Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Kamis, 04 Maret 2010

Pegawai Negeri yang Terhormat

Pegawai Negeri yang Terhormat

Oleh TIRMIDZI*



Di bumi pertiwi, proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS), baik yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) maupun Departemen Agama (Depag) menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Penulis masih ingat fenomena antrean panjang dan berdesakan di tengah suasana yang amat panas, dimana pemuda-pemudi bangsa ingin mendaftarkan diri mereka sebagai pegawai negeri atau sering disebut sebagai abdi Negara. Contoh riil, di Sumenep, Madura, pada tahun 2009 ini, kandidat yang mendaftar mencapai lima kali lipat dari kuota yang dibutuhkan. Bayangkan, kurang lebih 5. 569 pendaftar hanya akan diambil sekitar 850 orang untuk semua formasi. Bukan hanya di Madura, fenomena serupa juga terjadi di daerah-daerah lain semisal Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Nganjuk, dan yang lainnya.

Walaupun persaingan menjadi pegawai negeri amat ketat, namun minat masyarakat tidak pernah surut. Berbagai macam strategi mereka tempuh untuk bisa lolos dalam ‘audisi’ yang digelar oleh pemerintah tersebut, mulai dari mempelajari soal-soal PNS tahun sebelumnya, kursus, privat, bahkan cara-cara ilegal dan melanggar hukum mereka gunakan. Tangan-tangan calo yang kurang bertanggungjawab semakin terbuka lebar, transaksi suap untuk mendapatkan bocoran soal, atau pemesanan ‘kursi’ secara langsung kepada pihak-pihak terselubung juga kerap dilakukan. Pengorbanan finansial bagi mereka tidak menjadi persoalan. Padahal menurut asumsi yang beredar, harga ilegal berkisar 50, 75 sampai 100 juta bergantung pada formasi masing-masing.

Pertanyaannya sekarang, apa yang melatarbelakangi mereka sehingga berambisi untuk menjadi pegawai negeri?. Sejauh pengamatan penulis, alasan konkret berikut akan menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, karena image status social seorang pegawai negeri lebih terhormat dan istimewa di mata masyarakat dai pada status buruh, tani, kuli, atau pedagang. Dinilai terhormat, karena proses rekrutmennya tidak asal-asalan akan tetapi didasarkan pada keahlian dan skill keilmuan di samping juga karena mereka akan menjadi pelayan publik yang sejatinya akan berpartisipasi dalam perwujudan cita-cita bangsa dan Negara yang adiluhung.

Kedua, karena sebagai pegawai negeri menjamin finansial di masa depan. Tunjangan perumahan, transportasi, asuransi kesehatan, penghasilan tetap tiap bulan, dan yang amat penting adalah tunjangan di hari tua, semuanya akan diperoleh oleh seorang pegawai negeri. Terlebih ketika kita mengingat krisis ekonomi yang terus menggerogoti negeri ini. Sudah barang tentu dalam kondisi demikian, menjadi pegawai negeri adalah sebuah pilihan bahkan keharusan untuk menyongsong perekonomian masa depan yang lebih cerah. Berbeda dengan pegawai swasta yang amat rentan naik-turun gaji atau bahkan putus hubungan kerja (PHK).

Setidaknya, dua alasan tersebut yang telah ‘menyihir’ pikiran masyarakat dewasa ini untuk terus berjuang menjadi pegawai negeri. Pegawai negeri bagi mereka dinilai terhormat, utamanya terkait dengan stratifikasi sosial dan kondisi finansial, sehingga mereka rela pontang-panting mendapatkannya sampai melanggar hukum sekalipun. Tidak heran jika seorang cerpenis, Suryatama Alien, pernah menceritakan seorang anak tidak mengakui ibunya yang gembel untuk menjaga imagenya di tengah masyarakat, atau seorang novelis, Pramoedya A. Toer, dalam salah satu karya tatraloginya mengisahkan seorang bapak rela menjual puterinya sendiri demi kehormatan finansial, yakni mendapat jabatan kasir.

Menjadi yang Terhormat

Menjadi orang yang terhormat di tengah masyarakat lebih-lebih di ‘mata’ Tuhan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mendapatkan kehormatan harus dengan perjuangan dan pengorbanan yang ekstra. Perlu diingat bahwa orang terhormat bukan karena status sosial atau kondisi finansial an sich. Kiai, guru, dokter, perawat, peneliti, dan semacamnya hanyalah simbol belaka. Sementara gaji tetap, asuransi kesehatan, tunjangan hidup hanyalah titipan sementara yang amat minim keterkaitannya dengan kehormatan seseorang. Fakhrudin Ali (2006) menyatakan: uang (finansial) hanya untuk membeli jam bukan waktu, membeli buku bukan pengetahuan, membeli obat bukan kesehatan, membeli darah bukan kehidupan, dan membeli jabatan tapi bukan kehormatan.

Artinya, pada hakikatnya kehormatan tidak terkait dengan simbol-simbol kehidupan, namun lebih erat hubungannya dengan kesadaran jiwa seseorang yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk etos kerja yang disiplin (istiqomah) dan sikap-sikap terhormat (akhlaq al-karimah) dalam berbangsa dan bernegara. Imam Ali pernh menyatakan: seseorang akan terhormat bukan karena pangkatnya tapi karena perbuatan dan hatinya.

Dengan demikian, seorang pegawai negeri tidak bisa dikatakan terhormat walaupun telah memiliki jaminan finansial dan status sosial sebagai abdi Negara, kecuali dia mampu menjaga stabilitas jiwa, mental, pikiran, dan sikapnya dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh kedisiplinan dan tanggung jawab yang tinggi. Sering kita menyaksikan, baik secara langsung maupun di media, sikap dan perilaku pegawai negeri yang tidak mencerminkan sosok abdi Negara, misalnya mereka jalan-jalan ke mall atau swalayan pada waktu jam kerja, berselingkuh dengan istri orang sebagaimana terjadi di Mojokerto, atau pembagian waktu dinas sehingga mereka bisa berlama-lama di rumah sebagaimana ditemukan di kepulauan Sumenep, Madura, dan melakukan tindak koruptif sebagaimana kasus di Pasuruan dan Gersik.

Namun, perlu kita berhusnu dhon bahwa tidak semua pegawai negeri ini berperilaku menyimpang dan patut kita kesampingkan. Di sana masih ada guru yang secara disiplin mencerdaskan anak bangsa, dokter dan perawat yang secara terbuka melayani publik, dan pegawai-pegawai negeri lain masih setia pada peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negeri. Merekalah abdi Negara yang pantas mendapat kehormatan dan keistimewaan.

Sebagai pesan akhir, sebentar lagi calon pegawai negeri yang lolos dalam seleksi akan segera dilantik. Secara otomatis, status dan tanggung jawab sebagai abdi Negara akan melekat dalam diri mereka. Perlu ditegaskan kembali, status sosial dan jaminan finansial hanya akan menjerumuskan kita pada lembah kehinaan dan kenistaan apabila tidak dilandasi dengan kesadaran jiwa, etos kerja yang disiplin dan hubungan baik di tengah masyarakat. Mari kita menjadi pegawai negeri yang terhormat bukan yang terlaknat. Amien…



* Penulis Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Dari Gus Dur untuk Kiai

Dari Gus Dur untuk Kiai

Oleh: Tirmidzi*


Tidak terasa, KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Dur, sudah lebih dari empat puluh hari meninggalkan bangsa dan Negara ini. Namun demikian, sosok beliau seakan masih eksis, namanya pun masih familiar di tengah masyarakat kita. Begitu banyak sikap dan sumbangsih pemikiran beliau yang terkenang dan sulit dihilangkan dari memori masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini, namanya disebut-sebut dan akan dinobatkan sebagai salah satu pahlawan nasional, gelar yang juga diperoleh oleh bapak dan kakek beliau.

Sebagaimana telah mafhum bahwa Gus Dur pada dasarnya adalah seorang kiai karena beliau putera dari KH. Wahid Hasyim, menteri agama pertma negeri ini, dan cucu KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan ulama terkemuka dan pendiri organisasi terbesar di bumi pertiwi yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di samping juga, kata ‘gus’ turut menegaskan bahwa beliau adalah keturunan darah biru.

Darah biru yang mengalir dalam dirinya menjadi salah satu bekal bagi beliau dalam proses pencarian jati diri hingga akhirnya beliau mampu menjadi guru bangsa, cendikiawan, politisi, dan ulama sekaligus. Kata ‘gus’ yang melekat padanya tidak menjadi pengekang untuk melulu mengurusi pesantren atau belajar ilmu-ilmu keagamaan (islam) an sich sebagaimana kiai pada lazimnya. Sebaliknya, satatus yang dimilikinya menjadi motivasi bagi beliau untuk mendalami semua disiplin keilmuan hingga ke luar negeri sekalipun. Mesir, Maroko, Irak, Jerman, Prancis, Malaysia, dan lainnya pernah beliau singgahi untuk ‘memanin’ berbagai macam ilmu. Pengetahuan dan pengalaman yang diperolah dari berbagai tempat tersebut telah mencetak beliau menjadi sosok yang kharismatik, sederhana, visioner, dan berwawasan luas dalam berbagai bidang.

Dalam bidang politik, beliau telah menunjukkan kemampuannya dengan menjadi presiden negeri ini pada tahun 2001 yang silam. Patut dicatat bahwa kepemimpinan beliau merupakan sejarah besar dimana seorang kiai bisa memegang tampuk kekuasaan tertinggi negeri ini. Di samping menjadi politisi, beliau juga seorang cendikiawan dan guru bangsa. Gagasan-gagasan brilian dan terkadang nyeleneh sering kali menjadi rujukan masyarakat. Pemikiran beliau yang ditransformasikan dan dibakukan dalam bentuk buku bacaan juga telah menjadi referensi bagi perkembangan wacana pemikiran bangsa ini. Contoh kecilnya, proyek pluralisme yang digarapnya dewasa ini menjadi salah satu metode efektif untuk mewujudkan kesatuan republik Indonesia di tengah pluralitas yang amat beragam.

Di tengah kesibukan demikian, beliau tetap eksis dalam memerankan dirinya sebagai kiai. Di Jawa Timur (Jatim), beliau sering mengisi tausyiah di pondok-pondok pesantren sebagai wujud kepeduliannya terhadap lembaga keilmuan yang tertua tersebut sekaligus kepada santri yang akan menjadi generasi penerus kaum tua. Intinya, Gus Dur adalah sosok yang penuh keistimewaan, termasuk di dalamnya dapat memerankan dirinya sebagai apa saja dan siapa saja secara elastis yang patut diteladani oleh generasi penerusnya, utamnya kaum ‘Gus’.

Kiai Multidisipliner

Melihat sosok Gus Dur sebagaimana dijelaskan di muka, kita banyak menemukan keistimewaan yang patut diteladani dan dilestarikan. Yang amat jelas bahwa beliau adalah kiai yang multidisipliner. Dalam artian, beliau sosok yang multi fungsi, manusia ‘canggih’ yang mampu menguasai berbagai macam keilmuan dan secara elastis dapat memerankan diri dalam berbagai peran, mulai politisi, akademisi, aktivis, cendikiawan, kiai, dan lainnya. Di samping sifat rajin, ulet, berani, kreatif, tidak pantang menyerah, beliau juga dianggap sebagai wali oleh sebagian masyarakat, khususnya di Jatim.

Kenyataan demikianlah yang patut diteladani dari sosok Gus Dur oleh generasi penerusnya, lebih utama lagi oleh para kiai di tengah masyarakat kita. Karena penulis melihat terdapat perbedaan substansial antara status kiai yang melekat pada diri Gus Dur dengan status kiai di lingkungan kita. Setidaknya terdapat beberapa hal yang membedakan antara mereka. Pertama, minimnya kreatifitas. Walaupun kiai dan pesantrennya dipandang sebagai tokoh dan pusat ilmu-ilmu keagmaan, namun masih amat jarang pemikiran kreatif-progresif yang datang dari mereka. Pemikiran dalam ‘dunia’ kiai kita berjalan secara monoton untuk tidak mengatakannya beku. Hal itu juga terlihat dari minimnya karya-karya tulis (keagamaan) yang hingga kini masih didomninasi oleh penulis nonpesantren, walaupun akhir-akhir ini sudah ada signal penulis dari kalangan gus atau kiai.

Kedua, adanya eksklusivisme pemikiran. Dalam artian bahwa dalam dunia kiai kita belum seluruhnya bisa menerima perbedaan dan pemikiran yang lain (the other). Contoh riilnya adalah adanya sebagian kiai yang belum bisa menerima hukum fiqih yang lain madzhab, pemikiran-pemikiran filsafat, dan mereka yang melarang faham-faham liberal dan semacamnya.

Ketiga, adanya dikotomi keilmuan, yaitu pemetakan disiplin keilmuan oleh kiai antara ilmu agama dan nonagama. Dimana pada gilirannya, hal tersebut melahirkan monopoli keilmuan, ilmu agama dianggap sebagai ‘ladang’ garapan mereka sedangkan nonagama bukan. Konsekwensinya, mereka terlihat canggung ketika diminta untuk berperan di bidang yang bukan garapannya dan tidak bisa bersikap proporsional ketika harus berperan ganda. Lihat saja kiai kita yang terjun ke dalam politik praktis, sebagaian mereka ada yang tidak bisa berperan sebagai politisi dan kiai sekaligus.

Akhiron, mengacu pada kenyataan di muka, maka patut sekali jika sosok Gus Dur dihadirkan kembali untuk dijadikan sebagai panutan kita bersama, utamanya para Gus atau Kiai. Walaupun beliau telah meninggalkan kita, jangan sampai sikap, mintal, watak, dan spirit beliau juga meninggalkan kita. Mari kita jadikan beliau sebagai uswatun hasanah dalam hidup ini karena penulis yakin bangsa dan Negara ini masih sangat membutuhkan sosok yang multidisipliner semisal Gus Dur demi untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Amien…



* Penulis Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya