Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 20 April 2009

Pemerintahan yang Memasyarakat

Pemerintahan yang Memasyarakat
Oleh: Tirmidzi*


Dengan proses yang cukup menegangkan, pemilihan calon legeslatif untuk semua tingkatan telah rampung dilaksanakan. Pesta demokrasi yang menjadi momen bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa dan Negara Indonesia telah dinyatakan selesai, walaupun berbagai macam hambatan dan kendala seperti kesemrautan daftar pemilih tetap (DPT), money politic, kesalahan cetak surat suara dan surat suara tertukar antar dapil bahkan antar daerah, kecurangan dalam pencontrengan dan lainnya masih ditemukan di berbagai tempat.
Sampai kemaren (sabtu, 11/04), badan pengawas pemilu (bawaslu) telah menerima kurang lebih 549 laporan pelanggaran baik pidana maupun administrasi dari 33 provinsi di seluruh Indonesia. Dari laporan yang masuk, pelanggaran terbanyak adalah berupa pelanggaran administrasi yaitu sebanyak 363 laporan dan pelanggaran pidana sebanyak 75 laporan, serta pelanggaran lainnya tercatat 111 laporan. (Kompas, 12/04/09).
Di hari berikutnya, dinyatakan bahwa bawaslu sudah menerima hampir 1000 laporan pelanggaran, yaitu sebanyak 963. Pelanggaran pidana di antaranya adalah money politik 39 kasus, pemilih memberikan suara lebih dari satu 14 kasus, sengaja mengaku diri sebagai orang lain 18 kasus, KPPS tidak menjaga dan mengamankan kotak suara 10 kasus, dan intimidasi pemilih 17 kasus. (Kompas, 14/04/09).
Walau demikian, sebagai Negara yang majemuk secara prosedural bangsa ini telah berhasil menyelenggarakan pemilu secara demokratis, toh walaupun tidak menyeluruh. Akan tetapi, yang patut diingat bahwa demokrasi bukan semata persoalan prosedur, melainkan tidak kalah pentingnya adalah sebuah kometmen untuk menjunjung tinggi hukum dan menghargai hak-hak asasi setiap warga Negara sebagai substansinya.

Demokrasi Substantif
Secara historis, penulis melihat bahwa demokrasi yang berjalan dalam beberapa periode di Negara ini, baik demokrasi parlementer (1945-1959), terpimpin (1959-1965), pancasila (1965-1998), orde baru, dan reformasi sampai sekarang hanya berkutat dalam tataran prosedural an sich. Hal itu terlihat dari beberapa problema kemasyarakatan yang belum menemukan titik final, utamanya masalah masyarakat miskin yang terus tumbuh subur di dalam masyarakat kita sedangkan pemerintah sepertinya hanya bersikap emoh terhadap fenomena tersebut.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, Jawa Timur (jatim) sampai pada bulan Maret 2008 memiliki ‘koleksi’ masyarakat miskin sebesar 6,65 juta atau 18,51 persen. Di tahun yang sama, Jawa Tengah sebesar 7,64 juta atau 19,23 persen, sedangkan di Jawa Barat di tahun yang sama masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan masih mencapai 5,46 juta atau 13,55 persen. Data tersebut hanya yang terjadi di pulau jawa, seberapa besar tingkat kemiskinan di Negara kita seluruhnya?, maka kita bisa membayangkan kuantitasnya dalam benak kita masing-masing.
Fenomena demikian memperkuat asumsi bahwa demokrasi yang kita anut sampai detik ini hanyalah konseptual belaka, sedangkan substansinya masih nihil. Alih-alih menjadi wakil masyarakat yang akan memperbaiki kehidupan mereka tapi yang terjadi justeru sebaliknya, aspirasi masyarakat tidak terwakili dan bahkan mayoritas dari mereka cenderung semakin terjerembab dalam keterpurukan.
Oleh karena itu, pemilu yang telah dilaksanakan beberapa hari yang lalu diharapkan akan melahirkan pemerintahan yang tidak hanya melulu menekankan teori dan konsep, lebih dari itu dapat benar-benar menjadi medium pencerahan bagi masyarakat dalam semua aspeknya. Sehingga, substansi demokrasi untuk membangun pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people) bisa terwujud.
Demokrasi tidak datang serta merta. Ia membutuhkan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan penghayatan. Salah satu cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid (2003), menyatakan bahwa pandangan hidup demokratis dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah berkembang, baik secara teoritis maupun pengalaman praktis, baik dari dalam maupun dari luar. Beliau melanjutkan, setidaknya ada lima unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan pemerintahan demokratis yaitu: kesadaran akan pluralitas, musyawarah, kejujuran dan kemufakatan, kebebasa nurani, dan persamaan hak dan kewajiban.
Untuk mewujudkan beberapa unsur tersebut bukanlah pekerjaan mudah, tapi dibutuhkan paeran aktif dari semua pihak. Pemerintah sebagai alat Negara yang lebih memiliki kewajiban menjaga dan mengembangkan demokrasi diharapkan bisa memberi dukungan dalam pencapaian orientasi demokrasi dan bertindak tegas terhadap tindakan-tindakan kelompok yang berupaya mencederai kemurnian demokrasi. Namun juga tidak dapat dilupakan bahwa partisiasi masyarakat mutlak dibutuhkan karena dalam pemerintahan demokratis masyarakat pada hakikatnya adalah ‘raja’ sedangkan pemerintah hanyalah ‘hamba’ yang mewakili mereka, bukan sebaliknya. Berdasar asumsi tersebut, penulis hanya bisa menegaskan bahwa substansi pemerintahan demokratis meniscayakan lahirnya kebijakan yang memihak pada masyarakat, bukan sebaliknya.



* Penulis sekarang Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Kamis, 16 April 2009

PESANTREN, KIAI DAN POLITIK

PESANTREN, KIAI DAN POLITIK
(Mendiskusikan Kiai Berpolitik)

Oleh: TIRMIDZI*


Walau bukan wacana baru, diskursus kiai berpolitik sampai saat ini menjadi topik perdebatan yang semakin akut. Meskipun sudah bisa dipastikan bahwa perdebatan tentang hal itu mengarah pada pro dan kontra, tetap saja terjadi perbedaan persepsi dan adu argumentasi. Perbedaan persepsi semacam itu merupakan kekayaan wacana yang tidak boleh diabaikan, karena bagaimanapun nilai plus yang terkandung di dalamnya akan memberikan konstribusi positif, utamanya pada kalangan kiai yang mulai tertarik untuk bermain di pentas politik, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Dalam tulisan perdananya, Salahkah Kiai Berpolitik?, saudara Syaiful Amin—sebagai pihak kontra—secara terisirat telah menolak kiai untuk terjun ke dalam politik praktis. Kemudian, dipertegas kembali dalam tulisan keduanya, Urgensi Netralitas Pesantren dalam Politik. Dalam artikel tersebut, setidaknya dia menambah dua alasan mengapa kiai tidak boleh berpolitik. Pertama, dia psimis kharisma yang dimiliki oleh kiai akan luntur bahkan hilang ketika mereka terjun dalam politik yang mana saat ini diklaim kotor, kejam, dan penuh kepalsuan. Kedua, dia psimis dengan niatan kiai yang terjun dalam politik, apakah murni dorongan hati nurani dan demi kepentingan masyarakat atau demi kepentingan pragmatis an sich.
Penulis melihat bahwa saudara Syaiful Amin terlalu psimis dan kurang proporsional dalam menelaah sebuah permasalahan. Padahal sikap psimis yang berlebihan akan menimbulkan sikap su’u dhan dan eksklusivitas dalam berfikir. Misalnya, tentang kharisma kiai, banyak sekali kiai-kiai saat ini yang sudah masuk dalam partai politik, bahkan ada yang menjadi prakarsanya, namun mereka tidak kehilangan kharisma yang dimilikinya, bahkan sumbangan politik mereka menjadi sebuah kebanggaan masyarakat dan memperkuat status ke-kiai-annya. Lihat saja Abdurrahman Wahid, Syaifullah Yusuf, Abd. Hamid, dan lainnya.
Begitu juga dengan niatan kiai. Perlu dipertegas bahwa niat adalah hal yang riil-prinsipil dan individuil, artinya niatan muncul bersamaan dengan realitas dan suasana hati seseorang sehingga penilaian seseorang terhadap niat yang tidak tampak hanyalah angan-angan yang belum tentu mencerminkan niat yang sebenarnya. Saudara Syaiful Amin dalam tulisannya yakin bahwa andaikan dalam menjabat pejabat Negara atau DPR tidak mendapat puluhan juta, para kiai dan gus-gus tidak akan berduyun-duyun mencalonkan dirinya sebagai calon legeslatif (caleg). Begitu juga sebaliknya, misalnya dengan menjadi guru madrasah mereka bisa mendapatkan jutaan rupiah, mungkin semua orang—termasuk kiai—akan mencalonkan dirinya sebagai guru. (Kompas edisi Jatim, 09/04/09).
Pertanyaan terbaliknya adalah bagaimana jika seumpama seseorang sama-sama tidak digaji ketika menjadi caleg atau guru, apakah para kiai tidak akan bertindak ketika melihat kondisi pesantren, santri, masyarakat, dan Negaranya dalam keadaan kritis, miskin, bobrok, dan akan jatuh dalam jurang kehancuran dan kebinasaan?, yang jelas semua elemen masyarakat, termasuk kiai sekalipun, akan menjawab ‘tidak’. Di sinilah proporsionalitas sangat dibutuhkan. Dalam menilai sebuah problem, kita dituntut untuk melihatnya dari segala aspeknya dan variabel-variabel yang melingkupinya.
Walau demikian, penulis yakin bahwa ketidaksetujuan saudara Syaiful Amin terhadap kiai berpolitik merupakan kesadaran mendalamnya sebagai seorang santri. Spirit untuk menjernihkan pesantren dari nilai-nilai profan dan kotor perlu diajungi jempol, karena bagaimanapun juga kejernihan pesantren akan berimplikasi terhadap out put pesantren itu sendiri.

Nilai Etik
Pemilihan calon legislatif dari segala tingkatan telah rampung dilaksanakan. Penulis yakin akan banyak gelar “K” atau bahkan “KH.” yang akan tercatat dalam daftar calon terpilih pemilu saat ini. Itu artinya, kiai berpolitik bagaimanapun juga akan menjadi kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Dengan demikian, ada tiga variabel yang perlu ditelisik lebih lanjut yakni, pesantren, kiai dan politik. Ketiga variabel tersebut memiliki korelasi yang sangat erat. Pesantren adalah kendaraan kiai dalam merealisasikan nilai-nilai keagamaan, dan politik adalah kendaraan baru seorang kiai ketika terjun dalam politik praktis.
Dalam ranah demikian, kiai memiliki kesempatan dan peluang besar untuk memadukan nilai-nilai yang terkandung dalam dua kendaraannya tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya sama-sama memiliki nilai etik. Dalam pesantren sering kita mendengar istilah tasamuh, tawazun, tawadhu’, amanah, fathonah, dan semacamnya. Nilai nilai demikian bisa diimplementasikan dalam perpolitikan kita dewasa ini, sehingga citra politik yang terkesan kotor, licik dan palsu akan tampil dengan penuh kejujuran, keramahan dan toleransi. Begitu juga sebaliknya, nilai-nilai etik politik semisal jujur, adil, penuh tanggung jawab, siap menang dan kalah, legowo, bersih, dan lainnya bisa diimplementasikan dalam kehidupan pesantren.
Dengan demikian, pesantren dan politik dapat dijadikan satu kesatuan yang kokoh untuk mencapai orientasinya masing-masing. Pesantren dengan nilai etiknya dapat dijadikan perahu untuk mewujudkan perpolitikan yang bersih, dan politik dengan nilai etiknya dapat dijadikan perahu untuk menentukan sukses tidaknya pesantren di masa depan. Tinggal bagaimana seorang kiai dapat mengompromikan kedua nilai tersebut. Sebagai kata akhir, kalau meminjam bahasa Ubaidillah (1997), kiai, pesantren dan politik dapat diilustrasikan sebagai satu nahkoda, dua perahu, tapi tetap satu muara.



*Penulis aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Rabu, 08 April 2009

KETIKA KIAI BERPOLITIK

KETIKA KIAI BERPOLITIK
(Mendiskusikan Kiai Berpolitik)
Oleh Tirmidzi*


Elit agama-sosial yang oleh masyarakat Jawa biasa disebut kiai sering menjadi bahan perdebatan banyak kalangan, baik pengamat, politisi, akademisi, dan bahkan oleh kalangan kiai itu sendiri. Ketika kiai berpolitik, demikianlah kiranya tema diskusi yang berlanjut dewasa ini, layakkah kiai terjun dalam politik praktis?.
Dalam rubrik ini, sudah beberapa tulisan yang mendiskusikan tema tersebut. Diawali dengan tulisan saudara Syaiful Amin dengan judul Salahkah Kiai Berpolitik?, perdebatan manarik dimulai. Dalam artikelnya tersebut, dia—walaupun tidak secara langsung—berkesimpulan bahwa kiai akan lebih baik jika tidak terjun dalam dunia politik praktis dengan beberapa alasan yang diajukannya secara cermat dan cerdas. (Kompas edisi Jatim, 17/03/09).
Kemudian disusul dengan artikel saudara Abd. Sidiq Notonegoro yang berjudul Mempersoalkan Kiai Berpolitik. Dalam tulisannya, dia mencoba untuk mengklasifikasikan istilah kiai pada formal dan nonformal, kiai yang memiliki pesantren plus santri dan yang tidak. Ending tulisannya, dia berkesimpulan bahwa kiai dalam pengertian nonformal boleh-boleh saja terjun dalam dunia politik praktis. Dengan keyakinan bahwa masuknya kiai dalam politik telah mampu membawa dampak signifikan terhadap keadaan kondusif kehidupan masyarakat. Dengan tiga alasan yang diajukannya, kemudian dia pasrah bahwa semua itu harus dikembalikan pada hati nurani kiai, karena mereka memiliki hubungan yang sangat erat dan inten dengan Tuhan yang dapat dijadikan modal untuk terjun dalam dunia politik. (Kompas edisi Jatim, 01/04/09).
Di hari berikutnya, muncul artikel saudara Syafiqurrahman Menilai Bijak Kiai Berpolitik. Dalam tulisan tersebut, penulis lebih menilai positif masuknya kiai dalam dunia politik praktis. Dengan memberi contoh pergulatan partai-partai politik yang terjadi di PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep-Madura, dia mengilustrasikan bahwa kiai berpolitik tidak selamanya bisa meninggalkan tugas-tugas pokok lainnya, semisal mengurus pondok dan santrinya.
Lebih jauh lagi, dia mengajak kita semua untuk melihat bahwa dewasa ini sudah ada “rebutan” kekuasaan antara kiai dan pengusaha. Dalam ranah ini, kiai yang sangat dekat dengan masyarakat diyakini sebagai pengimbang bagi kaum pengusaha yang merupakan wakil kalangan berdasi, pemilik modal. Kedekatan kiai dengan masyarakat tersebut dinilai akan secara otomatis berimplikasi pada kebijakan yang lebih memihak pada masyarakat ketika mereka duduk di parlemen nantinya. (Kompas edisi Jatim, 02/04/09).
Diskursus kiai berpolitik seperti di muka bukanlah wacana baru di bumi pertiwi, melainkan wacana kuno yang dinamis dan akan terus berkembang seiring dengan isu politik sepanjang masa. Bahkan pada awal orde baru, Nurcholish Madjid telah menjadi prakarsa pemisahan agama yang sakral dan politik yang profan dan dianggap kotor. Tapi di kesempatan yang berbeda, Emha Ainun Najib mencoba mengompromikan keduanya dengan jargonnya “Islam Yes, Politik Yes”.
Walau demikian, perdebatan tentang boleh-tidaknya kiai berpolitik dalam beberapa artikel di rubrik ini perlu diapresiasi secara positif. Perdebatan semacam itu harus dinilai secara proporsional sebagai kekayaan wacana dengan tanpa mengecam satu sama lain. Lebih-lebih setelah penulis melihat, baik kelompok pro maupun kontra memiliki alasan yang sama-sama kuat dan riil.
Namun, yang perlu dipertegas bahwa eksistensi kiai—terlepas apakah dalam pengertian formal atau nonformal—di tengah masyarakat dapat melakukan banyak peran. Mereka dapat berperan sebagai pendidik agama, pemuka agama, pelayan sosial, termasuk ada juga yang melakukan peran politik seperti melalui jalur partai dan semacamnya, terlebih setelah tumbangnya orde baru yang otoriter. Era reformasi benar-benar menjadi gerbang pencerahan bagi peran dan dialektika seorang kiai.

Tiga Dimensi

Berbeda dengan masyarakat biasa, kiai dianggap sebagai sosok yang memiliki nilai lebih dalam semua kapasitasnya. Paling tidak ada tiga dimensi yang harus tercermin dalam sosok seorang kiai. Ketika kiai berpolitik, tiga dimensi ini akan menjadi lebih penting untuk ditumbuhsuburkan sebagai penopang perpolitikan yang akan dilakoni. Pertama, spiritual. Dimensi tersebut dapat difungsikan sebagai rujukan kembali pada hati nurani daripada menggunakan rasio sebagaimana terjadi pada para politisi kita dewasa ini dan untuk mentransendensikan politik duniawi menjadi dimensi perjuangan yang berorientasi jangka panjang di masa depan.
Kedua, sosial. Dikatakan bahwa kiai adalah yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan dimensi itu diharapkan ketika kiai berpolitik dapat betul-betul berangkat dari dan demi kepentingan masyarakat umum, bukan kepentingan pribadi, golongan yang sifatnya temporal. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan nantinya sesuai dengan suara dan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, hukum formal. Menurut A. Muhaimin Iskandar, dimensi ini patut dikembangkan untuk menopang proses pelembagaan politik agar praktik-praktik politik dapat berjalan secara akumulatif menuju terbentuknya sistem perpolitikan dan pemerintahan yang kokoh.
Ketiga dimensi di muka harus dijadikan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga seorang kiai dapat menampilkan citra kiai yang seutuhnya, terlebih bagi mereka yang terjun dalam dunia politik yang dianggap kotor. Dengan dimensi-dimensi tersebut, bagaimana mereka bisa benar-benar dapat menjadi uswatun hasanah dalam setiap tindak-lakunya termasuk dalam dunia politik. Semoga.

* Penulis sekarang Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini telah Dimuat di Harian Kompas edisi Jatim, 06/04/2009

Minggu, 05 April 2009

Membangun Budaya Penafsiran di Bumi Pertiwi

Membangun Budaya Penafsiran di Bumi Pertiwi

Oleh: Tirmidzi*


Abstraksi

Pada hakikatnya, bumi pertiwi memiliki potensi besar untuk membangun budaya penafsiran di masa kini. Pasalnya, di samping Indonesia adalah Negara besar islam yang sudah mesti sering merujuk pada kitab sucinya, juga bangsa ini telah mempunyai warisan yang sangat berharga dari founding father mereka berupa dokumen-dokumen lama yang bisa digali dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman masa kini.
Tapi ironis sekali yang terjadi justru sebaliknya, perkembangan penafsiran di bumi pertiwi berjalan sangat lamban. Kekayaan yang mereka miliki hanya disimpan dan dijadikan pajangan, tidak pernah disentuh apalagi dikaji. Al-Quran yang merupakan way of life dan yang harus dijelaskan, dipahami, dan dijadikan sebagai fundamen segala tindakan tidak mendapat ruang yang semestinya. Proses penafsiran—sebagai budaya ulama salaf—digantikan oleh budaya-budaya baru semisal budaya korupsi, intimidasi, aliran sesat, dan lainnya, sehingga produk tafsir menjadi barang langka di bumi pertiwi.
Oleh karena itu, sudah semestinya penafsiran di Indonesia perlu diadakan revitalisasi, tentunya dengan mengacu pada dokumen-dokumen lama dan baru yang kemudian dicarikan relevansinya dengan konteks masa kini, al muhafadhotu bi al qodimi al sholih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah.

Key Word: al-Quran, Penafsiran, Bumi Pertiwi, Produk Tafsir


Pendahuluan

Suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa al-Quran sebagai pedoman pertama dan utama bagi umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada rasulnya, Muhammad. Kandungannya menjadi way of life bagi umat islam di seantero dunia tanpa keraguan sedikitpun. Untuk dapat menfungsikan al-Quran sebagai way of life, mereka memerlukan penafsiran karena al-Quran tidak akan berbicara sendiri mengenai kehidupan umat manusia. Tterlebih kita sebagai bangsa Indonesia yang kurang ahli memahami bahasa al-Quran yang menggunakan bahasa arab, tentunya akan sangat haus akan penafsiran.
Penafsiran merupakan proses yang dinamis untuk mengungkap kandungan al-Quran baik yang tersurat maupun yang tersirat. Hal itu sesuai dengan istilah tafsir itu sendiri. Kata tafsir berasal dari fi’iel madhi “fassaro” yang berarti menjelaskan atau mengungkapkan. Pandangan demikian didasarkan pada sebuah ayat yang difirmankan oleh Allah dalam kitabnya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[1]
Sedangkan secara terminologis tafsir adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafad-lafad al-Quran, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukum, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makan yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[2]
Sebagai proses yang dinamis, penafsiran bergerak begitu cepat dan singkat, tentunya akan ada perbedaan yang sangat mencolok bergantung pada sosiodemografis, psikologis, teologis, bahkan politis yang melingkupi sang penafsir. Hal itu terbukti dengan banyaknya produk-produk tafsir yang memenuhi perpustakaan dengan variasi yang berbeda-beda, baik metodologi, corak, maupun kecondongan dan semacamnya. Sehingga tidak salah kiranya, Michel Focolut menyatakan: tugas memberi makna, ditilik dari definisinya tidak pernah terselesaikan.[3]
Kalau ditilik secara historis, upaya penafsiran telah dimulai sejak islam diturunkan. Nabi Muhammad bertindak sebagai penafsir untuk kali pertama. Kemudian, dilanjutkan oleh para sahabat beliau dan para ulama yang hadir sesudah mereka sampai sekarang serta sudah barang tentu akan berlanjut di zaman yang akan datang.
Dalam dunia islam secara umum, sudah seberapa banyak produk-produk tafsir yang dihasilkan, mulai periode Nabi dan sahabat (abad I H), periode tabi’ien dan tabi’iet tabi’ien (abad II H), ulama mutaqaddimin (abad III-VIII H), ulama mutaakhirin (abad IX-XIII H), dan periode ulama modern (abad XIV H-sampai sekarang), sudah berjuta bahkan triliunan produk tafsir yang tersebar di seluruh belahan dunia, dunia non muslim sekalipun. Produk-produk tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai dan patut diapresiasi secara positif. Apresiasi dimaksud salah satunya adalah membudayakan dan melestarikan serta melanjutkan proses penafsiran di setiap tempat dan waktu, termasuk di bumi pertiwi ini.
Itulah kiranya, yang menjadi bahasan sentral dalam tulisan ini. Mengingat bahwa Negara Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar tapi sangat lamban dalam proses penafsiran kitab suci. Sampai saat ini, penulis melihat produk-produk tafsir yang murni karya bangsa Indonesia masih minim ditemukan sebagaimana tercatat dalam sejarah.

Sejarah Penafsiran di Bumi Pertiwi
Al-Quran yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “rahmatan lil ‘alamin” dan memberikan “bayyinatin min al huda wa la furqon”. Adu juga yang mengasumsikan al-Quran akan terus “sholihun li kulli zamani wa makani”, akan selalu menemukan relevansinya dalam setiap waktu dan tempat. Dengan asumsi tersebut dapat dinyatakan bahwa kandungan al-Quran bersifat universal. Bila diasumsikan bahwa kandungan al-Quran bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Asumsi tersebut juga berlaku dengan dalam khazanan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia memiliki perkembangan tersendiri dalam proses untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. Perkembangan penafsiran al-Quran agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al-Quran dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Quran.
Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al-Quran sehingga proses penafsiran lumayan cepat dan pesat. Hal itu berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu, proses pemahaman al-Quran terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dimafhumi jika penafsiran al-Quran di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Secara singkat, disebutkan bahwa proses penafsiran kali pertama di bumi pertiwi dirintis oleh Abdur Rauf Singkel. Beliau belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan diperkirakan kembali pada 1661. Beliaulah yang kemudian mempelopori kajian-kajian al-Quran di masanya. Sebagai perintis beliau menelorkan satu karya monumental, berupa tafsir al-Quran berbahasa Melayu pada pertengahan abad VII yang diberi nama Tarjuman al-Mustafid. Tafsir itu mendapat tempat di dunia muslim bahkan tidak hanya di Indonesia. Terbukti, tafsir karya perdana beliau pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul, Kairo, Mekkah.
Upaya rintisan As-Singkili tersebut kemudian diikuti generasi-generasi bangsa sesudahnya, seperti Munawar Chalil (Tafsir Al-Quran Hidayatur Rahman), A. Hasan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Halim Hassan (Tafsir Alquranul Karim, 1955), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Quran, 1959), dan Kasim Bakry (Tafsir Alquranul Hakim, 1960). Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya penafsiran al-Quran juga dilakukan oleh generasi sesudah mereka, sebut saja Bisyri Mustafa Rembang (Al-Ibriz, 1960), R.Muhammad Adnan (al-Quran Suci Basa Jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Huda, 1972), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973), Quraish Shihab (Al-Misbah, 2000).
Sebelumnya, pada 1310 H, Kiyai Mohammad Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa jawa huruf Arab. Ada juga karya yang belum selesai yang ditulis oleh Kiyai Bagus Arafah Sala, berjudul Tafsir Jalalen Basa Jawi Alus Huruf Arab. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala menerbitkan terjemah al-Quran 30 juz basa Jawi huruf Arab Pegon. Aktivitas lainnya juga dilakukan secara persial, seperti penerbitan terjemah dan tafsir Muhammadiyah, Persis bandung dan Al-Ittihadul Islamiyah [KH.Sanusi Sukabumi], beberapa penerbitan terjemah di Medan, Minangkabau dan kawasan lainnya, serta tafsir al-Quran dalam bahasa jawa yang diterbitkan oleh Ahmadiah Lahore dengan nama Quran Suci Jawa Jawi.[4]
Demikianlah proses penafsiran yang terjadi di bumi pertiwi, kemudian disusul dengan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran secara tematis hingga masa modern saat ini. Nashruddin Baidan dalam bukunya, menjelaskan periodeisasi penafsiran di bumi pertiwi. Menurutnya, perkembangan tafsir di bumi pertiwi dapat dikategorikan menjadi empat periode, peiode klasik (abad VIII-XV M), periode pertengahan (abad XVI-XVIII M), pediode pramodern (abad XIX M), dan periode modern (abad XX M).[5]
Pada abad modern itulah penafsiran-penafsiran mulai bergerak pesat di bumi pertiwi. Penafsiran mayoritas dengan menggunakan metodologi tematis, hal itu terkait dengan problema-problema yang begitu variatif terjadi dan kreativitas bangsa Indonesia dalam mencarikan solusi melalui pemahaman kitab suci. Sejak tahun 90-an sampai sekarang, produk-produk tafsir tematik membeludak memenuhi perpustakaan tanah air.
Dari karya tafsir yang berkembang di Indonesia ada yang disusun dengan corak tafsir tematis di antaranya adalah:

a Tematik Plural

Karya tafsir tematis ada yang bersifat plural yaitu karya yang membahas berbagai persoalan. Di antaranya adalah : 1) Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996). Ketiganya adalah karya Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Mizan Bandung. Dalam ketiga buku ini Quraish Shihab membahas berbagai tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat.

2) Ensiklopedi al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996) karya M. Dawam Raharjo. Karya ini merupakan kumpulan kajian serius yang ditulis oleh Dawam Raharjo dalam Jurnal Ulumul Qur’an tahun 1990-an. 3) Dalam Cahaya al al Qur’an, Tafsir Sosial Politik Al Qur’an (Jakarta; Gramedia, 2000) karya Syu’bah Asa. Buku Tafsir ini berawal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis oleh Syu’bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat antara tahun 1997-1999. 4) Tafsir Tematik al Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Ummat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah.

b Tematik Singular

Tafsir tematik singular adalah karya tafsir yang menfokuskan diri dalam satu topik bahasan tertentu. Karya tafsir jenis ini cukup banyak, sebagian besar berasal dari disertasi, di antaranya adalah: 1) Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu. Karya ini berasal dari disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1989. 2) Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Quran sebuah Kajian Tematik karya Jalaluddin Rahman yang berasal dari disertasinya di Pasca Sarjana IAIN Jakarta. 3) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran (1992) karya Dr Musa Asy’arie. Karya ini berasal dari disertasi Asy’arie di IAIN Sunan Kalijaga Yoryakarta. 4) Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-Quran (1996) karya Machasin. Karya ini berasal dari tesis Machasin di IAIN Yogyakarta dengan judul Kebebasa dan Kekuasaan Allah dalam al-Quran. 5) Ahli Kitab, Makna dan Cakupannya (1998), karya Muhammad Ghalib Mattalo. Karya ini berasal dari disertasi Ghalib di IAIN Jakarta dengan judul Wawasan Al Qur’an tentang Ahl Kitab tahun 1997.
6) Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran (1999), karya Nasaruddin Umar. Buku ini berasal dari disertasinya di IAIN Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam Al-Quran. 7) Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Quran (1999) karya Nashruddin Baidan. 8) Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan. Karya ini berasal dari disertasi di Pasca sarjana IAIN Jakarta. 9) Memasuki Makna Cinta (2000) karya Abdurrasyid Ridha. Karya ini berasal dari skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Konsep Cinta dalam Al-Quran. 10) Jiwa dalam Al-Quran, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya Dr. Achmad Mubarok. Karya ini berasal dari disertasi dengan judul Konsep Nafs dalam Al-Quran-Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Jakarta. 11) Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, Multikulturalisme (2007) karya Zuhairi Misrawi, karya itu sengaja ditulis untuk mengungkap benih-benih toleransi yang ada dalam al-Quran. 12) Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (2008) karya Muhamad Mas’ud. Karya ini mengkaji berbagai fenomena angka yang ada di dalam al Qur’an dihubungkan dengan ilmu matematika dan penemuan ilmiah modern.

c Tafsir yang mefokuskan diri pada ayat, surat atau juz tertentu.

1. Surat dan Ayat Tertentu

Karya tafsir yang menfokuskan diri pada ayat dan surat tertentu antara lain: 1) Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-Quran-Qur’an (1993) karya Jalaluddin Rakhmat. Ayat dan surat yang dipilih tampaknya didasarkan pada ayat maupun surat yang mempunyai riwayat bi al-ma’thur sebagai sabab nuzul. Ayat dan surat yang dikaji di antaranya adalah Al Fatihah: 1, Al Baqarah 2 :19-20, 75-78, al-‘Adiyat: 1-5, Maryam: 1-6, al-Qadr dan al-Takathur. 2) Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997) karya M. Quraish Shihab. Buku ini merupakan kumpulan ceramah Quraish pada acara tahlilan di kediaman mantan presiden Suharto dalam rangka mendo’akan kematian Fatimah Siti Hartinah Suharto tahun 1996. Setelah itu dilanjutkan dengan penafsiran ayat-ayat yang dibaca dalam tahlilan yaitu surat al Fatihah, al Baqarah : 1-5, ayat kursi (QS 2: 255), khawatim surat al Baqarah (QS 2: 284-286), al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

2. Surat al-Fatihah

Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada surat al-Fatihah antara lain adalah : Kandungan al-Fatihah, karya Bahroem Rangkuti ( Jakarta: Pustaka Islam, 1960), Tafsir Surat al-Fatihah karya H Hasri (Cirebon: Toko Mesir, 1969), Samudra al-Fatihah karya Bey Arifin (Surabaya: Arini, 1972), karya ini membahas surat al-Fatihah dikaitkan dengan berbagai penemuan ilmiah modern, Tafsir Ummul Qur’an karya M Abdul Malik Hakim (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), utir-butir Mutiara al-Fatihah karya Labib MZ dan Maftuh Ahnan (Surabaya, Bintang Pelajar, 1986), Risalah Fatihah karya A Hassan (Bangil: Yayasan al- Muslimun, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (1988) karya M Quraish Shihab, dan Tafsir Sufi Surat al-Fatihah (1999) karya Jalaluddin Rakhmat

3. Surat An-Nisa’

Kajian Tafsir Al Qur’an Surat An-Nisa’ (Jakarta: Logos, 2000) karya KH Didin Hafidhuddin. Buku ini merupakan hasil kajian tafsir yang disampaikan KH Didin Hafidhuddin di Masjid Al-Hijri Universitas Ibnu Khaldun Bogor setiap Ahad sejak tahun 1993.

4. Surat Yasin

Karya tafsir yang membahas tentang surat Yasin antara lain adalah : Tafsir Surah Yasin (Jakarta: Bulan Bintang: 1978) karya Zainal Abidin Ahmad, Kandungan Surat Yasin (Yulia Karya, 1978) karya Mahfudli Sahli, Memahami Surat Yasin (Jakarta: Golden Trayon Press, 1998) karya Radiks Purba.

5. Juz ‘Amma

Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada juz ‘amma (juz 30) antara lain adalah : Al-Abror, Tafsir Djuz ‘Amma Karya Mustafa Baisa (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960), Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia karya M. Said (Bandung: al-Ma’arif, 1960), Juz ‘Amma dan Makna karya Gazali Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) dan Tafsir Juz ‘Amma Disertai Asbabun Nuzul (2000) karya Rafi’udin S.Ag dan Drs. KH. Edham Rifa’I, dan sebagainya.[6]

Demikianlah dinamika penafsiran yang terjadi di bumi pertiwi sekaligus contoh-contohnya. Munculnya produk-produk tafsir tersebut merupakan kreativitas yang sangat berharga, utamanya ketika dilihat betapa besar keinginan bangsa Indonesia untuk mengungkap kandungan nilai yang ada dalam al-Quran. Walaupun mereka tidak berbahasa arab dalam kesehariannya, tapi upaya mereka untuk mengetahui makna yang ada dalam al-Quran sangatlah besar dan itu menjadi modal utama terciptanya budaya penafsiran di bumi pertiwi di masa kini.

Urgensi Penafsiran
Bangsa Indonesia adalah majemuk, keanekaragaman menjadi kenyataan hidup yang tidak bisa ditolak, baik dilihat dari status sosial, politik, ekonomi, pendidikan, suku bangsa, agama, dan semacamnya. Begitu juga dengan umat islam di bumi pertiwi ini, mereka bercorak-corak dan bervariasi. Keanekaragaman sebagaimana disebutkan berimbas pada pemahaman mereka terhadap keberagamaannya, termasuk memahami kitab sucinya semisal al-Quran.
Di muka sudah dijelaskan bahwa al-Quran tidak bisa berbicara dengan sendirinya tentang kebutuhan dan problema umat manusia. Akan tetapi di sana membutuhkan pemahaman dan penafsiran dari mereka sebagai subjek. Di situlah kiranya urgensitas tafsir menemukan momentumnya, kehadirannya bagaikan lentera yang menerangi gulita, menerangkan yang masih samar-samar, menjelaskan yang sebelumnya masih kabur. Menurut Zuhairi Misrawi, setidaknya ada tiga poin penting terkait dengan urgensitas tafsir.

Pertama: penafsiran sebagai penjelasan, artinya penafsiran menjadi penting dilakukan untuk memperjelas, menyingkap yang tertutup, serta menyingkap makna sebuah lafad yang sulit dipahami. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan, beliau menyatakan bahwa penafsiran adalah penelanjangan dan penyingkapan. Sebagai penjelasan, penafsiran tidak mempunyai kapasitas untuk mengembangkan makna yang sesuai dengan subjek, makna harus mengikuti objek. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran harus diterima secara mutlak. penafsiran semacam ini akhirnya akan melahirkan arus teosentrisme.
Kedua: penafsiran sebagai pemahaman, lebih berat dari yang pertama dalam hal ini penafsir dituntut untuk benar-benar memahami kitab suci yang sedang dihadapi. Mereka bukan hanya berhadapan dengan teks melainkan juga konteks di mana ia berada. Sehingga, penafsiran yang dilakukan tidak hanya memperjelas teks tapi juga menemukan relevansinya dengan konteks yang ada. Dalam ranah ini, penafsiran tidak semata-mata untuk mengais makna, melainkan yang terpenting justru menjadikan makna tersebut mempunyai makna konstruktif bagi realitas sosial. Dalam ranah ini pula, penafsiran memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menghasilkan sebuah tafsir yang mensinergikan antara kehendak penafsir dan kehendak pengarang dan teks itu sendiri. Menurut Zuhairi berbeda dengan yang pertama, penafsiran semacam ini akan melahirkan arus antroposentrisme.
Ketiga: penafsiran sebagai tindakan, kedua hal tersebut masih belum dianggap cukup, karena pada hakikatnya penafsiran akhirnya akan menjadi praktek dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dibutuhkan pembacaan yang melibatkan unsur sosiologis, ontologis, fenomenologis dan kritik ideologis. Penafsiran dalam kategori ini akan menjawab pelbagai problema keumatan yang belakangan muncul dengan begitu dinamis dan kompleks.[7]
Sementara itu, Prof. Dr. Jamal Mushtafa An-Najjar, seorang ulama dan cendikia Al-Azhar telah merangkum dua alasan mengapa umat Islam itu membutuhkan tafsir. Pertama, al-Qur’an merupakan mukjizat paling agung bagi Nabi Muhammad Saw. sebagai bukti kebenaran kenabian dan pengutusan-Nya. Tentu kemuliaan maknanya (eksistensi dan subtansi) tidak dapat diketahui tanpa melalui tafsir.

Kedua, al-Qur’an diturunkan Allah sebagai pedoman hidup bagi manusia yang membawa pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tentu hal itu dapat diperoleh jika setelah diamalkan ajarannya, dan pengamalan tersebut berlaku setelah pemahaman yan benar terhadap ajaran tersebut. Sedangkan paham benar itu tidak akan terwujud tanpa tafsir Al-Qur’an.
Dari pendapat dua tokoh tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Quran dilakukan untuk mewujudkan perubahan baik secara teologis, hubungan kita dengan yang Maha Esa, maupun secara sosiologis, hubungan antarsesama. Dari situlah akan tampak bahwa al-Quran adalah agent of change dan benar-benar merupakan samudera yang terbentang luas dan tidak akan pernah habis kekayaannya.
Kendatipun penafsiran menurut ulama merupakan kewajiban yang bersifat kolektif, tapi penafsiran mempunyai peran sentral dalam memahami al-Quran dan tindakan umat manusia. Karena itu, al-Suyuthi menyatakan bahwa barang siapa menafsirakan al-Quran sesungguhnya dia sedang dikaruniai hikmah oleh Tuhan, sebagaimana firman-Nya: Allah menganugerahkan Al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).[8] Para ulama menafsirakan kata hikmah dalam ayat tersebut dengan pemahaman terhadap al-Quran dan al-Hadis, dan penyebutan akal dan pengambilan pelajaran merupakan indikasi bahwa penafsiran sangat erat hubungannya dengan tindakan umat manusia dalam segala bentuk dan sifatnya.

Penafsiran dan Aliran Sesat
Peberapa tahun terakhir, di bumi pertiwi ini banyak berkembang aliran dan paham yang sesat lagi menyesatkan. Yang jelas, aliran-aliran tersebut membuat bangsa Indonesia risau, bingung, panik dan semacamnya. Menurut hasil penelitian LITBANG Departemen Agama Republik Indonesia, lebih dari 300 aliran kepercayaan yang “mengaku” mempunyai hubungan dengan Islam Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama (sesat).
Kita ambil contoh yang aktual, pada awal bulan tahun ini di Jakarta dikejutkan dengan ajaran yang sangat tertutup yang dipimpin oleh Agus Iman Sholihin alias Agus Noto Soekarnoputro. Aliran yang bernama Satrio Piningit Weteng Buwono tersebut mengharuskan pengikutnya untuk berhubungan suami istri di depan pemimpinnya. Katanya, hubungan demikian dilakukan sebagai penebusan dosa dan keselamatan.
Belum hilang dari ingatan masyarakat, sudah muncul lagi aliran terbaru yaitu Dunung Urip di Blitar Jatim. Aliran tersebut dipimpin oleh Mbah Suryani yang sampai saat ini diikuti oleh puluhan orang dari berbagai kalangan, tokoh masyarakat, petani, pejabat, pedagang, dan lainnya. Aliran yang mewajibkan pengikutnya membayar sebesar empat juga rupiah ini juga turut menambah panjang catatan tentang aliran sesat di bumi pertiwi.[9]
Sebelum itu, ada juga aliran yang menamakan kelompoknya dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang terbentuk pada tahun 2000. pemimpinnya adalah Ahmad Mushaddeq. Dia membentuk aliran ini setelah mengaku mendapatkan wangsit di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, pada 23 Juli 2007. aliran ini mengubah kalimat syahadat, kata Nabi Muhammad diganti Ahmad Moshaddeq. Di samping itu, aliran ini juga melarang pengikutnya untuk menjalankan shalat lima waktu diganti dengan shalat malam. Dan baru tanggal 5 Oktober 2007 lalu, aliran ini diputuskan sesat oleh MUI.
Sebenarnya kalau dirunut ke belakang masih banyak aliran-aliran yang dinyatakan sesat yang bercokol di bumi pertiwi ini, sebut saja LDII yang muncul tahun 70-an, inkaru al-sunnah tahun 80-an, salamullah yang dipimpin oleh Lia Eden, Isa Bugis, lembaga kerasulan, baha’i dan semacamnya. Semua aliran tersebut diklaim sesat oleh MUI pada masanya. Alasannya, di samping telah merisaukan warga, aliran tersebut juga telah menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa faktor yang melatarbelakangi hadirnya aliran-aliran semacam itu? Jawaban terkait dengan pertanyaan tersebut sangat variatif. Ada yang mengatakan karena ingin mencari popularitas, ada juga yang menyatakan minimnya pengetahuan keagamaan, ada juga kurangnya penghayatan terhadap keberagamaannya, dan banyak lagi yang lainnya. Namun yang patut diperhatikan dalam tulisan ini, bahwa salah satu sebab-musabbab munculnya aliran sesat tersebut adalah mereka tidak faham betul terhadap kitab suci, dalam hal ini al-Quran. Penafsiran yang mereka lakukan sangat sempit dan tidak mengikuti metodologi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama.
Muhammad Husain Adz-Dzahabi berpendapat bahwa dalam beberapa buku tafsir klasik maupun modern, dengan berbagai sistem, orientasi dan metodenya masing-masing, terdapat banyak penyimpangan dalam memahami taks al-Quran. Juga terdapat penyimpangan-penyimpangan makna yang bukan saja tidak sesuai dengan rasa bahasa arab yang benar tetapi juga telah menghilangkan keindahan al-Quran itu sendiri, dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok islam, sehingga dapat menjerumuskan pembacanya kepada kekafiran.[10]
Oleh karena itu, beliau melakukan penelitian tentang penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam beberapa buku tafsir dari masa ke masa dalam berbagai madzhab dan aliran, kemudian beliau juga mengumpulkan contoh-contoh pemikiran yang menyimpang dan penafsiran yang mengubah makna al-Quran dari yang sebenarnya.[11]
Said Aqil Munawar setelah berdebat dan mengalahkan Mushaddeq menyatakan bahwa pimpinan al-qiyadah al-islamiyah itu betul-betul orang cerdas dan pintar tapi sayang dia hanya menguasai kepintaran dirinya sendiri dalam memahami kitab sucinya sehingga hasil penafsirannya sesuai dengan seleranya sendiri. Oleh karena itu, beliau menghimbau agar Mushaddeq mempelajari ilmu-ilmu al-Quran dan membaca buku-buku tafsir.[12]
Belum lama, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengajak semua umat Islam untuk memperkuat keimanan dan aqidah dengan menggunakan tafsir kitab suci al-Quran secara benar agar tidak terjerumus pada aliran sesat. Dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Rohana Manggala, pada acara kajian sosial dan keagamaan yang berlangsung di Balaikota Jakarta, menekankan pentingnya penafsiran al-Quran secara benar.
Gubernur DKI menilai fenomena maraknya aliran sesat saat ini salah satunya akibat banyaknya orang yang menafsirkan al-Quran tanpa pemahaman dan ilmu yang tepat. “Kita harus memperkokoh aqidah kita dengan tafsir al-Quran berdasar pada kaidah yang benar, tuntunan agama sangat penting artinya bagi kita,” kata Rohana mengutip kata-kata Fauzi Bowo.[13]
Dengan demikian, diketahui bahwa penafsiran sangat erat kaitannya dengan tindakan keberagamaan umat manusia dalam kesehariannya. Oleh sebab itu, diperlukan penjelasan dan pemahaman yang tepat dalam menelaah al-Quran, sehingga tafsir yang dihasilkan tidak sesat dan menyesatkan sebagaimana telah dilakukan oleh banyak kalangan. Penafsiran yang tepat akan membawa pada keselamatan sedangkan penafsiran kaum “ngawuriyah” akan membawa pada kesalahan dan dosa. Dalam konteks ini, kita merasa perlu untuk membangun sebuah budaya baru, yaitu budaya penafsiran, tentunya dengan menggunakan metode dan langkah yang telah dilakukan oleh ulama salaf dan yang dirangkai oleh ulama khalaf.


Membangun Budaya Penafsiran
Para ulama klasik berpendapat tentang keilmuan islam sebagai berikut: ada dua macam ilmu sudah matang dan sempurna yaitu ilmu nahwu dan ushul. Dua macam ilmu sudah matang tapi belum sempurna yaitu ilmu fikih dan hadis. Dan dua macam ilmu yang belum matang dan belum sempurna yaitu tafsir dan bayan.[14].
Ungkapan Amin al-Khuli yang dikutip dari pandangan ulama klasik tersebut dapat dijadikan sebagai kenyataan faktual bahwa tafsir merupakan ilmu yang mesti dipikirkan secara bersama perihal pengembangannya. Dalam kapasitasnya sebagai ilmu yang belum matang dan belum sempurna, tafsir harus mendapatkan perhatian yang semestinya. Perlu dilakukan konfrensi al-Quran yang bertaraf nasional, regional, bahkan internasional untuk merancang bangun tafsir yang mempunyai relevansi untuk zamannya. Terlebih di bumi pertiwi, karena penulis melihat perkembangan penafsiran sangat lamban dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya semisal sosial, ekonomi dan politik.
Kalau diperhatikan, ketiga disiplin ilmu yang terakhir itu mendapat ruang yang sangat luas dalam khazanah keilmuan di bumi pertiwi. Sedangkan tafsir yang notabene berhadapan langsung dengan al-Quran yang merupakan way of life mereka tidak mendapat perhatian yang semestinya. Karenanya, diperlukan perhatian khusus untuk mewujudkan budaya penafsiran di bumi pertiwi. Apalagi di tengah-tengah arus globalisasi yang ditandai dengan kompetisi yang sangat intens di seluruh aspek kehidupan, penafsiran dibangun sedemikian rupa sehingga bisa memberikan sumbangsih pemikiran pada problematika internal yang dihadapi umat islam di bumi pertiwi dan problematika eksternal yang melibatkan seluruh penduduk islam sedunia.
Menurut penulis ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk membangun budaya penafsiran di bumi pertiwi. Pertama, membudayakan kembali pembacaan dan pengkajian terhadap tafsir-tafsir ulama klasik (salaf). Pembacaan dan pengkajian terhadap tafsir klasik akan memberikan inspirasi dan akan mengilhami ilmu-ilmu baru yang bisa dirangkai menjadi sebuah produk tafsir di masa kini. Sudah sepatutnya ulama-ulama tafsir terdahulu semisal Imam al-Thobari, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Suyuthi, al-Baidlawi, al-Nasafi, al-Nisaburi dll., As-Singkili, Munawar Chalil, A. Hasan Bandung, Mahmud Yunus, Halim Hassan, Zainuddin Hamidi, Kasim Bakry dll., diingat kembali dalam ranah penafsiran di bumi pertiwi. Mereka sudah memulai tradisi dan budaya penafsiran yang patut diteladani oleh generasi penerus bangsa di masa sekarang dan masa yang akan datang untuk melahirkan mutiara-mutiara makna yang dapat menghangatkan kembali wacana penafsiran di bumi pertiwi.
Apalagi ketika kita mengingat zaman yang semakin merosot dan instan seperti sekarang ini. Tentunya, membuka sejarah masa lalu para mufassir akan memberikan motivasi moril, betapa mereka telah gigih dan berjuang keras untuk menjelaskan al-Quran dengan pembahasannya yang sangat kaya padahal pada zaman itu problematika keumatan mungkin tidak serumit dan sekompleks saat ini. Dengan demikan, akankah al-Quran yang bagaikan samudera akan kita biarkan mengering tanpa sentuhan, sedangkan umat manusia masa kini berada dalam jurang problema yang sangat kompleks dan dinamis?.

Kedua, reaktualisasi terhadap penafsiran ulama kontemporer. Langkah kedua ini merupakan lanjutan dari yang pertama. Karena bila kita hanya berhenti pada langkah pertama, maka kita akan mudah terjebak pada romantisme masa lalu, glorifikasi. Bila hal itu terjadi, maka produk tafsir yang dihasilkan nantinya tidak akan mampu menjawab tantangan zaman kontemporer dan problematika keumatan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, pembacaan terhadap karya tafsir kontemporer patut digalakkan sehingga muncullah pemikiran kontemporer, khususnya dalam penafsiran.
Tetapi, berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru an sich. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan klasik, untuk berta'ammul dan bertadabbur dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran.
Karya al-Zamakhsyari, al-Razi, Wahbah Zuhaily, Qurais Shihab, Moh. E. Hasyim, kiranya perlu diteliti dan dibaca ulang untuk menemukan kekayaan ilmu yang ada di dalmnya di masa sekarang dan yang akan datang. Patut kiranya pernyataan Abbas Mahmud Al-'Aqqad: Kita berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.[15] dijadikan motivasi untuk membangkitkan ruh penafsiran dewasa ini.

Ketiga, mengkompromikan tradisi penafsiran ulama salaf dan kholaf. Setelah seluruh tafsir, baik klasik maupun modern, sudah dibacan, dipahami, dan dikuasai, maka sudah saatnya memadukan kedua teori penafsiran dimaksud dengan tujuan untuk menghasilkan produk tafsir yang sesuai dengan kebutuhan zamannya tanpa kehilangan nilai historisitas di dalamnya.
Di samping ketiga langkah di muka perlu diingat pula bahwa menjadikan “sesuatu” sebagai budaya bukanlah pekerjaan mudah, dibutuhkan semangat perjuangan keras dan solidaritas yang kuat antara satu fihak dengan fihak yang lain. Kalau dalam konteks keindonesiaan, fihak pemerintah dengan para ulama, ulama dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, dan sebagainya. Kesemua fihak tersebut kemudian menyusun langkah konkret yang dapat diejawantahkan dalam realitas, semisal membentuk forum kajian rutin tafsir. Dalam acara demikian, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator, kaum agamawan sebagai kontributor tafsirnya dan seterusnya.
Itulah kiranya langkah perwujudan budaya penafsiran di bumi pertiwi. Diharapkan dengan langkah tersebut, di masa yang akan datang Negara Indonesia selaku Negara islam besar dapat memberikan sumbang pemikiran dalam khazanah penafsiran. Tentunya, penafsiran ala Indonesia yang bisa saja berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh Negara-negara lain dalam semua kapasitasnya.


Simpulan
Sebagai simpulan penulis hanya bisa mengatakan bahwa al-Quran adalah samudera yang terbentang luas dan tidak pernah hilang kekayaannya. Ia menjadi kitab yang akan memberikan petunjuk bagi kehidupan umat manusia bilamana nilai-nilai di dalamnya digali secara tepat dan benar, karena al-Quran—sebagaimana dikatakan oleh Imam Ali—tidak dapat berbicara dengan sendirinya. Di situlah membudayakan penafsiran al-Quran menemukan mumentumnya.
Yang perlu diingat, pembangunan budaya tidak semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi dibutuhkan upaya yang serius dan berkesinambungan, terutama di zaman yang lintas batas sekarang ini yang meniscayakan munculnya mufassir-mufassir dan gagasan baru yang mempunyai relevansi dengan kenyataan kontemporer. Semoga tulisan ini menjadi salah satu inspirasi terbentukanya budaya penafsiran di bumi pertiwi ini. Amien…

Daftar Pustaka
Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, 1974.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1995.
Dr. Ali Hasan Al ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (terjemah), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (terjemah), Jakarta Utara, PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia (terjemah), Bandung, Mizan, 1996.
http://idiaprenduan.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=38.
http://luluvikar.blogspot.com/2006/07/arkeologi-pemikiran-tafsir-di.html.
Islah Gusmian, Khazahan Tafsir Indonesia dari Hermenutika hingga Ideologi, Jakarta, Teraju, 2003.

Jakarta Poss, edisi Rabu, 28 November 2007.
Muhammad Shahrur dkk., Studi al-Quran Kontemporer (terjemah), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 2002.
Prof. Dr. Nashrddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, Solo, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta, Fitrah, 2007.


Footnetes
[1] Surat al-Furqan (25), ayat 23
[2] Dr. Ali Hasan Al ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (terjemah), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal: 03
[3] Muhammad Shahrur dkk., Studi al-Quran Kontemporer (terjemah), Yogyakarta, PT. Tiara Wacaran, 2002, hal: 03
[4] Data ini penulis kutip dari tulisan Farid F. Saenong,MA yang berjudul “Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia; Upaya Perintis” setelah melalui proses editing bahasa, pengurangan dan penambahan, diambil dari http://luluvikar.blogspot.com/2006/07/arkeologi-pemikiran-tafsir-di.html, dengan idzin pemiliknya via blogger.com.
[5] Penjelasan lengkapnya dapat dibaca dalam buku Prof. Dr. Nashrddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, Solo, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003, hal: 31-109. Dalam buku tersebut, penulis menjelaskan sejelas-jelasnnya bentuk, metode, dan corak tafsir yang digunakan dalam setiap periode sekaligus contoh dan foto copynya
[6] Data ini penulis kutip dari tulisan Taufikurrahman yang bertema “Kajian Tafsir di Indonesia (tahun 1960-2008)” setelah melalui proses editing bahasa, pengurangan dan penambahan, diambil dari website http://idiaprenduan.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=38, dengan idzin penulisnya via email.
[7] Ketiga poin tersebut penulis ringkas dari tulisan Zuhairi Misrawi dalam bukunya: Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta, Fitrah, 2007, hal: 108-130.
[8] Surat al-Baqarah (2) , ayat: 269.
[9] Diberitakan olah stasiun televisi Trans7 pada hari Jumat, 13 Februari 2009, jam 11 Siang.
[10] Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (terjemah), Jakarta Utara, PT. RajaGrafindo Persada, 1996, hal: ix.
[11] Tentang penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Quran dapat dibaca secara lengkap dalam karya Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi tersebut di muka.
[12] Tentang hal itu, penulis pernah melihat ditayangan salah satu chanel televise setelah Said Aqil Munawar diberikan kesempatan untuk berdialog dengan Mushaddeq yang berakhir dengan pengakuan kalah dan penyerahan pimpinan al-qiyada al-islamiyah.
[13] Jakarta Poss, edisi Rabu, 28 November 2007.
[14] Ungkapan tersebut dikutip dari buku al-Quran Kitab Toleransi yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi, hal: 101.
[15] Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, 1974, hal: 197.


*Penulis adalah Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

MEMBUMIKAN PELAJARAN AGAMA

MEMBUMIKAN PELAJARAN AGAMA
Oleh: Tirmidzi*


Selama ini, banyak orang beranggapan bahwa pendidikan dan pelajaran agama adalah materi yang sulit dan menjemukan, terlebih bagi kaum santri yang setiap hari pelajaran agama menjadi santapannya. Sulit karena materinya mayoritas merujuk pada kitab-kitab klasik yang dikenal dengan kitab kuning (gundul) di samping teks-teks kitab suci yang sulit dimengerti, menjemukan karena pembahasannya “la yahya wa la yamutu”, tiada daya dan kurang bermutu, materinya tetap itu-itu saja.
Di samping itu, ada pula asumsi bahwa pelajaran agama telah dianggap gagal dalam pembentukan moralitas anak didik ke arah yang lebih baik. Terbukti, beberapa pekan terakhir sering kali terjadi tindakan-tindakan amoral di lingkungan sekolah, seperti perkelahian, tawuran, pacaran, dan semacamnya.
Selain itu, kedangkalan pengetahuan agama anak didik yang berdampak pada minimnya kepedulian dan respon sosial mereka terhadap problematika yang terjadi dewasa ini turut memperkuat klaim kegagalan pendidikan agama. Pendidikan agama seakan hanya menjadi media pembentukan kesalehan dan keimanan individu, sedangkan yang sifatnya sosial lepas dari tanggung jawabnya. Pendidikan agama hanya berkutat pada urusan “teo”, sedangkan urusan “antro” justru diabaikan.
Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi system pembelajaran agama, dari yang melulu ranah teologis menuju pembelajaran yang peduli pada ranah sosial-praktis. Kalau meminjam bahasa Quraish Syihab, menjadikan pendidikan agama lebih “membumi”. Dengan harapan anak didik dapat menjadi generasi bangsa yang memiliki spirit spiritual-vertikal dan sosial-horizontal yang mumpuni sekaligus, sehingga mereka bukan hanya mementingkan dirinya akan tetapi dapat merespon terhadap permasalahan keumatan.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan beberapa langkah strategis yang harus realisasikan oleh lembaga pendidikan, baik swasta maupun negeri. Dalam hal ini guru memiliki peran urgen karena merekalah yang menjadi media dalam proses transfer ilmu kepada anak didik. Pertama, pemahaman komprehensif. Pemahaman utuh dan luas seorang guru akan memberikan konstribusi keilmuan yang utuh pula terhadap anak didik. Pemahaman demikian akan dicapai apabila guru bersangkutan memiliki semangat tinggi untuk membaca dan menelaah terkait dengan materi yang akan disampaikan. Dia tidak hanya merujuk pada buku panduan (baca: kurikulum) yang ada, lebih dari itu dia harus mengonsumsi dari luar, misalnya buku, majalah, jurnal, internet dan lainnya.
Kedua, contoh fenomenal. Dalam hal ini, guru—dengan pemahamannya—dirapkan dapat mengaitkan materi pelajarannya dengan fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi. Dengan demikian, guru dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan sosial sekitarnya. Bagaimana dia bisa mencari korelasi dan relevansi pendidikan agama dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian, anak didik akan lebih memahami bahwa pelajran agama bukan terkait dengan ritual-individual an sich.
Ketiga, kegiatan ekstra. Kegiatan dimaksud dapat berbeda-beda formatnya, baik formal seperti seminar, talk show, perlatihan, juga bisa berbentuk kegiatan lapangan seperti observasi dan praktikum lapangan. Kegiatan-kegiatan semacam itu akan menambah sugesti pada anak didik bahwa pengetahuan yang mereka peroleh nantinya akan berhadapan dengan kondisi riil masyarakat.

Pelajaran Agama dan Tindakan
Penulis melihat, selama ini pelajaran agama sering dimaknai sempit oleh banyak kalangan, termasuk guru dan orang tua anak didik (wali). Hal demikian tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran agama telah dianggap berhasil ketika anak didik rajin ke masjid, hadir ke majlis taklim, atau rajin ritual seperti shalat, zakat, puasa, atau ketika mereka bisa berbicara tentang agama secara luas dan mendalam.
Persepsi demikian tidaklah salah, tapi menurut Nurul Huda (2000) kurang tajam dan kurang kritis karena telah melupakan esensi agama sebagai sumber primer pelajaran agama. Hakikatnya, agama memiliki nilai-nilai universal, rahmatan li al-‘alamin, tidak hanya terbatas pada ritual-ritual individual dan wacana belaka. Demikian juga halnya pelajaran agama, pesan moral yang ada di dalamnya juga bersifat universal. Artinya, pelajaran agama bukan hanya menjadi media penciptaan anak didik yang bisa menjelaskan agama secara mendalam atau rajin beribadah. Lebih dari itu, bagaimana pemahaman keagamaan mereka dapat menyentuh tindakan-tindakan nyata yang jelas manfaatnya pada diri sendiri dan orang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa walaupun beberapa langkah strategis—sebagaimana telah dijelaskan di awal—telah menjadi budaya di setiap lembaga pendidikan, bukan berarti tugas seorang guru telah selesai. Akan tetapi, mereka juga memiliki kewajiban mengontrol anak didiknya baik di dalam apalagi di luar waktu pelajaran. Bagaimana pelajaran yang telah diberikan tidak hanya menjadi barang beku dalam pikiran anak didik, tapi bisa mereka transformasikan dalam bentuk tindakan riil, tidak hanya memenuhi kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik juga dipenuhi. Standar penilaian yang harus digunakan oleh seorang guru terhadap anak didik bukan hanya seberapa banyak materi agama yang dapat dipahami oleh anak didik, tapi juga sejauh mana mereka bisa mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan secara benar dalam kesehariannya.


*Penulis adalah Mahasiswa Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya

ALQURAN DAN MODERNISASI

ALQURAN DAN MODERNISASI
(Reaktualisasi Nilai-Nilai Alquran Menuju Ke-modern-an Sejati)
Oleh: Tirmidzi*


Fenomena Modernisasi
Istilah modernisasi sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Bahwa ia merupakan gambaran peradaban canggih dalam kehidupan umat manusia. Kemudahan transportasi, informasi dan komunikasi, dalam bidang teknologi, menjadi ciri khas eksistensinya. Hal itu dapat dibuktikan dengan semarak teknologi yang semakin akut perkembangannya, mulai dari HP, Komputer, Flash Disk, dan bentuk teknologi lainnya. Dengan alat-alat tersebut dunia seakan terlipat, mudah dijangkau dari segala pejuru dan ke segala penjuru. Dengan demikian, tidak salah apabila Anthony Gidden menyebut modernisasi sebagai time space distanciation, yaitu dunia tanpa batas. Ruang dan waktu bukanlah kendala vital aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan sesamnya.
Dalam pada itu, sambutan hangat masyarakat terhadap modernisasi terus berkembang. Modernisasi dianggap angin segar yang akan merekonstruksi peradaban mereka yang dianggap jumud dan tidak relevan dengan keadaan saat ini. Persepsi mereka, teknologi canggih, sebagai implikasi modernisasi, akan membawa kehidupan mereka pada ranah yang lebih maju dan lebih pasti, semua hasil teknologi lebih memuaskan dan menjanjikan. Kepercayaan seperti itu semakin kuat seiring dengan hegemoni teknologi itu sendiri.
Ironisnya, mayoritas masyarakat hanya melihat modernisasi dari aspek kecanggihan teknologinya, sedangkan dampak dan pengaruhnya terhadap sisi-sisi kehidupan mereka, seperti ekonomi, politik, budaya, bahkan agama, tidak lagi diperhitungkan. Padahal menurut Machalli (Baca: Tantangan Modernisasi) modernisasi akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia secara pelan. Dan persepsi tersebut sudah terbukti saat ini. Misalnya, dalam dunia Islam jama’ah dan musyawarah adalah doktrin yang ditekankan implementasinya. Padahal keduanya adalah tradisi kemanusiaan (humanism tradition) dan dengan tradisi tersebut seorang akan lebih mudah menghadapi problemnya, di dalamnya akan terjadi dialektika antara satu sama lain. Tapi, dengan membeludaknya produk-produk modernisasi tradisi tersebut tergeser diganti oleh tradisi yang mengandalkan “kecepatan waktu”. SMS yang sekarang mengganti posisi silatur rahim dalam ajaran Islam adalah salah satu contoh nyatanya.
Klimaksnya, modernisasi hanya menciptakan pergeseran paradigma (shifting paradigm). Nilai-nilai agama yang transenden diganti dengan nilai-nilai teknologi buatan manusia itu sendiri. Akhirnya Alquran sebagai sumber agama yang otentik menjadi beku, nilai yang terkandung tidak dapat diterjemahkan kedalam realitas. Kitab yang diturunkan sebagai penerang umat manusia (rahmatan lilalamin) bukan lagi sebagai pedoman, dan teknologi yang belum jelas asal musal dan tujuannya kini diagungkan. Kalau meminjam bahasa Ulil Abshar, Alquran telah ditundukkan pada realitas. Zaman yang harus sesuai dengan nilai Alquran kini Alquran yang disesuaikan dengan realitas yang ada dengan dalih reaktualisasi nilai-nilai Alquran. Sekiranya sangat benar sabda Nabi Muhammad “akan datang suatu zaman dimana Alquran hanya tinggal tulisan” dijadikan jawaban dalam konteks masa kini.

Alquran Berbicara Modernisasi
Alquran adalah mukjiazat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selaku manusia pilihan plus Nabi terakhir di dunia ini. Sebagai kitab samawi terakhir, Alquran memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya. Dengan hadis Nabi sebagai penjelas (mubayin) dan penafsiran ulama, Alquran dapat dibuktikan bahwa ia adalah kitab super komplit dalam membicarakan semua fenomena di dunia ini, termasuk fenomena modernisasi, baik ijmal maupun tafsil.
Mayoritas pemikir memahami bahwa modernisasi adalah gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama menuju “model” kehidupan baru dengan baromiter frekuensi kecepatan dan mutu yang mampu menguasai pasar. Prosesnya mengandalkan “akal mesin” yang dikenal dengan teknologi canggih dan “akal manusia” yang disebut dengan pemikiran kreatif.
Apabila demikian pemahamannya (akal mesin dan menusia sebagai titik fungsinya) modernisasi bukanlah hal baru yang harus ditakuti dan dijauhi. Karena dua puluh abad yang silam Alquran telah mensinyalir. Misalnya tentang laut dan ruang angkasa diterangkan dalam surat Arrahman 33, tentang eksplorasi benda-benda ruang angkasa dan pengolahannya serta pemanfaatan besi dan tembaga sebagai bahan teknologi ada dalam surat Assaba’ 10-13. Ayat-ayat tersebut didukung dengan ayat yang menjelaskan tentang peran akal manusia dalam hidupnya. Sebagai bukti bahwa manusia harus menggunakan akalnya untuk bisa mendapat apa yang ia harapkan.
Dengan beberapa ayat tersebut, dipahami bahwa modernisasi dalam kehidupan manusia merupakan hal yang pasti terjadi, atau dalam bahasa Alquran disebut sunnatullah. Karena kecerdasan yang semakin meningkat, penemuan yang semakin padat dan fasilitas yang semakin lengkap dengan sendirinya akan menuntut manusia untuk mereformasi sistem kehidupannya dan mencari sistem baru, dengan pemikiran baru tentunya, yang sesuai dengan kondisi dimana dan kapan dia hidup. Allah berfirman “Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali mereka merubanya sendiri”.

Reaktualisasi Nilai yang Hilang
Dalam tulisan ini terdapat dua kata kunci. Pertama, alqauran selaku pandangan hidup (way of live) manusia dalam mengarungi kehidupan mereka. Kedua, Moderninasisi, gerakan baru hasil karya dan karsa manusia serta peradaban mereka yang akan mengganti sistem kehidupan mereka menuju kehidupan yang selangkah lebih maju.
Dua kata kunci atersebut sama-sama memiliki peran signifikan dalam kehidupan mereka. Alquran adalah kitab yang menjadi sumber bagi semua sumber hukum yang menjiwai semua konstitusi . Oleh karena itu, kitab ini diyakini sebagai penyelamat dari semua hiruk pikuk kehidupan dan penghantar pada kebahagiaan hakiki. Sedangkan modernisasi merupakan gerakan dunia canggih yang akan membawa manusia pada dunia dimana “instanisme” berkuasa. Segala sesuatu akan bergerak secara cepat dengan pekerjaan yang lebih mudah dan kualitas yang lebih baik.
Permasalahan yang tampak sekarang bahwa nilai-nilai sakral keduanya telah hilang. Kesejatiannya mulai ditinggalkan oleh manusia itu sendiri. Alquran dipolitisi dan diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan pribadi masing-masing. Kitab suci yang memuat perundang-undangan dunia tak ubahnya boneka yang dapat dipermainkan oleh siapa, dimana, dan kapan saja. Begitu juga dengan modernisasi, keasliannya sudah direnggut dan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat temporer. Implikasinya, kehadiran modernisasi tidak dapat membawa kebahagiaan, bahkan keingungan semakin rentan menimpa manusia dalam menjalani hidupnya.
Dalam konteks seperti ini, perenungan kembali terhadap nilai-nilai Alquran dan modernisasi patut dibutuhkan. Bagaimana Alquran mampu diterjemahkan dalam konteks nyata dengan bentuk aplikasi nilai sakralnya. Begitu juga modernisasi, bagaimana kecanggihan teknologi dapat dijadikan kesempatan emas untuk meraih ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Untuk mendapatkan hal tersebut maka Alquran dan modernisasi harus dikompromikan sehingga menjadi satu kekuatan yang akan memberikan jalan terang. Modernisasi harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah tertuang dalam Alquran dan Alquran harus terus diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan zaman dengan tanpan meninggalkan nilai sakralnya.
Dengan demikian, modernisasi yang saat ini menjadi bumerang kehidupan manusia akan lunak dengan sendirinya. Alquran yang dianggap tidak relevan dengan zaman akan menemukan kembali reputasinya. Akhirnya, kebahagiaan hakiki akan didapat, toh walaupun zaman terus berkembang secara pesat. Abduh (2004:112) menyatakan adanya ikatan nilai antara Alquran dengan modernisasi akan dapat mempertemukan manusia pada kebahagiaan hakiki dalam kemudernan sejati. Wallahua’lamu bisshawabi



* Penulis adalah alumni PP Annawari
Sera Tengah Bluto Sumenep

Jumat, 03 April 2009

Bahasa “Engghi-Bhunten” dan Budaya Masyarakat Madura

Bahasa “Engghi-Bhunten”
dan Budaya Masyarakat Madura

Oleh: Tirmidzi*)


Beberapa tahun terakhir, modernisasi dan globalisasi menjadi tema menarik yang sering diperdebatkan, terutama oleh kaum budayawan. Alasan utamanya, karena keduanya di samping membawa dampak positif terhadap perkembangan dan pembangunan Negara ini, juga membawa dampak negatif. Termasuk di dalamnya, keduanya telah memarjinalkan budaya-budaya asli atau budaya daerah. Budaya-budaya yang dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat menjadi pudar bahkan terpinggirkan oleh budaya-budaya baru yang kurang jelas nilai historisnya.
Salah satu budaya yang telah pudar adalah budaya berbahasa engghi-bhunten bagi masyarakat Madura. Bahasa engghi-bhunten merupakan bahasa terhalus di Madura setelah bahasa engghi-enten sebagai bahasa tingkat pertengahan dan enje’-iye sebagai bahasa tingkatan paling kasar. Dalam tradisi Madura, bahasa engghi-bhunten setingkat dengan bahasa kromo inggil dalam tradisi Jawa.
Dalam implementasinya, bahasa engghi-bhunten biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati, semisal dari anak ke orang tua, santri ke kiai, murid ke gurunya, staff ke atasannya dan sejenisnya. Sebagai contoh, kata panjennengngan atau ajunan yang berarti “kamu” digunakan untuk memanggil seorang kiai oleh para santrinya, dan kata abdhina untuk diri sendiri ketika berbicara dengan yang lebih terhormat. Tapi ironisnya, bahasa demikian kini telah merosot untuk tidak mengatakannya telah mati.
Menurut penulis, ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan bahasa engghi-bhunten di Madura menjadi pudar. Pertama, minimnya tenaga ahli yang mampu bertutur dengan bahasa engghi-bhunten. Salah satu pengasuh pondok pesantren di Sumenep, KH. Baidlawi, pernah menuturkan bahwa di zaman yang terus berkembang ini makin sulit menemukan sosok yang ahli dalam berbahasa Madura halus. Kedua, minimnya dokumentasi yang menghimpun khazanah kekayaan bahasa Madura. Prof. Dr. Mien Ahmad Rifai mencatat bahwa dalam setengah abad terakhir ini hampir tidak ada tulisan atau buku yang ditulis dalam bahasa Madura, sehingga bahasa Madura—termasuk bahasa engghi-bhunten—tidak bisa diakses oleh masyarakat luas. Ketiga, hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penutur bahasa engghi-bhunten. Dalam hal ini dapat dilihat dari fenomena kaum muda yang sudah banyak berinteraksi dengan ragam budaya luar dimana mereka cenderung memilih bahasa luar dan meninggalkan bahasa daerahnya.
Jika hal demikian dibiarkan, maka dapat dipastikan prediksi Achmad Zaini Makmun—staf ahli Balai Bahasa Surabaya—tentang matinya bahasa Madura pada tahun 2024 akan menjadi kenyataan, lebih-lebih bahasa engghi-bhunten. Bukan hanya itu, lebih ironis lagi adalah matinya bahasa daerah akan membunuh nilai-nilai budaya daerah dimaksud, karena bahasa dengan budaya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.

Relasi Bahasa dengan Budaya
Para sosiolog, budayawan dan ahli bahasa berbeda pendapat mengenai relasi bahasa dengan budaya, apakah relasi itu bersifat koordinatif atau subordinatif. Koentjaraningrat (1992) berasumsi bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Ada pula yang berasumsi bahwa antara bahasa dan budaya adalah fenomena yang berbeda dan sederajat dalam tingkatannya, sehingga hubungan keduanya adalah koordinatif sebagaimana disebutkan oleh Fishman (1987). Bukan hanya itu, Masinambouw (1985) menyatakan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia, budaya sebagai sistem yang mengatur interaksi mereka sedangkan bahasa adalah sistem yang berfungsi sebagai media berlangsungnya interaksi itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa bahasa dan budaya memiliki ralasi yang kuat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling memengaruhi. Menurut penulis ada dua hal penting yang patut diutarakan terkait dengan relasi bahasa dan budaya. Pertam, keduanya sebagai sistem atau konsep nilai yang memiliki peran vital dalam kehidupan ini. Nilai-nilai budaya terdapat dalam bahasa dan nilai-nilai bahasa juga terdapat dalam budaya. Dengan demikian, ketika sebuah bahasa diungkapkan dalam budaya yang berbeda maka akan mengandung nilai yang berbeda. Misalnya, kata kelem dalam bahasa halus Madura yang berarti “menginap” akan berbeda nilainya ketika diungkapkan di luar Madura, karena perbedaan budaya. Begitu juga sebaliknya, sebuah budaya jika dibahasakan dengan bahasa daerah lain akan memiliki nilai yang berbeda pula, semisal budaya kerrapan sapeh (kerapan sapi) di Madura dibahasakan dengan bahasa jawa atau reog di Ponorogo yang telah dibahasakan dengan bahasa Malaysia.
Kedua, keduanya sebagai kunci pengetahuan karakter masyarakat. Artinya, bahasa dan budaya akan mengilustrasikan karakter masyarakatnya. Lindgren (1973) menyatakan bahwa orientasi pengkajian bahasa dan budaya adalah untuk mengetahui lebih dalam pola dan nilai sebuah masyarakat. Bahkan, keduanya dianggap sebagai ciri paling kuat untuk mendalami karakter dalam masyarakat. Jadi, untuk mengetahui secara komprehensif karakter masyarakat Madura misalnya terlebih dahulu harus mempelajari bahasa dan budayanya. Asumsi ini secara tidak langsung menafikan generalisasi publik tentang budaya “kasar” masyarakat Madura, karena asumsi demikian tidak memiliki dasar yang kuat.
Kalau kita kaitkan dengan tema tulisan ini, maka jelas bahasa engghi-bhunten mengandung nilai yang tidak didapati dalam bahasa-bahasa lain dan di budaya-budaya lain. Bahasa engghi-bhunten sebagai bahasa terhalus, paling tidak akan mencerminkan budaya santun dan budaya halus masyarakat Madura dalam kapasitasnya sebagai masyarakat pesisir.
Oleh karena itu, bahasa engghi-bhunten harus dijaga dan dilestarikan karena pelestariannya merupakan salah satu langkah konkret pelestarian budaya Madura. Terlebih pasca konflik Sambas (Kalimantan Barat, 1996/1997-1999), Sampit (Kalimantan Tengah) pada minggu ketiga Februari 2001, Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalan Bun, di mana sampai saat ini masyarakat Madura telah diklaim sebagai orang kasar, beringas dan menakutkan. Untuk menghilangkan klaim tersebut, dibutuhkan kometmen dan semangat baru dari masyarakat Madura, mulai dari pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, dan masyarakat secara umum untuk membudayakan kembali bahasa engghi-bhunten sebagai salah satu cara untuk menampilkan citra Madura yang lebih baik.
Sebentar lagi jembatan yang menghubungkan Surabaya-Madura (Suramadu) akan segera rampung. Sudah bisa diprediksi bahwa suramadu di samping akan memudahkan transportasi dan komunikasi juga akan memberikan ruang besar masuknya arus globalisasi dan modernisasi yang besar kemungkinan akan membawa bahasa dan budaya yang beragam. Jika tidak ada persiapan sejak dini maka dipastikan bahasa dan budaya asli Madura akan digantikan oleh bahasa dan budaya produk keduanya.
Akhiron, akankah kita sebagai masyarakat Madura rela jika kata engghi diganti dengan “oke boz”, abdhina dengan “aye”, panjenengan dengan “you”, mator sakalangkong dengan “matur suwun”, atau budaya kerapan sapeh diganti dengan balap mobil dan motor GP, sapeh sono’ dengan goyang patah-patah, dan semacamnya. Penulis pribadi tidak akan berterima dengan kondisi demikian, karena sama saja dengan menjual hargi diri dan keperibadian kita sendiri. P.W.J Nababan (1993) pernah mensinyalir: kehilangan bahasa dan budaya sama halnya dengan kehilangan kesanggupan kita sebagai mahluk sosial, dengan kata lain kehilangan sifat kemanusiaan kita.



*Penulis adalah Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini telah dimuat di Harian Kompas Jatim, Edisi 25 Maret 2009

DIAKUI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF

DIAKUI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF
Oleh: Tirmidzi*


Perbincangan tentang kemiskinan tidak kunjung selesai. Kemiskinan terus menjadi tema menarik untuk dikaji dan didalami. Hal itu disebabkan karena kemiskinan merupakan permasalahan global yang kompleks, dinamis, polemis, dan mendesak. Dikatakan kompleks, ia sering kali muncul tanpa membedakan ras maupun suku, Aceh, Lampung, Sulawesi , Madura, semuanya—meminjam bahasa Syauqi Amin—memiliki koleksi masyarakat miskin. Dikatakan dinamis karena dalam kenyataannya ia terus mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan ruang dan waktu, polemis karena ia mengundang banyak orang—tanpa membedakan statusnya—untuk turut berpartisipasi dalam membincangnya, mulai dari apa itu kemiskinan, sebab-sebabnya, dampaknya dalam realitas kehidupan, dan langkah untuk mengantisipasinya. Semua orang sepakat bahwa ia merupakan hal yang mendesak mengingat imbasnya yang terlalu luas.
Semenjak kenaikan BBM tahun 2001 kemaren, kemiskinan di negara ini melonjak secara drastis. Di Jawa Timur (saja), sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, sampai bulan Maret 2007, jumlah penduduk miskin mencapai 7,138 juta jiwa atau 18,93 persen dari total penduduk di jatim.
Data tersebut mengindikasikan bahwa kemiskinan masih menggurita dalam kehidupan masyarakat. Dalam ranah kesadaran, data tersebut menggugah kesadaran seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi membasmi, atau setidaknya meminimalisasi, kemiskinan itu sendiri. Memang, diakui bahwa melawan kemiskinan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlawanan terhadapnya akan dihadapkan pada kerumitan-kerumitan baik fisik ataupun psikis. Ada banyak hal yang harus difikirkan dan dipersiapkan secara mapan.

Motif Kemiskinan
Deepa Naraya dalam bukunya, Voices of the Poor, menjelaskan bahwa secara garis besar kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, kemiskinan kultura. Dalam hal ini, kemiskinan dianggap sebagai “takdir” turunan dari para pendahulunya, sehingga mereka tidak berusaha untuk merubah kehidupannya. Bagi mereka “bekerja” hanyalah membuang-buang tenaga, toh pada akhirnya akan sama saja (tetap miskin). Klimaksnya, mereka terlalu pasrah pada yang “di atas” dan melupakan firman-firman-Nya yang memotivasi umat manusia untuk berkreasi dalam kehidupan dunia, wala tansa nashibaka min al-dunya dan hatta yughayyiru ma bi anfusihim.
Kedua, kemiskinan struktural. Berbeda dengan yang pertama, kemiskinan ini disebabkan oleh struktur (pemerintah) yang kurang memihak terhadap masyarakat. Ubaidillah (1999) menyatakan bahwa dalam level ini biasanya penyakit individualisme dan materialisme yang sering kali menjadi the first causesnya.
Dalam konteks jatim, kedua tipe kemiskinan tersebut dapat ditemukan. Tipe pertama, kita bisa berkaca pada nasib orang-orang yang “lebih senang” hidup di jalanan atau di bawah naungan jembatan, seperti di Surabaya sebagaimana penulis saksikan. Sedangkan tipe kedua, kita dapat mengangkat Pulau Madura sebagai sampelnya. Sampai saat ini, pulau Madura diasumsikan sebagai pulau terbelakang dan tertinggal secara ekonomi. Masyarakatnya mayoritas hidup di level menengah ke bawah. Padahal Suber Daya Alam (SDA) di Madura sangat memadai, mulai dari pertanian, perdagangan, sampai pertambangan. Tapi mengapa kemiskinan masih membelenggu masyarakat Madura yang dikenal sebagai pulau garam tersebut?.
Yang jelas, jawabannya bukan karena masyarakat Madura senang melestarikan kemiskinan atau mereka pemalas dan berpemikiran konservatif, tapi karena struktur yang tidak mengizinkan. Struktur lebih memihak pada para pemilik modal daripada masyarakat miskin, struktur pun berubah menjadi beringas untuk tidak mengatakannya menindas. Mereka hanya dijadikan batu loncatan oleh kalangan elit untuk menggapai tujuan sesaatnya.

Tanggung Jawab Kolektif
Deskripsi di muka sudah cukup memberi gambaran bahwa kemiskinan sungguh telah mendarahdaging dan sulit disembuhkan. Memang sampai saat ini banyak upaya telah dilakukan, mulai dari BOS untuk pendidikan, BLT, Raskin, Pemberdayaan UMKM, sampai kenaikan gaji buruh , tapi tidak satu pun yang memberikan hasil memuaskan. Bahkan kemaren, Presiden Republik Indonesia , Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui secara oral akan kegagalannya memberangus kemiskinan di negara ini.
Pengakuan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan sangat sulit direalisasikan. Di satu sisi bisa karena permasalahan kemiskinan memang sulit ditangani karena sangat kompleks, tapi di sisi yang berbeda bisa saja karena minimnya semangat dari seluruh elemen bangsa terutama pemerintah untuk bertekad dan berjuang melawan kemiskinan, atau karena sistem yang digunakan kurang mumpuni. Ada perkataan “semangat tanpa didukung dengan sistem yang mapan akan sulit mendapat hasil yang maksimal begitu juga sebaliknya”.
Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh elemen bangsa melangkah bersama dalam melawan kemiskinan. Jargon “memerangi kemiskinan” sebagaimana diusung oleh orang Cina dan India sudah tepat waktunya diterjemahkan dalam konteks keIndonesiaan, jatim khususnya. Kata “memerangi” berarti bahwa perlawanan dari berbagai pihak, bukan hanya satu atau kelompok dalam hitungan jari saja, akan tetapi merupakan hasil akumulasi dari berbagai lapisan masyarakat, mulai tingkat elit sampai orang “kecil” sekalipun. Dengan demikian, jargon tersebut sangat tepat dijadikan landasan spirit-ideologis bagi seluruh elemen bangsa yang saat ini sudah mulai merapuh.
Sejalan dengan itu, Imam Cahyono, salah satu Dosen UIN Jakarta, dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam hal ini (pengentasan kemiskinan) solidaritas menjadi penting ditingkatkan. Solidaritas diperlukan bukan hanya dari negara maju kepada negara berkembang, akan tetap juga diperlukan di antara masyarakat itu sendiri. Solidaritas antarsesama masyarakat sangat penting sebagai semangat bersama untuk melawan dan memerangi kemiskinan.
Persepsi penulis, setidaknya dalam hal ini ada tiga elemen yang sangat fundamintal. Pertama, kaum agamawan. Dalam tradisi Jawa, agamawan, atau sebut saja kiai, seringkali menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal, terutama keagamaan. Kondisi seperti itu dapat dijadikan peluang bagi mereka untuk membangun kesadaran bahwa agama bukan hanya memerioritaskan aspek rohani (ukhrawi) tapi juga aspek jasmani atau dahir (dunyawi), walatansa nashibaka min al dunya. Terlepas bagaimana mereka menjalankannya, namun yang terpenting adalah masyarakat miskin—terutama kemiskinan kultural—dapat sadar dan bersemangat untuk terus berubah menuju ranah yang lebih baik secara ekonomi.
Kedua, kaum akademisi. Setiap tahun negara Indonesia setidaknya mengeluarkan ribuan atau bahkan jutaan sarjana yang lebih dikenal dengan kaum intelek. Pada prinsipnya, mereka memiliki tanggung jawab sebagai agent of knowledge, agent of social control, dan agent of change. Ketiga agent tersebut dapat dijadikan pijakan dan spirit bagi mereka untuk melawan kemiskinan. Penafsiran ulang (redefinition) secara kritis terhadap fenomena kemiskinan yang kemudian diikuti dengan tindakan-tindakan solutif dan langkah konstruktif dapat dijadikan bentuk konkret kepedulian mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
Ketiga, pemerintah. Di negara ini, pemerintah memegang peran signifikan dalam perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau di dunia transportasi, pemerintah tak ubahnya sopir, keselamatan para penumpangnya sangat bergantung pada kecakapan dan kecerdikannya. Seorang sopir dikatakan berhasil ketika dia mampu mengantarkan penumpangnya sesuai dengan tujuan masing-masing tanpa ada yang merasa rugi atau dirugikan.
Terkait dengan fenomena kemiskinan yang terjadi, pemerintah dituntut untuk selalu aktif-progresif dalam menjalankan visi-misinya yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam pancasila sebagai falsafah negara Indonesia .
Hal prinsipil yang sangat membantu tercapainya visi-misi tersebut adalah kecakapan dan kelihaian pemerintah dalam membuat kebijakan dan mengatur sistem yang terkait dengan peningkatan bangsa dan negara. Bagaimana kebijakan tidak hanya bisa diambil “untung” oleh suatu pihak, sistem yang digunakanpun harus dengan pertimbangan-pertimbangan rasional sehingga tidak ada ketimpangan dalam prakteknya. Di samping itu, mereka juga harus memberikan suri tauladan dalam tindakan kesehariannya. Karena selama ini, pemerintah di mata masyarakat tak ubahnya manusia-manusia “beruang” yang selalu sikat sana sikat sini. Hal itu berdasaar pada bukti budaya korupsi yang sering kali dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan dalam sebuah lembaga.
Demikian beberapa hal yang menurut penulis sangat urgen sekali untuk dijadikan pertimbangan terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan yang kian meningkat di negara ini. Walau sering kali tulisan semacam ini muncul memenuhi media, tapi dalam tataran aplikasi belum sepenuhnya terwujud. Terakhir yang perlu dicatat adalah bahwa semua usaha tidak akan berarti tanpa ada dukungan penuh dari masyarakat, artinya sudah saatnya kita menjadikan masalah kemiskinan sebagai tanggung jawab kolektif yang harus kita perhatikan bersama.



*Penulis adalah SekUm PesMa IAIN Sunan Ampel
Tercatat sebagai Aktivis FoKSA