaman keagamaan tersebut.

Bukan hanya itu, secara nyata gerakan radikal juga telah memberikan kegelisahan bagi masyarakat karena tindakan-tindakan mereka yang menyimpang dari substansi agama mainstream. Atas nama agama mereka menyerang, mengebom, bahkan bunuh diri tanpa pilah pilih. Terkait dengan hal tersebut, Karen Armstrong (2001) mengurai ilustrasi mengerikan perihal aksi gerakan radikal. Mereka yang mengatasnamakan agama bisa dengan tega menembaki jamaah yang sedang shalat di masjid, memberondongkan peluru kepada anak-anak sekolah, membunuh para dokter, pasien, dan perawat dalam sebuah rumah sakit, membunuh presiden, dan bahkan mengudeta rezim yang sah. Sungguh sangat mengerikan. Oleh karena itu, gerakan radikal tidak pernah diterima oleh dunia Barat maupun Timur kecuali oleh sekelompok minoritas saja dan aktivitasnya pun bergerak secara sembunyi-sembunyi.

Terkait dengan hal itu, Sudah banyak langkah-langkah antisipatif untuk membasmi gerakan yang sangat merugikan tersebut dilakukan oleh banyak pihak mulai dari pemerintah, agamawan, organisasi keagamaan, dan masyarakat secara umum. Namun, langkah-langkah itu belum mencapai hasil yang maksimal, terlepas apakah langkah-langkah yang dilakukan kurang mumpuni atau ada indikator lain yang mealatrbelakangi kegagalan tersebut.

Memang harus diakui bahwa membasmi radikalisme bukanlah tugas yang mudah, karena radikalisme bukan hanya berupa aksi kekerasan yang dilegalisasi atas nama agama, tapi radikalisme juga terkait dengan pemahaman individu atau kelompok. Di sini penulis mengklasifikasi radikalisme menjadi dua bagian, radikalisme sebagai tindakan dan radikalisme sebagai faham. Radikalisme sebagai tindakan mungkin dapat diselesaikan dengan cara penangkapan, penggerebekan, atau bahkan hukuman mati sebagaimana yang terjadi pada Amrozi Cs dkk. dan Noordin M. Top berserta jaringannya. Namun, radikalisme sebagai faham tidak bisa diminimalisasi dengan cara-cara demikian. Radikalisme dalam arti ini erat kaitannya dengan kerangka berfikir yang sulit diidentifikasi dan mudah menyelinap kapan dan di mana saja.

Sebagaimana informasi yang beredar, akhir-akhir ini gerakan radikal telah menyusup di berbagai tempat ibadah semisal masjid dan gereja. Indikasinya, di tempat-tempat ibadah tersebut memiliki ritual dan forum baru yang tidak sama dengan ritual agama-agama pada umumnya. Melalui forum itulah, gerakan radikal sedikit demi sedikit merubah kerangka berfikir dan keyakinan jamaahnya sesuai dengan pemahaman yang mereka imani. Jelas sangat memprihatinkan bila tempat ibadah semacam masjid dan gereja dijadikan sebagai tempat untuk menebarkan nilai-nilai yang laknat lil 'alamin, padahal agama-agama yang diturunkan oleh Tuhan merupakan way of life yang rahmat lil 'alamin yang secara otomatis fasilitas keagamaan selayaknya dijadikan media untuk menjalin cinta kasih dan toleransi bukan sebaliknya sebagai media saling benci dan arogansi.

Pemberdayaan Masjid

Pada awal islam, masjid memiliki fungsi vital dan strategis terkait dengan kehidupan beragama dan bersosial masyarakat waktu itu. Nabi Muhammad, selaku orang yang membangun masjid kali pertama, menjadikannya sebagai sentral ibadah seluruh umat (muslim). Fungsi ini merupakan fungsi utama masjid itu sendiri, karena masjid adalah rumah Tuhan (baitullah). Selain itu, masjid juga dijadikan sebagai tempat dakwah dan pengembangan pendidikan masyarakat khususnya yang terkait dengan keagamaan. Intinya, masjid adalah wadah untuk membuka kesadaran masyarakat tentang kehidupan mereka baik yang terkait dengan agama, sosial, pendidikan, bahkan politik sekalipun.

Dengan ilustrasi tersebut, gerakan radikalisme yang mulai mengambil alih tempat-tempat ibadah dewasa ini merupakan upaya penggeseran fungsi masjid dari yang semestinya. Terlebih ketika mengingat ajaran kaum radikalis yang cenderung tekstual, rigid, dan penuh pemaksaan yang pada akhirnya memunculkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan substansi agama semisal bom bunuh diri dan terorisme. Oleh karena itu, perlu diadakan upaya-upaya pemberdayaan guna menjaga eksistensi dan fungsi masjid baik kapasitasnya sebagai tempat ibadah, tempat dakwah, tempat pembelajaran, atau yang lainnya.

Setidaknya, upaya-upaya dimaksud dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu upaya kultural dan struktural. Secara kultural, upaya dalam hal ini dapat melihat tradisi pondok pesantren dimana jamaah (santri) dalam kesehariannya dibiasakan mendapat penjelasan keagamaan secara komprehensif dan mendalam, bukan sepotong-sepotong. Dalam meamhami ayat misalnya, seorang kiai atau ustadz menjelaskan secara terperinci secara tekstual maupun kontekstualnya, tentunya hal demikian akan terlaksana dengan adanya tenaga yang mumpuni dan berkompeten dalam bidangnya, bukan asal berjenggot atau bersurban.

Sedangkan secara struktural, upaya ini dapat diimplementasikan dengan mendirikan suatu wadah yang terorganisir yang menjadi controlling semua kegiatan yang ada dalam masjid dan sudah barang tentu SDM dalam organisasi tersebut harus bisa bersikap netral dan tidak mudah terpengaruh dengan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, dibentuknya Forum Silaturrahmi Takmir Masjid dan Musholla Indonesia (Fahmi Tamami), termasuk di Jatim, yang mengusung jargon keagamaan, kebangsaan dan keindonesiaan merupakan langkah struktural yang perlu diapresiasi oleh semua fihak, sehingga orientasi Fahmi Tamami untuk mengembalikan fungsi masjid dan mengamankannya dari gerakan radikalisme yang semakin menjamur dapat terwujud.

Akhiron, segala upaya, termasuk pemberdayaan masjid dari virus-virus radikalisme, tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, maupun kaum agamawan. Elemen-elemen tersebut adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan untuk mencapai tujuan bersama. Wallahu A'lam…



* Penulis Aktif di Ikatan Mahasiswa Sumenep (IkMaS) di Surabaya

Rabu, 21 Oktober 2009

Mewujudkn Agama Humanis

Mewujudkn Agama Humanis
Oleh: Tirmidzi*


Beberapa pekan terakhir, istilah jihad menjadi tema menarik yang sering diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini dalam implementasinya mengatasnamakan jihad, berperang di jalan Tuhan dan atas nama Agama. Benar atau tidak, pemahaman tentang jihad perlu direeksplorasi mengingat erat kaitannya dengan paham keagamaan masyarakat luas. Sehingga ada satu pihak yang menganggap bahwa agama adalah puncak masalah dan kekerasan di samping juga sebagai sumber kebaikan dan perdamaian. Asumsi demikian bisa saja benar karena bisa saja agama dijadikan alat legetimasi tindakan-tindakan yang kurang searah dengan substansinya, dijadikan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindakan kekerasan misalnya.
Menurut Akhyar, paling tidak ada tiga alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindakan kekerasan. Pertama, karena agama adalah ideology. Dalam fungsi ini, di satu sisi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justeru menampilkan bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan. Kedua, karena agama sebagai identitas. Artinya, agama secara spesifik dapat diidentikkan pada kelompok tertentu. Di sinilah terdapat kemungkinan lahirnya tindak kekerasan karena besar kemungkinan terdapat ikhtilaf pemahaman, penafsiran, kerangka berfikir, dan etos kerja antara satu kelompok dengan yang lainnya. Ketiga, karena agama (terkadang) menjadi alat legitimasi hubungan antar manusia sebagaimana telah disinggung di muka.

Agama dan Kekerasan
Walau demikian, terdapat sanggahan dari banyak fihak khususnya kaum agamawan yang mengatakan bahwa agama sama sekali tidak mengandung doktrin amoral semisal kekerasan. Menurut kelompok ini, kekerasan yang terjadi bukanlah bersumber dari agama melainkan dari individu-individu yang mengaku beragama dan agama dijadikan kambing hitam aksi mereka. Walaupun dalam agama-agama terdapat doktri 'perang', bukan berarti agama mengajarkan kekerasan, permusuhan, intimidasi, dan terorisme. Kata jihad, perang dan dakwah mereka maknai sebagai 'mengajak' bukan 'memaksa'. Perlu diingat bahwa agama juga menekankan terwujudnya solidaritas dan toleransi. Islam, Budha, Kristen, Hindu, maupun Katolik merupakan agama yang diturunkan ke muka bumi dari langit dengan tujuan rahmatan lil'alamin, agama cinta kasih dan semacamnya.
Namun di sisi lain, ada juga kelompok yang menganggap agama sebagai biang kerok kekerasan dan intimidasi. Bahkan Karl Marx menganggap agama sebagai candu karena dia melihat realita yang ada di Eropa waktu itu dimana kaum agamawan begitu dominan, sehingga mereka menindas kaum lemah dengan legalisasi agama.. Agama oleh mereka diproyeksikan sebagai penggerak konflik umat beragama. Kejadian-kejadian yang berbau konflik sering kali berpangkal pada permasalahan agama. Konflik Poso, Madura, Sambas, bom bali, bom kuningan, bom hotel Marriot, terorisme yang saat ini kental diperdebatkan kesemuanya memiliki hubungan erat dengan agama atau paling tidak dengan pemahaman keagamaan. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan doktrin agama-agama, tapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia akan tetap berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak dapat dilupakan bahwa agama juga sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam perjalanannya agama akan menjadi sumber intimedasi atau sumber toleransi bergantung pada umat manusia selaku subjeknya.
Menurut Charles Kimball terdapat lima situasi dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindakan-tindakan kekerasan. Pertama, ketika agama mengklaim kebenarannya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kimbal menyontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamintalis. Kedua, ketika agama dibarengi dengan ketaatan yang berlebihan. Dalam hal ini aliran radikalisme menjadi salah satu bukti konkretnya. Ketiga, ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide Negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria. Di Indonesia, kelompok yang merindukan terwujudnya Negara islam dengan pimpinan khalifah sebagaimana di masa lampau juga telah melahirkan agamawan-agamawan garis keras.
Keempat, ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi oleh beberapa hal (a) karena mempertahankan tempat suci (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam (d) untuk mempertegas identitas kelompok melawan orang luar. Kelima, ketika agama memotivasi perang suci (holy war) atau sering kali dikenal dengan istilah jihad. Aksi terorisme yang mengatasnamakan laskar jihad yang sedang semarak di tanah air dapat dijadikan salah satu contoh dari poin keempat dan kelima.
Dengan demikian, segenap umat beragama memiliki tugas yang amat berat dan mendesak, yakni mewujudkan kembali reputasi agama sebagai way of life yang rahmatan lil 'alamin. Tugas tersebut bukanlah hal yang mudah dan spele melainkan dibutuhkan kesungguhan dan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat, bangsa dan Negara.

Agama Humanis
Dari paparan di muka jelas bahwa agama memiliki banyak wajah (multi faces) dan bukan satu wajah (single face). Di satu sisi agama adalah sumber toleransi, namun di waktu yang berbeda dapat menjadi penyulut lahirnya konflik yang berkepanjangan dan menjadi motivasi lahirnya tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi umat beragama. Namun dewasa ini, agama dengan fungsi kedua inilah yang sering tampak dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu mewujudkan agama yang lebih humanis yakni agama yang menghargai hak-hak orang lain baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat, warga Negara, maupun orang beragama.
Terkait dengan agama yang humanis, terdapat dua konsepsi penting yang dimiliki setiap agama-agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu fanatisme dan toleransi. Kedua konsep tersebut harus dipraktekkan secara seimbang. Sebab ketidakseimbangan keduannya akan melahirkan problema tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna doktrin agama mereka yang pada gilirannya menyamaratakan semua agama-agama, dan dari sinilah biasanya konflik bermula. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain atau bahkan terhadap saudara seagama dengan faham yang berbeda.
Agama humanis juga dapat diwujudkan dengan tidak melulu menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan ideologi an sich, namun bagaimana ayat-ayat yang erat hubungannya dengan hubungan antar umat beragama juga dapat dibahas secara panjang lebar dan komperehensif. Harus diingat bahwa berbicara ideologi hanya akan melahirkan sikap sentimen antara satu dengan yang lainnya. Biarkan ideologi sebagai urusan individu masing-masing yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan secara pribadi pula. Wallahu A'lam..



*) Penulis Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Aktivis di Forum Perdamaian Madura (ForMaDu)

Sarwaan Sebagai Tradisi Solutif

Sarwaan Sebagai Tradisi Solutif
Oleh: TIRMIDZI*


Arus modernisasi di satu sisi benar-benar telah memorak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat dewasa ini. Bukan hanya masyarakat kota, tapi wabah modernisasi juga telah menjelma ke dalam kehidupan masyarakat desa. Bukti konkritnya, telah banyak tradisi-tradisi lokal yang sudah bergeser dari substansinya, dan yang lebih tragis ada tradisi yang digantikan dengan tradisi produk modernisasi yang kurang jelas nilai historisitasnya. Fenomena demikian juga terjadi pada masyarakat Madura.
Masyarakat Madura yang terkenal dengan sikap konsolidasi dan gotong-royong yang kuat antarsesama kini telah dirasuki virus-virus individualisme, hedonisme, materialisme, pragmatisme, dan semacamnya. Faham-faham demikian telah mengubah konstruk pemikiran mereka, sehingga pernyataan Nurul Huda (2003) "bahwa di zaman modern ini konstruk pemikiran orang-orang desa tidak jauh berbeda dengan orang-orang kota" akan menjadi kenyataan bagi masyarakat Madura. Setelah penulis perhatikan, banyak di antara mereka yang tidak mengenal tetangga mereka, kurang perhatian dalam masalah sosial, mengabaikan nilai-nilai kultur lokal, dan semacamnya sebagaimana terjadi dalam masyarakat kota.
Pada awalnya, sebagaimana penulis ketahui, dalam masyarakat Madura sangat kental sikap kebersamaan, persatuan, dan penghormatan. Sikap tersebut tercermin dalam slogan yang amat masyhur di kalangan masyarakat Madura "Sataleh settong kategguen", satu tali satu pegangan. Sehingga, apapun statusnya tapi dia masih orang Madura tetap harus dibantu dan dihormati dengan tanpa membedakan stratifikasi sosial, keagamaan atau status lainnya. Ketika salah satu di antara mereka melaksanakan hajatan maka yang lainnya akan membantu sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, bahkan tanpa diundang sekalipun. Jadi tidak heran ketika orang Madura merantau ke daerah luar akan membentuk sebuah komonitas Madura sebagai implementasi kepedulian dan kebersamaan mereka antarsesama masyarakat Madura. Begitu juga ketika salah satu di antara mereka direndahkan martabatnya, dilecehkan, dihina atau lainnya, maka masyarakat yang lain akan dengan rela hati membantu mereka untuk menjaga kehormatan bersama.
Namun ironisnya, tradisi-tradisi sebagaimana disebutkan di muka telah tergeser dewasa ini. Modernisasi dan globalisasi benar-benar telah memarjinalkan budaya dan tradisi masyarakat desa, termasuk masyarakat Madura. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah solutif untuk mereaktualisasikan tradisi-tradisi tersebut dengan membangun kembali kesadaran umat yang kini telah terjangkit virus-virus produk modernisme. Tentunya upaya demikian bukanlah pekerjaan mudah, tapi dibutuhkan kometmen dari semua fihak baik tokoh agama dan masyarakat, pemerintah, dan masyarakat secara umum, di samping juga dibutuhkan media untuk menyalurkan langkah-langkah dimaksud.

Sarwaan Sebagai Solusi
Salah satu media yang musti diapresiasi oleh seluruh masyarakat Madura adalah sarwaan. Sarwaan merupakan salah satu tradisi yang sangat kental di kalangan masyarakat Madura yang sampai saat ini masih eksis. Secara bacaan, ritual ini hampir sama dengan tahlilan namun ada bacaan yang berbeda di beberapa sisinya, di samping juga ritual ini dilaksanakan oleh anggota yang telah terorganisir secara bergilir. Biasanya, dalam acara ini ditambah dengan ceramah keagamaan atau orasi sosial, budaya bahkan politik, sedangkan topiknya bergantung pada permintaan anggota, yang kemudian dilanjutkan dengan bincang-bincang antar anggota.
Melihat mekanisme tradisi tersebut, penulis menilai bahwa tradisi itu dapat dijadikan salah satu media untuk merevitalisasi tradisi-tradisi lain yang mulai pupus ditelan zaman. Yang sangat penting adalah bahwa dalam tradisi sarwaan terdapat nilai-nilai terselubung yang bisa memberikan pencerahan atau penyadaran bagi anggotanya yang pada akhirnya dapat ditransformasikan dalam konteks yang lebih luas. Pertama, nilai spiritual-vertikal. Nilai ini tercermin dari bacaan-bacaan sarwaan yang berisi pengagungan kepada Tuhan, bersholawat kepada sang revolusioner umat manusia di samping juga ceramah atau orasi yang rata-rata diisi dengan tema keagamaan. Nilai demikian dapat membangun konstruk dan spirit baru bagi masyarakat terkait dengan pemahaman keagamaan ditengah badai modernisasi yang seakan terus menghapusnya sedikit demi sedikit, dan pada gilirannya acara demikian akan melahirkan kesadaran tradisi back to religion di tengah masyarakat, khususnya di Madura.
Kedua, nilai sosial-horizontal. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa sikap dan tradisi kebersamaan, gotong-royong dan solidaritas yang amat kuat di antara masyarakat Madura tengah mengalami kemerosotan yang amat pesat. Dalam hal ini tradisi sarwaan memiliki peran yang sangat vital, dimana dengan tradisi tersebut masyarakat dapat bersilaturrahim dan bertukar fikiran satu sama lain sehingga ada saling kesepahaman di antara mereka. Tradisi sarwaan juga menunjukkan kepedulian dan kebersamaan masyarakat kaitannya dengan status mereka sebagai mahluk sosial yang akan selalu membutuhkan orang-orang di sekitarnya. Walaupun hanya dengan suguhan yang sederhana semisal aeng pote, ghuringa geddheng, tapai, tononah sabreng (air putih, pisang goreng, tape, singkong bakar), dan lainnya, mereka tetap hadir bersama demi untuk membangun solidaritas yang sudah mulai terkoyak.
Oleh karena itu, tradisi sarwaan patut dijaga kelestaraiannya karena dapat dijadikan salah satu media solutif untuk mewujudkan kembali tradisi-tradisi yang telah hilang di tengah zaman modern ini. Virus individualisme, materialisme dan pragmatisme yang telah menjangkit masyarakat (Madura) dewasa ini setidaknya dapat diminimalisasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi sarwaan dimaksud. Akhiran, ada sebuah pepatah mengatakan bahwa "menjaga dan melestarikan sebuah tradisi lebih sulit dari menciptakan tradisi itu sendiri".


* Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Rabu, 16 September 2009

Mudik Di Bulan Ramadan

Mudik Di Bulan Ramadan
Oleh TIRMIDZI

Tidak terasa, bulan ramadan telah memasuki sepuluh hari terakhir. Secara teologis, detik-detik bulan ramadan diyakini sebagai hari dan malam penuh keistimewaan. Dalam beberapa literatur, sepuluh hari terakhir ramadan diasumsikan sebagai waktu turunnya malam penuh keberkahan, malam seribu kebaikan atau biasa disebut dengan malam lailatul qadar.
Dari asumsi tersebut, pada hakikatnya orang yang berpuasa dituntut untuk meningkatkan ibadah baik yang sifatnya wajib maupun yang sunnah, dan sebaliknya yaitu meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau yang bisa meminimalisasi nilai ibadahnya. Baca shalawat, istighfar, tahmid, dan i’tikaf di masjid merupakan beberapa contoh yang dipraktekkan oleh Nabi di bulan ramadan, sepuluh hari terakhir utamanya.
Namun tragis sekali, yang terjadi di masyarakat kita justru sebaliknya. Mayoritas mereka sibuk dengan urusan yang kurang jelas nilai plusnya. Sepuluh hari terakhir bulan ramadan misalnya, sudah menjadi tradisi di antara mereka lebih disibukkan pada urusan mudik. Dalam kamus-kamus besar bahasa Indonesia, mudik dimaknai sebagai ‘kembali’ ke kampung halaman baik yang ada di dalam kota, luar kota atau bahkan di luar negeri. Mudik bagi mereka yang hidup di luar kampung halaman, seakan menjadi ritual wajib setiap tahunnya. Ribuan orang siap antre dan rela berdesakan hanya untuk mendapatkan tiket mudik. Pemudik dari tahun ke tahun selalu meningkat. Tahun ini, di Jawa Timur saja di sediakan 6.393 bus yang siap menampung dan mengantar pemudik ke tempat tujuan masing-masing.
Di sini penulis bukan tidak membolehkan mudik. Mudik merupakan momen kebahagiaan dan kesenangan bagi mereka yang lama tidak bertemu dengan sanak keluarga. Sebagai momentum kebahagiaan, maka tidak ada dalil untuk melarangnya. Akan tetapi yang perlu ditekankan disini adalah mudik di bulan yang penuh hikmah dan barokah harus dapat memberikan nilai lebih bagi peningkatan keimanan khususnya, baik keimanan individual maupun sosialnya. Mereka perlu sadar bahwa mudik hanya untuk kembali ke kampung halamannya bukanlah tujuan utamanya. Akan tetapi di dalamnya terkandung makna yang lebih esensial yakni bagaimana mudik—dengan arti kembali—dapat menjadi media pengembalian sifat, watak dan sikap pada tempatnya yang fitrah. Sudah barang tentu, hal demikian tidak bisa dicapai kecuali dengan adanya proses transformasi jiwa atau batin di mana titik pusatnya bersumber dari ibadah atau pendekatan diri kepada Yang Segala Maha. Di sinilah kiranya mudik di bulan ramadan harus dimaknai secara cermat sehingga bukan hanya berupa ritual yang hampa nilai.

Memaknai Mudik
Sebagaimana dijelaskan bahwa mudik bukan hanya dapat dimaknai sebagai kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, mudik khususnya di bulan ramadan dapat dijadikan media untuk mengembalikan diri masing-masing kepada fitrah, sifat hakiki manusia sejati. Dalam artian, mudik dalam hal ini seyogyanya membuahkan adanya transformasi nilai baik pada pribadi masing-masing maupun kepada masyarakat sekitarnya.
Bagi diri sendiri, mudik dapat dimaknai sebagai pengembalian jiwa atau batin pada suasana yang lebih tentram dan tenang, pemantapan keimanan, pengendalian emosi, atau bahkan dimaknai sebagai kembali pada jalan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Ketika antre untuk membeli tiket mudik misalnya dijadikan media untuk mengingat Tuhan dengan berdzikir kepada-Nya, walaupun berdesakan atau bahkan ada orang lain yang mendahuluinya tetap terkendali emosinya, tidak marah-marah dan sabar menunggu, ketika berangkat menuju kampung halaman tidak melanggar aturan lalu lintas, awalnya tidak rajin shalat menjadi semangat, biasanya tidak biasa membaca al-Quran mulai membiasakan diri, dan contoh-contoh lainnya.
Sedangkan bagi orang lain, mudik dapat dimaknai sebagai pengembalian sifat humanitas, sehingga dapat lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi, dan yang terpenting dapat merealisasikan dalam wujud yang riil. Tidak dapat dipungkiri bahwa problema keumatan dewasa ini sangat konpleks, mulai dari pendidikan rendah, peningkatan kemiskinan, peningkatan anak jalanan dan pengangguran, tindakan korupsi di mana-mana, sampai pemenuhan hak yang terabaikan bagi saudara-saudara korban lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo.
Fenomena-fenomena demikian setidaknya dapat merangsang sikap kepedulian kita selaku mahluk Tuhan yang memiliki akal dan rasa termasuk sifat humanitas. Ketika di jalan bertemu dengan orang yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid atau madrasah maka selayaknya untuk menyumbangkan semampunya, atau bertemu dengan orang yang sedang meminta-minta maka seyogyanya juga memberikan apa yang bisa kita berikan.
Salah satu ibadah yang sangat ditekankan di akhir ramadan adalah zakat fitrah. Zakat fitrah ini hukumnya wajib yaitu mengeluarkan sebagaian harta setelah sampai batas yang telah ditentukan oleh agama dan kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang berhak menerimanya sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, dalam ibadah zakat terkandung nilai-nilai humanitas yang semestinya mendapat perhatian penuh dari semua pihak, termasuk para pemudik terlebih ketika mengingat hakikat dari pelaksanaan zakat itu sendiri yaitu untuk membersihkan harta pemiliknya, karena di dalamnya terdapat hak orang miskin yang harus diberikan sekaligus sebagai simbol kepedulian terhadap masyarakat sekitarnya.
Jadi dengan demikian, setelah pemudik sampai di kampung halaman bukan hanya raganya yang kembali, tapi sikap, mental, sifat, watak, harta dan semacamnya juga benar-benar kembali ke fitrahnya. Sehingga dia berhak menyandang gelar Min al-‘aidzin wa al-faizin, yaitu orang-orang yang telah kembali kepada fitrahnya dan orang-orang yang mendapat keberuntungan.


* Penulis Aktif di PesMa IAIN Supel Surabaya

Rabu, 09 September 2009

Ramadan dan Peradaban Basmalah

Ramadan dan Peradaban Basmalah

Oleh TIRMIDZI*


Dalam khazanah islam, membaca bismillahirrahmanirrahim (basmalah) setiap memulai aktivitas, baik dalam hal peribadatan maupun interaksi sosial, merupakan salah satu keutamaan yang diagungkan. Nabi Muhammad, sebagai pembawa islam, melansir bahwa setiap aktivitas yang dimulai dengan tanpa membaca basmalah akan terputus dan tidak sempurna. Bahkan dari saking pentingnya, al-Quran meletakkan basmalah di setiap awal suratnya kecuali dalam satu surat saja.

Di seantero dunia saat ini, basmalah menjadi salah satu bacaan 'favorit' di kalangan uamat islam. Bulan Ramadan yang diagungkan menjadi momentum berharga untuk melafadkan basmalah siang maupun malam. Di surau, masjid, rumah-rumah, dan bahkan di lapangan, bacaan basmalah sering kali terniang di telinga. Pertanyaannya sekarang, apa arti penting basmalah dalam praktek ritual dan sosial umat?.

Pertanyaan tersebut harus diungkap secara jelas sehingga basmalah bukan hanya bacaan yang dilafadkan oleh mulut tapi arti di dalamnya tidak bisa diimplementasikan dalam kehidupan yang riil. Basmalah tidak hanya memilki nilai spiritual-vertikal tapi juga mengandung nilai sosial-horizontal. Setiap hari dan malam basmalah dilantunkan oleh banyak orang, tapi konflik dan kebencian masih menjadi menu utama mereka baik dalam konteks berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Memaknai Basmalah

Bismillahirrahmanirrahim, kalimatnya pendek, singkat namun makna yang dikandungnya tidak sesingkat kalimat yang terlihat (dhohir). Para ulama ada yang menyatakan bahwa makna basmalah seluas makna ayat-ayat al-Quran secara keseluruhan. Namun secara sederhana, setidaknya ada tiga hal penting yang terkandung dalam basmalah. Pertama, bismillahi (dengan nama Tuhan). Secara tekstual, kalimat tersebut menegaskan ke-Esaan Tuhan di mana oleh sebagian ulama dianggap sebagai puncak dari syariat agama-agama. Agama-agama yang diturunkan Tuhan kesemuanya mengajarkan pengakuan dan penghambaan kepada-Nya.

Dalam konteks masa kini, kalimat itu menjadi penting karena penghambaan atas Tuhan kerapkali tidak meruntuhkan penghambaan kepada selain Tuhan, utamanya penghambaan kepada wanita, harta, tahta atau kekuasaan. Dalam sejarahnya, manusia seringkali tunduk kepada ketiga hal tersebut. Perebutan kekuasaan dan fenomena korupsi di mana-mana yang sering kali menghalalkan segala macam cara menjadi contoh konkret dalam hal ini. Dengan demikian, bismillahi merupakan penyerahan diri dan ketundukan total kepada Tuhan yang Maha Absolut bukan kepada orang yang mengaku dirinya sebagai tuhan atau kepada mereka yang menghendaki agar diperlakukan sebagaimana tuhan. Manusia tetap seorang hamba yang tidak patut di sembah walau kaya sekalipun, apalagi kekayaannya adalah hasil korupsi. Kekuasaan hanyalah perantara (wasilah) yang sifatnya sementara dan tidak bisa mengantarkan pemiliknya menjadi penguasa, Tuhanlah sang Penguasa sebenarnya.

Kedua, al-Rahmani (Yang Maha Kasih). Menurut para ulama, al-Rahman adalah sifat yang khusus untuk Tuhan, selain-Nya tidak berhak menyandak sifat ini. Al-Rahman memiliki arti kasih sayang yang sangat luas dan banyak serta tiada taranya. Karena Tuhan disimbolisasikan sebagai al-Rahman, maka Tuhan harus senantiasa dijadikan cermin oleh setiap umat manusia agar menebar kasih di muka bumi, karena sesungguhnya kasih-Nya untuk mahluk-Nya.

Ketiga, al-Rahim (Yang Maha Penyayang). Jika yang sebelumnya hanya untuk Tuhan, maka sifat ini berlaku juga untuk mahluk-Nya. Dalam arti lain, bahwa al-Rahim merupakan sikap kasih yang secara wajar juga tumbuh dalam diri manusia. Sifat al-Rahman dan al-Rahim merupakan sebuah kombinasi yang saling menyempurnakan. Artinya, bahwa kasih-sayang adalah sifat yang tidak hanya melekat pada Tuhan semata, melainkan juga bisa dicapai oleh umat manusia secara umum yang tentunya harus dengan proses. Tuhan adalah Maha Kasih dan Sayang kepada mahluk-Nya. Dengan demikian, mahluk-Nya juga harus menebarkan kasih-sayang di muka bumi ini.

Dari penjelasan di muka, jelas bahwa memahami basmalah merupakan sebuah keniscayaan. Jika difahami dengan benar, maka basmalah akan melahirkan manusia-manusia yang tunduk kepada Tuhan dan selalu menebarkan kasih-sayang di muka bumi. Namun, pemahaman demikian dewasa ini masih belum ditemukan secara utuh di tengah masyarakat kita. Terbukti, masih seringkali terjadi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit basmalah. Semakin banyaknya tersangka yang terlibat korupsi dalam Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) menunjukkan bahwa masih banyak orang yang menghambakan dirinya pada harta. Saudara-saudara kita di Porong-Sidoarjo terlonta-lonta, tapi belum ada yang memberikan al-rahim kepada mereka.

Di samping itu, angka kemiskinan yang terus meningkat, pengangguran yang semakin membukit, anak jalanan yang makin membeludak, dan semacamnya adalah simbol bahwa al-rahim hanya dalam tataran wacana belaka, sedangkan dalam prakteknya masih nihil. Semakin banyak basmalah dilantunkan namun semakin banyak pula anak-anak yatim yang diterlantarkan. Fenomena-fenomena demikian setidaknya menjadi motivasi bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengaji kembali basmalah, sehingga basmalah bukan hanya berupa slogan kosong tapi sarat dengan makna yang kemudian dapat ditransformasikan dalam kehidupan sosial.

Bulan Ramadan sebagai bulan yang agung, penuh rahmat dan pertolongan harus benar-benar menjadi momentum untuk menegakkan peradaban basmalah. Peradaban yang mengedepankan penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukan pada yang lain, peradaban yang sangat mengagungkan sifat kasih-sayang antarsesama bukan acuh tak acuh, tidak peduli, bersikap emoh, apalagi memusuhinya.



* Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Selasa, 04 Agustus 2009

Menilai Kunjungan Kerja Wakil Rakyat

Menilai Kunjungan Kerja Wakil Rakyat

Oleh: TIRMIDZI*



Masa bhakti pemerintahan pereode 2004-2009 sudah hampir berakhir. Kurang lebih satu bulan lagi, pemerintahan akan segera diganti oleh para calon baru yang menang dalam pemilihan calon legeslatif pada tanggal 8 April beberapa bulan yang lalu. Uang lelahpun sudah ditentukan dan akan dicairkan sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasa wakil rakyat yang telah menjalankan tanggung jawab dalam kapasitasnya masing-masing.

Bukan hanya uang lelah, para wakil rakyat yang juga beramai-ramai melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri yang menurut mereka sebagai media evaluasi terhadap kinerja dan program-program daerah. Setidaknya ada empat komisi yang sudah secara jelas melakukan kunker ke luar negeri yaitu komisi A, B, D, dan E. Masing-masing komisi tersebut tentunya telah memiliki program dan fokus sesuai dengan bidang yang mereka tangani.

Komisi A sebagai bidang hukum kemarin telah berangkat ke Osaka, Jepang, dan baru selesai pada tanggal 4 Agustus. Selain ke Jepang, 4 anggota lainnya sudah menyelesaikan kunker ke Beijing, China, untuk membahas rancangan peraturan daerah (raperda) tentang manajemen penanggulangan bencana. Komisi B membagi kunker dalam dua tahap dengan daerah tujuan Thailand dan Korea Selatan (Korsel) untuk membahas masalah pertanian. Sedangkan komisi D (bidang pembangunan) telah memberangkatkan 11 anggotanya pada Selasa kemaren ke Beijing, China. Di samping itu, komisi ini juga menjadwalkan 6 anggotanya ke Berlin, Jerman, pada 9-16 Agustus besok terkait dengan pengolahan sampah dan infrastruktur. Tidak mau kalah, komisi E yang membidangi kesejahteraan rakyat telah berangkat ke Tokyo, Jepang, sejak 27 Juli sampai 1 Agustus di samping juga telah menjadwalkan 8 anggotanya ke Osaka, Jepang, besok tanggal 3-8 Agustus. (Kompas Jatim, 30/07/2009).

Memang kalau kita perhatikan, kunjungan kerja ke luar negeri bagi wakil rakyat seperti telah menjadi ‘ritual’ wajib yang tanpanya pemerintahan bisa tidak sah. Setiap pergantian jabatan, seringkali diakhiri dengan jalan-jalan ke luar negeri terlepas dari apa orientasi dan signivikansi kunker tersebut terhadap pemerintahan mereka yang akan segera disudahi. Pada akhir pemerintahan tahun 2004 kemaren, penulis masih ingat sekali acara kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur (Jatim). Komisi A melakukan kunker dengan menggunakan raperda tentang hari jadi Jatim di Belanda yang dianggap sebagai negara yang paling lengkap dan lebih mengerti sejarah Indonesia, termasuk Jatim. Komisi B membahas raperda mengenai pasar tradisional di Jepang dan di Thailand. Komisi C kunjungan ke Jepang terkait dengan peningkatan pendapatan daerah, sedangkan komisi E membahas raperda tentang manusia lanjut usia di Selendia Baru.

Suara Rakyat

Pemerintah adalah wakil rakyat. Hakikatnya semua kebijakan harus sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan aspirasi mereka. Dengan demikian, sesuaikah program pemerintah saat ini untuk kunker ke luar negeri dengan suara rakyat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap kali pemerintah melakukan kunker ke luar negeri di situ pula rakyat bersuara. Mereka menolak program demikian karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan riil mereka. Rakyat butuh ketenangan, keamanan, kesejahteraan, dan program-program yang secara nyata berorientasi membangun kehidupan mereka kearah yang lebih baik, bukan acara ‘study tour’ yang kurang jelas manfaatnya dan hanya menghabiskan anggaran daerah.

Suara rakyat demikian bukan tanpa alasan. Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa kunker pemerintah tidak membuahkan hasil yang riil dalam kehidupan rakyat. Taruhlah kunker komisi B pada tahun 2004 kemarin yang membahas rancangan peraturan daerah (raperda) terkait dengan pasar tradisional ke Thailand dan Jepang, adakah peningkatan mutu pasar-pasar tradisional pasca kunker?. Pasar Anom di Sumenep, pasar Kol Pajung di Pamekasan, pasar Wonokromo di Surabaya, dan Pasar tradisional di Sidoarjo, sampai detik ini masih belum ada kemajuan dalam semua aspeknya. Alasan selanjutnya bahwa kunker yang yang dilakukan pemerintah biasanya hanya fokus pada satu atau dua aspek sedangkan problema daerah yang mereka tinggalkan setinggi bukit yang menggunung dan jauh lebih bervariasi. Pertanyaan rakyat yang juga sering mengemuka terkait dengan kunker adalah: mengapa kunker ‘harus’ dilaksankan ketika jabatan hampr lenggang?. Suara rakyat demikan semestinya menjadi refrensi dan pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja, apa lagi sampai ke luar negeri yang sudah jelas akan menelan biaya yang sangat besar.

Tapi ironis, suara rakyat yang bergema dengan lantang tidak pernah digubris oleh pemerintah. Pemerintah selalu beralibi bahwa kunjungan kerja dilaksanakan atas nama rakyat, rakyat tidak mengerti program ‘ginian’ padahal demi kebaikan mereka juga. Ketika suara rakyat diabaikan, layakkah pemerintahan dikatakan demokratis?. Bukankah dalam pemerintahan demokratis segala kebijakan ada di tangan rakyat, atau meminjam istilah Hamidi Latif rakyat menjadi ‘raja’ sedangkan pemerintah hanyalah ‘hamba’?. Tentu kita semua sepakat jawabannya ‘tidak’.

Berdasar fakta tersebut, penulis menilai bahwa demokrasi hanya menjadi slogan kosong di kalangan pemerintah kita, sedangkan substasi demokrasi itu sendiri belum dapat diaplikasikan dalam konteks riil, bahkan acap kali ia dikontraskan dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, cukup penting kiranya ada penumbuhan kesadaran akan pemahaman hakikat berdemokrasi. Pemerintah setidaknya memiliki agenda khusus untuk mendalami makna demokrasi, di samping juga memiliki agenda-agenda masa depan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pemahaman mendalam pemerintah terhadap demokrasi akan menjadi bekal tersendiri dalam menjalankan mandatnya sebagai wakil rakyat, dan yang jelas mereka akan lebih peka terhadap fenomena-fenomena kerakyatan yang terjadi dan semua tindak laku, program serta kebijakan mereka baik individual, lebih-lebih institusional akan mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti adil, jujur, terbuka, musyawarah, tegas, bertanggung jawab, dan semacamnya betul-betul menjadi ruh yang melekat di setiap pribadi pemerintah. Sehingga, teriakan ‘dari’ rakyat tidak mereka abaikan, aspirasi dan usulan yang dikemas ‘oleh’ rakyat tidak mereka tinggalkan, dan dana APBN yang mustinya digunakan ‘untuk’ membangun kehidupan rakyat ditempatkan pada fungsi yang sebenarnya.

Terakhir, tulisan ini sekaligus menjadi media pengharapan penulis bagi calon wakil rakyat baru yang akan segera menggantikan kursi-kursi pemerintah lama. Mewakili aspirasi seluruh rakyat, penulis mengharapkan wakil rakyat yang baru bisa mendengarkan suara dan rintihan rakyat, siapa, kapan dan dimanapun, sebagaimana dijanjikan pada waktu mereka berkampanye. Ingat: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan.



* Penulis sekarang Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

P2SEM, Program untuk Masyarakat?

P2SEM, Program untuk Masyarakat?

Oleh TIRMIDZI*



Kebijakan pemerintah tentang Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) menuai protes yang sangat kuat dari berbagai fihak. Program tersebut dinilai hanya dapat dinikmati oleh orang dan instansi-instansi tertentu, tidak tepat sasaran dan hanya merugikan keuagan Negara (APBN). Oleh karena itu, harus segera dibubarkan dan kasus-kasusnya dituntaskan.

Namun demikian, gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo, akan tetap melanjutkan program tersebut, tapi mungkin dengan nama yang berbeda. Alsannya, program demikian merupakan aspirasi masyarakat yang diajukan kepada pemerintah melalui legislator yaitu DPRD masing-masing. Di samping itu, tidak ada yang salah dengan program tersebut. Secara konstitusional, program P2SEM memiliki landasan kuat yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Pertanyaannya sekarang, benarkah dana yang diproyeksikan untuk membantu masyarakat bawah memalui program tersebut betul-betul terealisasi di lapangan?. Permasalahan demikian patut dijawab dengan menelaah secara objektif pelaksanaan proyek besar P2SEM dimaksud, karena jika tidak, dapat membawa konsekuensi dan resiko yang harus ditanggung pada akhirnya oleh masyarakat dan pemerintah. Lebih-lebih dalam kenyataannya program tersebut kerap menimbulkan pro dan kontra, pertikaian atau setidaknya menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan kasus mutaakhir adanya indikasi tindakan korupsi di semua daerah.

Kejaksaan negeri (kejari) Sumenep Madura beberapa bulan lalu telah menahan tersangka dugaan korupsi dana P2SEM. Tersangka menyerahkan uang Rp164.858.000,00 pada jaksa penyidik kejari setempat. Kasus yang sama juga terjadi di Pamekasan Madura. Kejari juga telah menahan dan mengungkap kerugian keuangan negara senilai Rp250 juta dalam kasus tersebut. Modus yang dilakukan oleh tersangka adalah pemalsuan lembaga penerima bantuan. Tersangka mengajukan proposal atas nama Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Madura (UIM). Dalam proposal tersebut dijelaskan bahwa LP2M UIM akan melakukan penelitian buah mengkudu di Magetan, tapi belakangan pengajuan itu ternyata fiktif. Bahkan pihak UIM sendiri tidak mengetahui sama sekali tentang program tersebut.

Tidak mau kalah, kejari Bangkalan Madura juga telah menahan dua tersangka dalam kasus yang sama. Korupsi yang dilakukan keduanya itu berawal dari kucuran dana Pemprov Jatim pada 2008 lalu, sebesar Rp miliar untuk 55 lembaga P2SEM. Masing-masing lembaga mendapatkan kucuran dana Rp 100 juta untuk dana bakti sosial, pelayanan kesehatan, dan rehabiliasi gedung sekolah. Namun dalam praktiknya, dana Rp 100 juta yang diterima mereka ternyata hanya Rp 40 juta saja yang disalurkan ke masyarkat. Sisanya sebesar Rp 60 juta tidak jelas penggunaannya dan disinyalir digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindakan korupsi keduanya dengan cara membuat sejumlah pengeluaran fiktif dan memalsu kuintansi serta membengkakkan biaya anggaran.

Bukan hanya di Madura, Sejumlah penerima dana P2SEM di Kabupaten Banyuwangi diduga diterima oleh lembaga yang dimiliki tim sukses anggota DPRD Jatim dan calon legislator. Data yang penulis ketahui, penerima P2SEM di Banyuwangi di antaranya asosiasi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, sebesar Rp 200 juta, Panitia pelatihan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Desa Karangsari, Kecamatan Sempu, dan Kelompok Masyarakat Hijau Berseri Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, sebesar Rp 400 juta.

Setelah dilacak, lembaga-lembaga tersebut sebelumnya tidak pernah ada. Bahkan salah satu warga Sempu, mengaku tidak pernah tahu dengan asosiasi guru PAUD dan panitia pelatihan UKM. Ia mengaku hanya mengetahui adanya pelatihan guru PAUD yang digelar baru-baru ini. Pelatihan itu bertempat di rumah calon legislator Banyuwangi dari Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama. Selain itu, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Banyuwangi menerima Rp 25 juta dari P2SEM. Menurut Ketua STIKES, Sukarjo, dana itu untuk pembelian 4 unit PC komputer. Padahal dalam juklak, dana P2SEM seharusnya dipakai untuk perbaikan jalan, sanitasi, dan air bersih.

Kasus terkini terkait dengan dana tersebut terjadi pada mantan ketua dewan perwakilan rakya Jatim, Fathor Rasjid. Informasi terakhir diberitakan bahwa dia telah menetap di rumah tahanan Madaeng Surabaya. Tertangkapnya Fathor Rasjid tersebut diyakini akan menjadi ‘pintu gerbang’ untuk menyelidiki lebih dalam kasus penyelewengan dana P2SEM. Sehingga, semua pihak yang ikut andil dalam penyelewengan uang rakyat tersebut akan segera terungkap dan didenda sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Belajar dari Masa Lalu

Dari kasus-kasus tersebut nampak bahwa orientasi utama dari P2SEM belum tercapai sepenuhnya yaitu sebagai sarana penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, program tersebut menjadi lahan basah yang siap diolah bagi tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab. Korupsi, penyelewengan hak, pemalsuan tanda tangan dan stempel, lembaga-lembaga fiktif, dan semacamnya adalah modus yang digunakan untuk mencairkan dana untuk masyarakat tersebut.

Hakikatnya, Pemerintah sebagai penyelenggara sepatutnya menangkap fenomena-fenomena seperti itu sebagai sebuah pelajaran, bukan sebagai sebuah kesalahan teknis biasa karena yang menjadi korban adalah masyarakat. Sehingga, jika mereka memang masih berkometmen untuk melanjutkan program-program demikian seyogyanya melakukan evaluasi terlebih dahulu dan mau belajar dari pengalaman di masa lalu.

Sebagaimana penulis ketahui, di Jawa Timur, upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan sebetulnya bukan hal yang baru. Sejak pertama kali Program Gerdu Taskin dicanangkan pemerintah tahun 1997, sejak itu pula telah digulirkan berbagai program penanggulangan kemiskinan ke berbagai daerah dan masyarakat seperti Anti Poverty Programme, PAM-DKB, PPK, P2KP, program kompensasi kenaikan BBM, BLT, dan program-program yang lain. Demikian juga dengan program kesejahteraan sosial.

Namun, yang patut diingat bahwa setiap program-program yang diproyeksikan untuk kesejahteraan masyarakat justeru berakhir dengan masalah dan ada indikasi korupsi di dalamnya. Oleh karena itu, jika memang pemerintah masih berinisiatif untuk meneruskan program P2SEM kiranya perlu evaluasi secara berkesinambungan (continuous improvement) dan menyusun strategi, kebijakan dan program baru. Penyusunan strategi, kebijakan dan program baru itu yang terpenting harus benar-benar didasarkan pada pendataan secara langsung kepada masyarakat di lapangan sekaligus sosialisasinya, di samping penjagaan ketat dan follow up media juga sangat dibutuhkan, sehingga semua elemen masyarakat bisa mengetahui program-program pemerintah yang diorientasikan untuk kesejahteraan mereka sekaligus dana yang dialokasikan untuk mereka betul-betul dirasakan manfaatnya oleh mereka sendiri secara utuh menyeluruh.


* Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Masa Depan Politik NU

Masa Depan Politik NU

Oleh TIRMIDZI*



Pada dasarnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah ijtima’iyah diniyah) yang terbesar di negeri ini dan bukan organisasi politik. Namun demikian, persentuhan organisasi ini dengan partai politik dapat dikatakan sudah sejak awal berdirinya walaupun hanya sebatas ‘sentuhan halus’. Sedangkan secara monumental, sejarah politik NU mulai tampak sejak muktamar di Situbondo pada tahun 1984, yang memang dijadikan media untuk mengevaluasi di bidang politik, yaitu ketika NU memutuskan untuk kembali ke Khitah 1926. Inti khitah itu adalah pertama, NU tidak memiliki hubungan organisatoris dan berafiliasi dengan politik manapun. Kedua, memberikan kebebasan kepada warganya berkiprah dalam politik untuk menebarkan dan memperjuangkan misi ke-NU-an.

Sejak tahun 1984 itulah NU konsisten dalam mengambil jarak dengan partai politik atau sering dikatakan pula sebagai sikap netral dalam berpolitik. Sejak itu pula muncul semacam keyakinan tertentu di kalangan elit dan warga NU bahwa NU tidak akan menjadi parpol, tidak mendirikan parpol dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Sikap netral semacam itu berjalan cukup lama bahkan sampai dewasa ini masih tertanam kuat dalam alam pikiran jamaah NU sehingga ada yang mengatakan sudah menjadi ideologi politik atau budaya politik penganutnya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan arus politik yang semakin kuat, organisasi yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau tanggal 31 Januari 1926 M ini tidak bisa menghindar begitu saja dari percaturan politik, terlebih ketika melihat kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk dan buta secara politik. Hal itu tampak jelas Pada Pemilu 1999 dimana, NU melibatkan diri dalam arus reformasi dan hingga batas tertentu masuk ke suasana pesta pora politik. Orang-orang NU banyak masuk menjadi pengurus partai dan ada pula yang duduk di parlemen. Semakin tampak lagi ketika mantan ketua umum PBNU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yang kemudian disusul oleh KH. Hasyim Muzadi yang mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden pada tahun 2004 kemaren.

Dewasa ini, syahwat politik di kalangan jamaah NU terus menguat untuk tidak mengatakannya parah. Dalam pemilihan kepala daerah, jamaah NU selalu menjadi garda depan. Sedangkan dalam pemilihan calon legislatif, orang-orang NU banyak yang menyalonkan dirinya untuk duduk di parlemen. Pamflet, stiker, baleho, almanak, dan semacamnya menjadi media ‘penampakan’ wajah ke-NU-an mereka. Bahkan dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, warga NU menjadi objek utama setiap kandidat. Semua alat kampanye dipenuhi dengan foto-foto dan tandang tangan tokoh NU, terlepas apakah itu berarti secara subtantif atau hanya ikut-ikutan atau bahkan menjadi objek perpolitikan yang diambil manfaat oleh instansi-instansi politik (baca: parpol) lain. Tapi yang jelas bahwa reputasi NU sebagai organisasi terbesar sudah mulai luntur karena sering ‘diperdagangkan’ oleh jamaahnya sendiri.

Jadi, sangat mafhum jika salah satu pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengajak seluruh pengurus NU tidak lagi terjebak pada politik praktis. Di samping itu, beliau juga mengimbau sebaiknya di masa mendatang komunitas pondok pesantren—yang merupakan basis NU terkuat—tidak melibatkan diri dalam ingar-bingar politik praktis. (Kompas Jatim, 09/07/2009).

Politik Masa Depan

Himbauan Gus Solah tersebut kalau kita akurasikan dengan kondisi politik yang digeluti oleh warga NU dewasa ini menjadi sangat beralasan, di samping NU seakan menjadi organisasi politik yang namanya 'dipamerkan' di mana-mana, warga NU bercerai-berai, juga in come positif dari perpolitikan yang dilakoni belum dapat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya warga nahdliyin.

Harus disadari sejak dini, bahwa perpolitikan ke depan akan semakin kental dan kompleks. Gesekan antar gerakan politik yang semakin akut, kaum politisi yang terus membeludak, partai politik yang terus tumbuh subur, pemerintahan yang semakin politis, dan bahkan adanya sinyalir permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan politik menjadi indikasi kuat atas tumbuh-suburnya politik di masa yang akan datang. Sehingga, NU sebagai jam’iyah ijtima’iyah diniyah tentunya dapat diprediksikan akan terlibat di dalamnya.

Dari itu, tugas besar bagi NU dan jamaahnya adalah mempersiapkan perpolitikan masa depan. Jika tidak disiapkan sejak dini, maka jelas konsekuensi yang harus ditanggung akan lebih besar, lebih berat dan lebih beresiko. Salah satu proyek atau agenda yang patut dipersiapkan adalah menyusun kekuatan politik yang beroientasi membangun (power to) sebagaimana dalam teori kekuasaan Jean Bethke Elshtain dan meninggalkan tradisi politk lama yang sifatnya lebih pada merusak (power over), atau dalam tradisi NU al-muhafadlah bi al-qadimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Agenda itu bisa dilaksanakan dengan beberapa langkah, misalnya: pertama, menyatukan visi-misi politik antara partai politik NU, karena sampai saat ini partai-partai NU disibukkan dengan orientasi politiknya masing-masing sedangkan NU sebagai induknya cenderung mereka lupakan.

Kedua, membangun konsolidasi yang lebih erat. Selama ini jarang kita dapati partai-partai NU seperti PKB, PPP,PKNU, PBR, dan semacamnya berkumpul dalam satu forum secara inten untuk membahas orientasi, strategi dan capaian politik di masa depan. Langkah ini dilakukan untuk mempererat jalinan ukhuwah islamiyah nahdliyah yang mulai kendor, memperkuat ideologi politik yang retak dan sekaligus mempertemukan ide-ide politis yang sudah barang tentu berbeda satu sama lain dan bisa dicarikan titik temunya secara kolektif-organisatoris.

Namun yang perlu diingat bahwa langkah-langkah tersebut dilaksanakan untuk menampilkan citra atau reputasi NU yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis seperti al-tasamuh, al-tawazun, al-'adalah, al-syura, al-hurriyah, menjadi lebih baik bukan justru sebaliknya. Sudah saatnya, NU yang secara kuantitas terbesar di Indonesia, baik dalam kapasitasnya sebagai organisasi (jam'iyah) maupun sebagai komunitas (jama'ah), bersatu menyambut masa depan politik yang lebih cerah dan lebih cemerlang.

* Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya