Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 25 Desember 2009

Pencitraan Masyarakat Madura Swasta

Pencitraan Masyarakat Madura Swasta
Oleh TIRMIDZI*


Samapi detik ini, masyarakat Madura dikenal dengan masyarakat perantau. Di berbagai daerah di negeri ini, khususnya di tempat-tempat perdagangan, tersebar orang Madura. Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, lebih-lebih di pulau Jawa sudah musti memiliki ‘koleksi’ orang Madura. Bahkan di bagian timur pulau Jawa, masyarakat Madura mendominasi dan membentuk komunitas besar yang sering kali dikenal sebagai masyrakat Madura swasta, masyrakat gadungan, masyarakat duplikat, dan masyarakat murtadin karena Maduro ora dan Jowo ora.
Namun demikian, harus diakui bahwa masyarakat Madura swasta tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai yang eksistensinya tidak lepas dari eksistensi masyarakat Madura asli dan Madura itu sendiri. Hal itu disebabkan karena mayoritas mereka adalah keturunan asli orang Madura, pun juga karena mereka telah membawa kultur, budaya, dialektika, dan bahasa resmi Madura. Atribut-atribut ‘Maduraisme’ pun sangat lekat bagi mereka dan kehidupannya. Tidak heran jika ada yang menyatakan bahwa memasuki wilayah timur pulau Jawa, mulai dari Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Banyuwangi, sama halnya dengan masuk ke pulau Madura.
Lebih erat lagi, antara Madura swasta dan Madura murni memiliki keterkaitan citra, dalam artian reputasi keduanya saling bergantung satu sama lain. Sebagai permisalan adalah konflik keagamaan yang terjadi di Situbondo beberapa tahun yang lalu. Dampak negatif konflik tersebut berimbas samapi ke pulau Madura. Tanpa ada pengecualian swasta apa bukan, seluruh masyarakat Madura diklaim sebagai orang-orang keras, kasar, tidak egaliter, dan tidak menghargai pluralitas. Begitu juga sebaliknya, ketika Masyarakat Madura menjadi prakarsa penyelesaian konflik, di Jember misalnya, maka nama Madura menjadi harum. Namun, harus diakui bahwa stigma negatif lebih kuat dan lebih banyak disandangkan bagi masyarakat Madura serta lebih membutuhkan perhatian sejak dini.
Untuk menghindari stigma negatif tersebut diperlukan proses pencitraan demi untuk menampilkan reputasi Madura yang lebih baik. Pencitraan tersebut merupakan PR sekaligus tugas bersama yang amat mendesak bagi masyarakat Madura secara umum. Sedangkan mekanisme pelaksanaannya bias saja berbeda antara satu daerah dengan derah yang lain, yang swasta dan yang bukan swasta. Bagi masyarakat Madura swasta, tugas demikian akan menjadi lebih berat karena mereka hidup di tengah lingkungan yang lebih plural dan hiterogen di banding dengan pulau Madura. Tantangan dan rintangan sudah barang tentu akan lebih kompleks yang sekaligus akan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang lebih ekstra pula.
Oleh karena demikian, mereka dituntut untuk bersikap kreatif dalam mencari upaya-upaya konstruktif pencitraan tersebut. Salah satu upaya yang menurut penulis dapat diaplikasikan oleh masyrakat untuk pencitraan tersebut adalah menafsirkan dan menerjemahkan kaidah usul fiqih ‘al muhafadhatu ala al qodimi al sholih wa al akhdzu ala al jadidi al ashlah’ dalam konteks kehidupan mereka. Penulis yakin jika pesan yang tersirat dalam kaidah tersebut dijalankan secara maksimal maka akan menghasilkan pencitraan Madura yang lebih gemilang di masa depan.
Setidaknya terdapat beberapa pesan penting dalam kaidah tersebut. Pertama, melestarikan tradisi lama yang baik. Dalam artian, bagaimana masyarakat dapat menjaga tradisi-tradisi luhur nenek moyang sehingga tetap eksis di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Misalnya, melestarikan tradisi berbahasa engghi-bhunten dan gotong royong. Sepengetahuan penulis, bahasa Madura yang paling halus tersebut sangat minim di kalangan masyarakat Madura, termasuk Madura swasta. Padahal pelestariannya akan mencerminkan sikap halus dan sopan orang Madura. Sedangkan gotong royong yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Madura akan menjadi simbol integritas dan solidaritas. Jangan sampai sikap demikian diganti dengan virus-virus individualisme sebagaimana telah menjangkit masyarakat kota.
Kedua, mengambil (akhdzu) tradisi-tradisi baru yang lebih baik. Upaya yang kedua ini meniscayakan adanya sikap akomodatif-produktif-kreatif dari masyarakat untuk menciptakan tradisi atau setidaknya mengadopsi tradisi baru yang lebih baik, baik yang datang dari Madura maupun dari luar Madura. Munculnya tradisi ruwetan desa dan petik laut di sebagian masyarakat Madura merupakan angin segar yang mengarah pada penciptaan tradisi baru yang lebih baik. Walaupun pada hakikatnya kedua tradisi tersebut berasal dari Jawa, namun akan lebih baik jika masyarakat Madura juga melaksanakannya. Karena di samping dapat dijadikan momentum ucapan terima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan, juga dapat dijadikan sebagai medium silaturrahmi demi untuk memperkuat ukhuwah ijtimaiyah antar masyarakat.
Ketiga, jika difahami secara terbalik (mafhum mukholafah), maka kaidah di muka meniscayakan kepada masyarakat untuk meninggalkan tradisi-tradisi yang bernilai negatif baik itu dari Madura itu sendiri seperti carok, terlebih yang dari luar semisal pesta minuman keras, sabu-sabu, sek bebas, korupsi, dan semacamnya. Intinya, mereka harus melakukan filterisasi terhadap tradisi-tradisi yang ada. Upaya ini dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk memurnikan tradisi-tradis lokal Madura dari tradisi-tradisi yang negatif sekaligus tidak mencampuradukkan tradisi luhur Madura dengan tradisi luar yang tidak jelas nilainya.
Demikian beberapa uapaya yang dapat dilakukan dalam proses pencitraan masyarakat Madura, khususnya yang swasta. Perlu diingat bahwa sebuah proses tidak akan berjalan secara optimal tanpa adanya kesamaan misi antar masyarakat. Oleh karenanya, mari kita bangun citra Madura dengan bersama-sama menuju Madura masa depan. Masyarakat Madura swasta bukanlah masyarakat duplikasi atau gadungan sebagaimana diasumsikan akhir-akhir ini tapi mereka adalah komunitas yang akan menciptakan Madura yang lebih bercitra dan bernilai adiluhung.



* Penulis Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel, Asal Madura

Membangun Rasionalitas Kaum Nahdliyin

Membangun Rasionalitas Kaum Nahdliyin
Oleh: Tirmidzi*


Tulisan M Kamil Akhyari Benarkah NU Moderat? (Kompas Jatim 03/11/2009) sangat menarik untuk dijabarkan lebih luas. Pasalnya, moderatisme yang ada dalam tubuh NU sudah mulai luntur dan perlu direinterpretasikan oleh kaum nahdliyin, mengingat pula NU saat ini bukan hanya bergerak dalam bidang sosial-keagamaan tapi juga dalam budaya, ekonomi dan politik yang barang tentu lebih luas dan lebih sulit dari sebelumnya.
Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu dan samapi detik ini terkenal dengan moderatismenya. Hal itu terlihat dari paradigma tawasuth, tawazun, dan ta'adul yang sangat lekat pada pola pikir kaum nahdliyin. Di samping itu, dalil ushul fiqh: al muhafdhatu 'ala al qodimi al sholih wa al akhdzu 'ala al jadidi al ashlah yang dipelihara dengan ketat di kalangan nahdliyain juga turut memperkuat asumsi tersebut, hingga pada gilirannya NU sering kali disebut sebagai organisasi yang elastis, yang lentur dan dapat beradaptasi dalam setiap ruang dan waktu.
Di sisi yang berbeda, sikap moderat yang diambil oleh kaum nahdliyin membawa pada pengaburan antara dua sisi, antara putih dan hitam, antara bawah dan atas, antara kanan dan kiri, antara rasionalitas dan intuitif, dan semacamnya. Jaringan islam liberal (JIL) yang lahir dari tubuh NU menunjukkan pemikiran-pemikiran liberal semisal tidak wajib shalat dan melaksanakan haji bukan di bulan haji. Fakta lain, persetujuan pengurus dan warga NU terhadap peraturan wajib jilbab bagi karyawan di beberapa daerah membuktikan radikalitas yang melilit di benak kaum nahdliyin. Dua fakta tersebut jelas sama-sama tidak dilandasi dengan pemikiran yang jernih dan jauh dari rasio. Alih-alih memakai rasio tapi yang terjadi justeru 'pembunuhan' terhadap sikap moderat yang dianutnya sendiri.
Contoh lain, pemilihan yang dilaksanakan oleh kaum nahdliyin baik di ranting, cabang, wilayah, maupun pusat. Ketika terdapat dua kandidat misalnya, yang satu dijadikan calon karena latar belakang pendidikan, keilmuan dan pengalaman dan yang satunya didukung karena berlatarbelakang kiai atau gus, maka jelas yang akan memenangkan kontes tersebut adalah yang berlatar kiai atau gus. kiai atau Gus bagi kaum nahdliyin bagaikan 'Tuhan' yang harus sami'na wa atho'na, harus didukung dalam setiap kesempatan terlepas dari latar belakang dan kredibelitasnya. Tidak heran jika sampai-sampai Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar menulis buku Bila Kyai DiperTuhankan untuk mengkritisi sikap kaum nahdliyin tersebut. Dia menulis bzhwz kaum nahdliyin tidak mau meninggalkan apa kata kiainya, walaupun apa yang dikatakannya bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, terciptalah iklim 'penuhanan' di bawah sadar yang mungkin tidak pernah dikehendaki. (Harotono/10/2001). Apakah sikap nahdliyin yang lebih memilih kiai atau gus daripada yang lain mencerminkan sikap moderat?, masihkah mereka bisa dikatakan rasional?.

Rasionalitas Ala Descartes
Rene Descartes, semasa hidupnya telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan filsafat. Metode-metode yang dia kemukakan merupakan langkah awal lahirnya pemikiran filsafat modern, bahkan dikatakan bahwa dialah bapak filsafat modern. Pada saat itu, akhir abad pertengahan, dunia filsafat telah merosot perkembangannya. Diawali sejak penghujung zaman helenisme sampai kemudian memasuki abad pertengahan, agama, hati dan iman mendominasi, sedangkan akal sama sekali tidak berkutik.
Salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh saat itu adalah rumusan terkenal yang diungkapkan oleh Saint Anselmus dengan pernyataannya credo uz intelligam, yang artinya adalah iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Dalam ungkapan ini, orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus di imani, melainkan orang mengerti karena mengimaninya. Demikian tetap diyakini terutama oleh tokoh-tokoh gereja yang tetap percaya bahwa dasar filsafat adalah iman. Konsepsi ini kemudian menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam prakteknya, karena ketika seseorang telah yakin dan beriman pada sesuatu maka dia cenderung tidak berusaha untuk mengerti. Dia akan menjunjung tinggi, membela bahkan menganggapnya benar walaupun pada hakikatnya keyakinannya salah, dan dia akan tidak support, mencaci dan bahkan menyalahkan yang hakikatnya benar. Sekali lagi itu dikarenakan oleh keyakinan dan keimanan yang terlalu dikedepankan.
Dalam kondisi demikianlah, kemudian Descartes hadir untuk menanamkan dasar filsafat yang baru yaitu akal. Untuk mendukung argumentasinya tesebut ia mengungkapkan metodenya yang terkenal tentang keraguan (Cartesian Doubt) atau yang lebih dikenal dengan cagito Descartes. Ia memulai dengan cara meragukan apa saja, meragukan kepercayaan, meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam di luar dunia, eksistensi orang lain semisal kiai dan gus dan dirinya sendiri bahkan meragukan eksistensi Tuhan. Kemudian keraguan itulah yang memotivasinya untuk selalu berfikir. Oleh karenanya, dia akhirnya berkesimpulan bahwa ia ragu disebabkan oleh berfikir. Tidak mungkin ia ragu jika tidak berpikir. Berfikir yang membuatnya ada, aku berfikir maka aku ada.
Konsepsi Descartes itulah yang selayaknya dibangun di kalangan kaum nahdliyin dewasa ini mengingat menguatnya 'irrasionalisme' dalam tubuh NU itu sendiri. Jika Descartes bisa meragukan eksistensi seseorang, dirinya bahkan Tuhan, maka seyogyanya kaum nahdliyin juga dapat meragukan eksistensi yang lain. Namun yang jelas, keraguan dimaksud bukan untuk mengucilkan eksistensi yang lain tapi lebih pada pembacaan untuk mencari kebenaran dengan berdasar pada rasio dan pengetahuan bukan pada sesuatu yang semu.
Muktamar NU ke 32 yang akan diselenggarakan di Makasar sudah hampir tiba waktunya. Kalau tidak ada kendala, hajatan besar tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 22-27 bulan Maret 2010 mendatang. Beberapa nama kandidat sudah mulai disebut-sebut, seperti Salahuddin Wahid, Said Aqil Siradj, Slamet Effendy Yusuf, Ulil Abshar Abdalla, Masdar Farid Mas’udi, dan lainnya. Toh walaupun nama-nama tersebut sudah tidak asing, tapi memilih salah satu mereka sebagai pengganti KH. Hasyim Muzadi bukanlah perkara yang mudah. Bukan hanya karena akrab, teman seperjuangan, pintar ngaji, keilmuannya mumpuni, liberal, atau fundamental dan semacamnya. Tapi lebih dari itu, harus dilandasi permikiran dan rasionalisasi yang matang. Harus diingat bahwa meragukan eksistensi mereka sebagaimana dilakukan Desacartes bukanlah pekerjaan dosa, melainkan pekerjaan terhormat karena menyangkut kehidupan umat sejagat. Semoga yang terpilih nanti bisa menjadi lokomotif yang dapat membawa gerbongnya dengan baik dan selamat sampai tujuan. Amien…


* Penulis adalah Alumni PP. Annawari Bluto Sumenep Madura