Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Selasa, 04 Agustus 2009

Menilai Kunjungan Kerja Wakil Rakyat

Menilai Kunjungan Kerja Wakil Rakyat

Oleh: TIRMIDZI*



Masa bhakti pemerintahan pereode 2004-2009 sudah hampir berakhir. Kurang lebih satu bulan lagi, pemerintahan akan segera diganti oleh para calon baru yang menang dalam pemilihan calon legeslatif pada tanggal 8 April beberapa bulan yang lalu. Uang lelahpun sudah ditentukan dan akan dicairkan sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasa wakil rakyat yang telah menjalankan tanggung jawab dalam kapasitasnya masing-masing.

Bukan hanya uang lelah, para wakil rakyat yang juga beramai-ramai melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri yang menurut mereka sebagai media evaluasi terhadap kinerja dan program-program daerah. Setidaknya ada empat komisi yang sudah secara jelas melakukan kunker ke luar negeri yaitu komisi A, B, D, dan E. Masing-masing komisi tersebut tentunya telah memiliki program dan fokus sesuai dengan bidang yang mereka tangani.

Komisi A sebagai bidang hukum kemarin telah berangkat ke Osaka, Jepang, dan baru selesai pada tanggal 4 Agustus. Selain ke Jepang, 4 anggota lainnya sudah menyelesaikan kunker ke Beijing, China, untuk membahas rancangan peraturan daerah (raperda) tentang manajemen penanggulangan bencana. Komisi B membagi kunker dalam dua tahap dengan daerah tujuan Thailand dan Korea Selatan (Korsel) untuk membahas masalah pertanian. Sedangkan komisi D (bidang pembangunan) telah memberangkatkan 11 anggotanya pada Selasa kemaren ke Beijing, China. Di samping itu, komisi ini juga menjadwalkan 6 anggotanya ke Berlin, Jerman, pada 9-16 Agustus besok terkait dengan pengolahan sampah dan infrastruktur. Tidak mau kalah, komisi E yang membidangi kesejahteraan rakyat telah berangkat ke Tokyo, Jepang, sejak 27 Juli sampai 1 Agustus di samping juga telah menjadwalkan 8 anggotanya ke Osaka, Jepang, besok tanggal 3-8 Agustus. (Kompas Jatim, 30/07/2009).

Memang kalau kita perhatikan, kunjungan kerja ke luar negeri bagi wakil rakyat seperti telah menjadi ‘ritual’ wajib yang tanpanya pemerintahan bisa tidak sah. Setiap pergantian jabatan, seringkali diakhiri dengan jalan-jalan ke luar negeri terlepas dari apa orientasi dan signivikansi kunker tersebut terhadap pemerintahan mereka yang akan segera disudahi. Pada akhir pemerintahan tahun 2004 kemaren, penulis masih ingat sekali acara kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur (Jatim). Komisi A melakukan kunker dengan menggunakan raperda tentang hari jadi Jatim di Belanda yang dianggap sebagai negara yang paling lengkap dan lebih mengerti sejarah Indonesia, termasuk Jatim. Komisi B membahas raperda mengenai pasar tradisional di Jepang dan di Thailand. Komisi C kunjungan ke Jepang terkait dengan peningkatan pendapatan daerah, sedangkan komisi E membahas raperda tentang manusia lanjut usia di Selendia Baru.

Suara Rakyat

Pemerintah adalah wakil rakyat. Hakikatnya semua kebijakan harus sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan aspirasi mereka. Dengan demikian, sesuaikah program pemerintah saat ini untuk kunker ke luar negeri dengan suara rakyat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap kali pemerintah melakukan kunker ke luar negeri di situ pula rakyat bersuara. Mereka menolak program demikian karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan riil mereka. Rakyat butuh ketenangan, keamanan, kesejahteraan, dan program-program yang secara nyata berorientasi membangun kehidupan mereka kearah yang lebih baik, bukan acara ‘study tour’ yang kurang jelas manfaatnya dan hanya menghabiskan anggaran daerah.

Suara rakyat demikian bukan tanpa alasan. Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa kunker pemerintah tidak membuahkan hasil yang riil dalam kehidupan rakyat. Taruhlah kunker komisi B pada tahun 2004 kemarin yang membahas rancangan peraturan daerah (raperda) terkait dengan pasar tradisional ke Thailand dan Jepang, adakah peningkatan mutu pasar-pasar tradisional pasca kunker?. Pasar Anom di Sumenep, pasar Kol Pajung di Pamekasan, pasar Wonokromo di Surabaya, dan Pasar tradisional di Sidoarjo, sampai detik ini masih belum ada kemajuan dalam semua aspeknya. Alasan selanjutnya bahwa kunker yang yang dilakukan pemerintah biasanya hanya fokus pada satu atau dua aspek sedangkan problema daerah yang mereka tinggalkan setinggi bukit yang menggunung dan jauh lebih bervariasi. Pertanyaan rakyat yang juga sering mengemuka terkait dengan kunker adalah: mengapa kunker ‘harus’ dilaksankan ketika jabatan hampr lenggang?. Suara rakyat demikan semestinya menjadi refrensi dan pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja, apa lagi sampai ke luar negeri yang sudah jelas akan menelan biaya yang sangat besar.

Tapi ironis, suara rakyat yang bergema dengan lantang tidak pernah digubris oleh pemerintah. Pemerintah selalu beralibi bahwa kunjungan kerja dilaksanakan atas nama rakyat, rakyat tidak mengerti program ‘ginian’ padahal demi kebaikan mereka juga. Ketika suara rakyat diabaikan, layakkah pemerintahan dikatakan demokratis?. Bukankah dalam pemerintahan demokratis segala kebijakan ada di tangan rakyat, atau meminjam istilah Hamidi Latif rakyat menjadi ‘raja’ sedangkan pemerintah hanyalah ‘hamba’?. Tentu kita semua sepakat jawabannya ‘tidak’.

Berdasar fakta tersebut, penulis menilai bahwa demokrasi hanya menjadi slogan kosong di kalangan pemerintah kita, sedangkan substasi demokrasi itu sendiri belum dapat diaplikasikan dalam konteks riil, bahkan acap kali ia dikontraskan dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, cukup penting kiranya ada penumbuhan kesadaran akan pemahaman hakikat berdemokrasi. Pemerintah setidaknya memiliki agenda khusus untuk mendalami makna demokrasi, di samping juga memiliki agenda-agenda masa depan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pemahaman mendalam pemerintah terhadap demokrasi akan menjadi bekal tersendiri dalam menjalankan mandatnya sebagai wakil rakyat, dan yang jelas mereka akan lebih peka terhadap fenomena-fenomena kerakyatan yang terjadi dan semua tindak laku, program serta kebijakan mereka baik individual, lebih-lebih institusional akan mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti adil, jujur, terbuka, musyawarah, tegas, bertanggung jawab, dan semacamnya betul-betul menjadi ruh yang melekat di setiap pribadi pemerintah. Sehingga, teriakan ‘dari’ rakyat tidak mereka abaikan, aspirasi dan usulan yang dikemas ‘oleh’ rakyat tidak mereka tinggalkan, dan dana APBN yang mustinya digunakan ‘untuk’ membangun kehidupan rakyat ditempatkan pada fungsi yang sebenarnya.

Terakhir, tulisan ini sekaligus menjadi media pengharapan penulis bagi calon wakil rakyat baru yang akan segera menggantikan kursi-kursi pemerintah lama. Mewakili aspirasi seluruh rakyat, penulis mengharapkan wakil rakyat yang baru bisa mendengarkan suara dan rintihan rakyat, siapa, kapan dan dimanapun, sebagaimana dijanjikan pada waktu mereka berkampanye. Ingat: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan.



* Penulis sekarang Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

P2SEM, Program untuk Masyarakat?

P2SEM, Program untuk Masyarakat?

Oleh TIRMIDZI*



Kebijakan pemerintah tentang Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) menuai protes yang sangat kuat dari berbagai fihak. Program tersebut dinilai hanya dapat dinikmati oleh orang dan instansi-instansi tertentu, tidak tepat sasaran dan hanya merugikan keuagan Negara (APBN). Oleh karena itu, harus segera dibubarkan dan kasus-kasusnya dituntaskan.

Namun demikian, gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo, akan tetap melanjutkan program tersebut, tapi mungkin dengan nama yang berbeda. Alsannya, program demikian merupakan aspirasi masyarakat yang diajukan kepada pemerintah melalui legislator yaitu DPRD masing-masing. Di samping itu, tidak ada yang salah dengan program tersebut. Secara konstitusional, program P2SEM memiliki landasan kuat yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Pertanyaannya sekarang, benarkah dana yang diproyeksikan untuk membantu masyarakat bawah memalui program tersebut betul-betul terealisasi di lapangan?. Permasalahan demikian patut dijawab dengan menelaah secara objektif pelaksanaan proyek besar P2SEM dimaksud, karena jika tidak, dapat membawa konsekuensi dan resiko yang harus ditanggung pada akhirnya oleh masyarakat dan pemerintah. Lebih-lebih dalam kenyataannya program tersebut kerap menimbulkan pro dan kontra, pertikaian atau setidaknya menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan kasus mutaakhir adanya indikasi tindakan korupsi di semua daerah.

Kejaksaan negeri (kejari) Sumenep Madura beberapa bulan lalu telah menahan tersangka dugaan korupsi dana P2SEM. Tersangka menyerahkan uang Rp164.858.000,00 pada jaksa penyidik kejari setempat. Kasus yang sama juga terjadi di Pamekasan Madura. Kejari juga telah menahan dan mengungkap kerugian keuangan negara senilai Rp250 juta dalam kasus tersebut. Modus yang dilakukan oleh tersangka adalah pemalsuan lembaga penerima bantuan. Tersangka mengajukan proposal atas nama Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Madura (UIM). Dalam proposal tersebut dijelaskan bahwa LP2M UIM akan melakukan penelitian buah mengkudu di Magetan, tapi belakangan pengajuan itu ternyata fiktif. Bahkan pihak UIM sendiri tidak mengetahui sama sekali tentang program tersebut.

Tidak mau kalah, kejari Bangkalan Madura juga telah menahan dua tersangka dalam kasus yang sama. Korupsi yang dilakukan keduanya itu berawal dari kucuran dana Pemprov Jatim pada 2008 lalu, sebesar Rp miliar untuk 55 lembaga P2SEM. Masing-masing lembaga mendapatkan kucuran dana Rp 100 juta untuk dana bakti sosial, pelayanan kesehatan, dan rehabiliasi gedung sekolah. Namun dalam praktiknya, dana Rp 100 juta yang diterima mereka ternyata hanya Rp 40 juta saja yang disalurkan ke masyarkat. Sisanya sebesar Rp 60 juta tidak jelas penggunaannya dan disinyalir digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindakan korupsi keduanya dengan cara membuat sejumlah pengeluaran fiktif dan memalsu kuintansi serta membengkakkan biaya anggaran.

Bukan hanya di Madura, Sejumlah penerima dana P2SEM di Kabupaten Banyuwangi diduga diterima oleh lembaga yang dimiliki tim sukses anggota DPRD Jatim dan calon legislator. Data yang penulis ketahui, penerima P2SEM di Banyuwangi di antaranya asosiasi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, sebesar Rp 200 juta, Panitia pelatihan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Desa Karangsari, Kecamatan Sempu, dan Kelompok Masyarakat Hijau Berseri Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, sebesar Rp 400 juta.

Setelah dilacak, lembaga-lembaga tersebut sebelumnya tidak pernah ada. Bahkan salah satu warga Sempu, mengaku tidak pernah tahu dengan asosiasi guru PAUD dan panitia pelatihan UKM. Ia mengaku hanya mengetahui adanya pelatihan guru PAUD yang digelar baru-baru ini. Pelatihan itu bertempat di rumah calon legislator Banyuwangi dari Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama. Selain itu, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Banyuwangi menerima Rp 25 juta dari P2SEM. Menurut Ketua STIKES, Sukarjo, dana itu untuk pembelian 4 unit PC komputer. Padahal dalam juklak, dana P2SEM seharusnya dipakai untuk perbaikan jalan, sanitasi, dan air bersih.

Kasus terkini terkait dengan dana tersebut terjadi pada mantan ketua dewan perwakilan rakya Jatim, Fathor Rasjid. Informasi terakhir diberitakan bahwa dia telah menetap di rumah tahanan Madaeng Surabaya. Tertangkapnya Fathor Rasjid tersebut diyakini akan menjadi ‘pintu gerbang’ untuk menyelidiki lebih dalam kasus penyelewengan dana P2SEM. Sehingga, semua pihak yang ikut andil dalam penyelewengan uang rakyat tersebut akan segera terungkap dan didenda sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Belajar dari Masa Lalu

Dari kasus-kasus tersebut nampak bahwa orientasi utama dari P2SEM belum tercapai sepenuhnya yaitu sebagai sarana penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, program tersebut menjadi lahan basah yang siap diolah bagi tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab. Korupsi, penyelewengan hak, pemalsuan tanda tangan dan stempel, lembaga-lembaga fiktif, dan semacamnya adalah modus yang digunakan untuk mencairkan dana untuk masyarakat tersebut.

Hakikatnya, Pemerintah sebagai penyelenggara sepatutnya menangkap fenomena-fenomena seperti itu sebagai sebuah pelajaran, bukan sebagai sebuah kesalahan teknis biasa karena yang menjadi korban adalah masyarakat. Sehingga, jika mereka memang masih berkometmen untuk melanjutkan program-program demikian seyogyanya melakukan evaluasi terlebih dahulu dan mau belajar dari pengalaman di masa lalu.

Sebagaimana penulis ketahui, di Jawa Timur, upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan sebetulnya bukan hal yang baru. Sejak pertama kali Program Gerdu Taskin dicanangkan pemerintah tahun 1997, sejak itu pula telah digulirkan berbagai program penanggulangan kemiskinan ke berbagai daerah dan masyarakat seperti Anti Poverty Programme, PAM-DKB, PPK, P2KP, program kompensasi kenaikan BBM, BLT, dan program-program yang lain. Demikian juga dengan program kesejahteraan sosial.

Namun, yang patut diingat bahwa setiap program-program yang diproyeksikan untuk kesejahteraan masyarakat justeru berakhir dengan masalah dan ada indikasi korupsi di dalamnya. Oleh karena itu, jika memang pemerintah masih berinisiatif untuk meneruskan program P2SEM kiranya perlu evaluasi secara berkesinambungan (continuous improvement) dan menyusun strategi, kebijakan dan program baru. Penyusunan strategi, kebijakan dan program baru itu yang terpenting harus benar-benar didasarkan pada pendataan secara langsung kepada masyarakat di lapangan sekaligus sosialisasinya, di samping penjagaan ketat dan follow up media juga sangat dibutuhkan, sehingga semua elemen masyarakat bisa mengetahui program-program pemerintah yang diorientasikan untuk kesejahteraan mereka sekaligus dana yang dialokasikan untuk mereka betul-betul dirasakan manfaatnya oleh mereka sendiri secara utuh menyeluruh.


* Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Masa Depan Politik NU

Masa Depan Politik NU

Oleh TIRMIDZI*



Pada dasarnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah ijtima’iyah diniyah) yang terbesar di negeri ini dan bukan organisasi politik. Namun demikian, persentuhan organisasi ini dengan partai politik dapat dikatakan sudah sejak awal berdirinya walaupun hanya sebatas ‘sentuhan halus’. Sedangkan secara monumental, sejarah politik NU mulai tampak sejak muktamar di Situbondo pada tahun 1984, yang memang dijadikan media untuk mengevaluasi di bidang politik, yaitu ketika NU memutuskan untuk kembali ke Khitah 1926. Inti khitah itu adalah pertama, NU tidak memiliki hubungan organisatoris dan berafiliasi dengan politik manapun. Kedua, memberikan kebebasan kepada warganya berkiprah dalam politik untuk menebarkan dan memperjuangkan misi ke-NU-an.

Sejak tahun 1984 itulah NU konsisten dalam mengambil jarak dengan partai politik atau sering dikatakan pula sebagai sikap netral dalam berpolitik. Sejak itu pula muncul semacam keyakinan tertentu di kalangan elit dan warga NU bahwa NU tidak akan menjadi parpol, tidak mendirikan parpol dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Sikap netral semacam itu berjalan cukup lama bahkan sampai dewasa ini masih tertanam kuat dalam alam pikiran jamaah NU sehingga ada yang mengatakan sudah menjadi ideologi politik atau budaya politik penganutnya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan arus politik yang semakin kuat, organisasi yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau tanggal 31 Januari 1926 M ini tidak bisa menghindar begitu saja dari percaturan politik, terlebih ketika melihat kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk dan buta secara politik. Hal itu tampak jelas Pada Pemilu 1999 dimana, NU melibatkan diri dalam arus reformasi dan hingga batas tertentu masuk ke suasana pesta pora politik. Orang-orang NU banyak masuk menjadi pengurus partai dan ada pula yang duduk di parlemen. Semakin tampak lagi ketika mantan ketua umum PBNU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yang kemudian disusul oleh KH. Hasyim Muzadi yang mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden pada tahun 2004 kemaren.

Dewasa ini, syahwat politik di kalangan jamaah NU terus menguat untuk tidak mengatakannya parah. Dalam pemilihan kepala daerah, jamaah NU selalu menjadi garda depan. Sedangkan dalam pemilihan calon legislatif, orang-orang NU banyak yang menyalonkan dirinya untuk duduk di parlemen. Pamflet, stiker, baleho, almanak, dan semacamnya menjadi media ‘penampakan’ wajah ke-NU-an mereka. Bahkan dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, warga NU menjadi objek utama setiap kandidat. Semua alat kampanye dipenuhi dengan foto-foto dan tandang tangan tokoh NU, terlepas apakah itu berarti secara subtantif atau hanya ikut-ikutan atau bahkan menjadi objek perpolitikan yang diambil manfaat oleh instansi-instansi politik (baca: parpol) lain. Tapi yang jelas bahwa reputasi NU sebagai organisasi terbesar sudah mulai luntur karena sering ‘diperdagangkan’ oleh jamaahnya sendiri.

Jadi, sangat mafhum jika salah satu pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengajak seluruh pengurus NU tidak lagi terjebak pada politik praktis. Di samping itu, beliau juga mengimbau sebaiknya di masa mendatang komunitas pondok pesantren—yang merupakan basis NU terkuat—tidak melibatkan diri dalam ingar-bingar politik praktis. (Kompas Jatim, 09/07/2009).

Politik Masa Depan

Himbauan Gus Solah tersebut kalau kita akurasikan dengan kondisi politik yang digeluti oleh warga NU dewasa ini menjadi sangat beralasan, di samping NU seakan menjadi organisasi politik yang namanya 'dipamerkan' di mana-mana, warga NU bercerai-berai, juga in come positif dari perpolitikan yang dilakoni belum dapat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya warga nahdliyin.

Harus disadari sejak dini, bahwa perpolitikan ke depan akan semakin kental dan kompleks. Gesekan antar gerakan politik yang semakin akut, kaum politisi yang terus membeludak, partai politik yang terus tumbuh subur, pemerintahan yang semakin politis, dan bahkan adanya sinyalir permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan politik menjadi indikasi kuat atas tumbuh-suburnya politik di masa yang akan datang. Sehingga, NU sebagai jam’iyah ijtima’iyah diniyah tentunya dapat diprediksikan akan terlibat di dalamnya.

Dari itu, tugas besar bagi NU dan jamaahnya adalah mempersiapkan perpolitikan masa depan. Jika tidak disiapkan sejak dini, maka jelas konsekuensi yang harus ditanggung akan lebih besar, lebih berat dan lebih beresiko. Salah satu proyek atau agenda yang patut dipersiapkan adalah menyusun kekuatan politik yang beroientasi membangun (power to) sebagaimana dalam teori kekuasaan Jean Bethke Elshtain dan meninggalkan tradisi politk lama yang sifatnya lebih pada merusak (power over), atau dalam tradisi NU al-muhafadlah bi al-qadimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Agenda itu bisa dilaksanakan dengan beberapa langkah, misalnya: pertama, menyatukan visi-misi politik antara partai politik NU, karena sampai saat ini partai-partai NU disibukkan dengan orientasi politiknya masing-masing sedangkan NU sebagai induknya cenderung mereka lupakan.

Kedua, membangun konsolidasi yang lebih erat. Selama ini jarang kita dapati partai-partai NU seperti PKB, PPP,PKNU, PBR, dan semacamnya berkumpul dalam satu forum secara inten untuk membahas orientasi, strategi dan capaian politik di masa depan. Langkah ini dilakukan untuk mempererat jalinan ukhuwah islamiyah nahdliyah yang mulai kendor, memperkuat ideologi politik yang retak dan sekaligus mempertemukan ide-ide politis yang sudah barang tentu berbeda satu sama lain dan bisa dicarikan titik temunya secara kolektif-organisatoris.

Namun yang perlu diingat bahwa langkah-langkah tersebut dilaksanakan untuk menampilkan citra atau reputasi NU yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis seperti al-tasamuh, al-tawazun, al-'adalah, al-syura, al-hurriyah, menjadi lebih baik bukan justru sebaliknya. Sudah saatnya, NU yang secara kuantitas terbesar di Indonesia, baik dalam kapasitasnya sebagai organisasi (jam'iyah) maupun sebagai komunitas (jama'ah), bersatu menyambut masa depan politik yang lebih cerah dan lebih cemerlang.

* Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya