Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 10 Juli 2009

Iklan Pendidikan; Maya atau Realita?

Iklan Pendidikan; Maya atau Realita?
Oleh TIRMIDZI*


Akhir-akhir ini penulis sering kali melihat media—baik cetak maupun elektro—penuh dengan iklan pendidikan. Bahkan, Koran ini hampir tiap hari tidak absen dari iklan pendidikan dengan menampilkan beberapa lembaga pendidikan yang berbeda setiap harinya. Namun, penulis masih bisa memaklumi fenomena-fenomena demikian karena memang saat ini sudah tiba waktunya penerimaan (maha)siswa baru.
Akan tetapi, dari media-media tersebut penulis merasa terdapat kejanggalan-kejanggalan yang perlu ditelisik lebih jauh. Pasalnya, seluruh lembaga pendidikan yang tampil di media hanya menampilkan sisi keistimewaan atau keunggulan (maziyah) lembaga bersangkutan bukan kekurangan-kekurangan (maakhidz) atau kelemahannya. Ada yang menawarkan gratis uang pendaftaran, tanpa pembayaran uang gedung, pernyataan gedung milik sendiri, laboratorium lengkap, staf pengajar yang bonafide, ruang ber-AC, perpustakaan terlengkap, mencetak peserta didik siap kerja, menyediakan beasiswa, mudah dijangkau, bahkan sampai mengklaim bertaraf internasional dan siap mencetak kader bangsa yang berwawasan internasional dan masih banyak model-model iklan lainnya.
Pertanyaannya sekarang, benarkah iklan yang ditampilkan oleh lembaga pendidikan sebagaimana tersebut benar adanya dan merupakan realitas nyata?, atau hanya ‘papan nama’ berbicara yang riilnya hanyalah maya?, apakah tidak ada kelemahan dan kekurangan di dalamnya?. Pertanyaan demikian patut dikedepankan karena sudah cukup banyak bukti di negeri ini dimana lembaga pendidikan yang mapan dalam iklan tapi kenyataannya jauh dari harapan.

Tidak Tertipu dan Menipu
Ujian Nasional (UN) telah selesai dan hasilnya telah diumumkan, seluruh lembaga pendidikan sudah mulai membuka pendaftaran untuk penerimaan (maha)siswa baru pereode 2009-2010 baik online maupun yang ofline. Seluruh elemen masyarakat disibukkan dengan pencarian lembaga pendidikan yang dinilai berkualitas dan bagus buat putra-putri mereka, sebagaimana panitia lembaga pendidikan sibuk melayani peserta didik yang mendaftar yang terus membeludak hingga mencapai ribuan. Ketua Panitia Pendaftaran Siswa Baru (PSB) Surabaya, Ruddy Winarko, mengatakan bahwa siswa yang terdaftar di Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mencapai 4.412 pendaftar. (Kompas Edisi Jatim, 30/06/09).
Data tersebut hanya khusus daerah Surabaya, kita sudah dapat membayangkan betapa banyak jumlah peserta didik yang mendaftar di lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh kota Jawa Timur (Jatim) seperti Jember, Probolinggo, Pasuruan, Malang, Sidoarjo, Lamongan, Gersik, Jombang, Madura, dan lainnya. Tentunya, jumlah pendaftar akan mencapai ratusan ribu bahkan jutaan.
Kaitannya dengan iklan pendidikan, para peserta didik yang berjumlah ribuan bahkan jutaan tersebut diharapkan tidak tertipu oleh iklan-iklan pendidikan yang tersebar akhir-akhir ini. Artinya, mereka—tentunya bersama seluruh elemen masyarakat—harus benar-benar selektif dan bersikap kritis dalam menyikapi iklan yang belum tentu mencerminkan keadaan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sikap objektif sangat diperlukan untuk mengetahui realitas yang sesungguhnya. Di samping itu, pertimbangan rasional dan matang juga menjadi nilai plus dalam memilih lembaga pendidikan yang akan diambil. Jangan sampai masuk di sebuah lembaga pendidikan dengan alasan bagus iklannya, mahal biayanya, elit fasilitasnya, dan strategis tempatnya tapi belum mengetahui kondisinya secara langsung di depan mata. Termasuk juga pendaftaran secara online yang berlaku saat ini kiranya perlu diteliti lebih jauh lagi.
Perlu diingat bahwa lembaga pendidikan yang secara teknologi terbilang lengkap dan canggih dan secara kredibilitas sudah terkenal belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan, tapi bisa saja lembaga pendidikan sederhana, ndeso, yang tidak memamirkan dirinya lewat iklan dapat mencetak kader bangsa yang secara moralitas bisa dibilang luhur dan secara intelektualitas mumpuni dan siap bertarung di pentas global.
Intinya, ada banyak hal yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh peserta didik sekaligus wali mereka dalam menentukan pilihan lembaga pendidikan. Pilihlah lembaga pendidikan yang betul-betul sesuai dengan kondisi riil lembaga masing-masing. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pengembangan dii dan juga masa depan anak didik. Meminjam bahasa Ubaidillah (2000), menentukan lembaga pendidikan sama halnya dengan menentukan masa depan kita sendiri.
Namun, sikap-sikap seperti tersebut tidaklah cukup tanpa adanya kesadaran internal dari lembaga pendidikan itu sendiri. Artinya, pengelola lembaga pendidikan hendaknya juga tidak lagi mengobral janji dan menipu masyarakat melalui iklan bombastis hanya untuk meraup (maha)siswa yang sebanyak-banyaknya, atau lebih tragisnya hanya untuk meraup keuntungan materiil dari lembaga pendidikan yang dikelolanya. Sudah waktunya lembaga pendidikan menyajikan secara proporsional dan sesuai dengan fakta dan realita yang ada. Bila realitas iklan pendidikan masih tetap sebatas obralan janji dan omong kosong belaka, maka lembaga pendidikan hanya akan menjadi media ‘penyesatan’ masyarakat. Akankah mereka tersesat di tengah belantara yang bernama lembaga pendidikan yang selama ini diakui sebagai penegak moral, pencetak kader bangsa, dan media pewarisan budaya adiluhung?. Jika demikian, bagaimana nasib masa depan bangsa dan Negara kita?, bukankah pendidikan dan peserta didik yang akan menentukan masa depan tersebut?. Semoga kita semua sudah mengerti jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Amien..



* Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Rabu, 08 Juli 2009

Memilih Pemimpin Masa Depan

Memilih Pemimpin Masa Depan
Oleh: Tirmidzi*
Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kehancuran atau kebinasaan. (HR. Imam Bukhari).

Sejak Negara ini merdeka sampai saat ini sudah tercatat enam nama presiden yang telah memimpin bangsa dan Negara Indonesia. Ironisnya, ke enam pemimpin tersebut dinilai belum berhasil menjalankan roda pemerintahan dan mentransformasikan nilai-nilai UUD 1945 tentang kesejahteraan rakyat. Hutang luar negeri yang tidak kunjung usai, tindakan korupsi di mana-mana, pemerintahan yang kurang memihak rakyat, pengangguran yang terus melambung, angka kemiskinan meningkat, dan problema keumatan yang tidak terselesaikan hingga saat ini dapat menjadi bukti konkretnya.
Ketidakberhasilan pemerintah demikian ditengarai karena para pemimpin kita lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat dan lebih bergantung pada kekuatan Negara lain dari pada diri sendiri di samping juga sikap-sikap subjektif yang melekat kepada para pemimpin yang kurang mumpuni, baik secara struktural-manajerial maupun lapangan-praktikal. Sehingga, Negara Indonesia belum bisa bangkit dan maju bahkan sebaliknya berada di lembah keterpurukan dalam semua aspek kehidupan.
Fenomena demikian tentunya sangat terkait dengan penyerahan amanah, hak dan kewajiban dan tanggung jawab kepada pemangkunya. Artinya, lajunya pemerintahan sangat bergantung pada siapa yang memimpin, ketika yang ditunjuk adalah orang yang berkompeten maka jelas pemerintahan tidak berjalan di tempat atau bahkan mundur beberapa langkah, begitu juga sebaliknya. Di sinilah peran masyarakat untuk selektif dalam memilih pemimpin menjadi sangat urgen untuk dipertimbangkan adanya.
Dengan demikian, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shohihnya yang disebut di awal tulisan ini patut kiranya untuk direinterpretasikan dalam konteks keindonesiaan masa kini. Khususnya, di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden dan wakilnya yang akan diselenggarakan pada hari ini. Paling tidak, hadis tersebut bisa dijadikan sebagai landasan teologis bagi seluruh elemen bangsa dalam memilih calon pemimpin Negara di masa depan secara selektif dan kritis, bukan hanya asal-asalan atau karena imbalan tertentu yang akhirnya menjerumuskan mereka pada keterpurukan bangsa dan Negara sebagaimana telah terjadi di masa lampau.
Secara eksplisit, hadis tersebut melansir bahwa suatu urusan—termasuk pemerintahan Negara—harus diserahkan kepada orang yang betul-betul memiliki kompetensi dan kredibilitas. Jika tidak, maka tunggulah kehancuran yang akan segera tiba. Pemimpin suatu negara ibarat jantung bagi kehidupan manusia. Dan manusia yang tidak memiliki jantung dapat dipastikan tidak hidup. Ketika organ ini sakit atau rusak akan mengakibatkan kondisi fisik yang lemah tak berdaya. Hal yang sama terjadi pada negara. Negara yang tidak memiliki pemimpin yang bagus akan mengakibatkan krisis multidimensi yang terus-menerus. Dengan demikian, jelas bahwa dalam memilih calon pemimpin dibutuhkan kecakapan dan kehati-hatian sekaligus sikap kritis. Standar yang dijadikan tolak ukur bukan hanya penampilan an sich. Lebih dari itu, calon pemimpin yang patut dipilih adalah kandidat yang sekiranya mampu melaksanakan tugas-tugas kenegaraan yang penuh dengan amanah dan tanggung jawab yang tinggi. 
Dalam asbabul wurudnya, hadis tersebut disabdakan oleh Rasulullah ketika memberikan tausyiah kepada kaumnya yang kemudian datang seorang A’rabi dan menanyakan perihal kiamat. Rasulullah menjawab tentang kiamat yang oleh sebagian uluma diartikan sebagai kehancuran kecil-kecilan (al-Qiyamah al-Sughra): apabilah amanah dan tanggung jawab itu disia-siakan. Orang itu melanjutkan pertanyaannya: wahai Rasulullah, bagaimana amanah bisa tersia-siakan?, kemudian beliau menjawab: Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datanggnya kebinasaan atau kehancuran.

Empat Kreteria
Berdasar pada sabda Nabi tersebut di muka jelas bahwa maju-tidaknya sebuah Negara sangat bergantung pada masyarakat itu sendiri, lebih-lebih Negara kita yang menganut faham demokrasi dimana masyarakat memiliki peran fital di dalamnya untuk membangun pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Yusuf Amin pernah menyatakan bahwa dalam Negara-negara demokratis, rakyat adalah raja (the people is king). Disinilah kemudian mereka dituntut untuk betul-betul memiliki tolok ukur yang tepat dan jelas. Ada empat kreteria yang patut dijadikan landasan berpijak dalam peimilihan presiden tahun ini. beberapa tahun terakhir, empat kreteria ini sering kali menjadi perdebatan akut banyak kalangan. 
Pertama, calon pemimpin yang patut dipilih harus mencerminkan sosok yang agamis. Artinya, pemimpin yang betul-betul memiliki pemahaman keagamaan yang mumpuni dan menyeluruh. Negara ini adalah Negara majemuk sehingga keragaman agama menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Keragaman demikian jika tidak disikapi secara proporsional dan bukan oleh ahlinya maka akan menjadi malapetaka dan media pemecah belah kesatuan bangsa. Beberapa tragedi mengenaskan terjadi di Negara ini dengan mengatasnamakan agama.
Kedua, calon yang bisa menjaga kehormatan bangsa dan Negara Indonesia. Akhir-akhir ini, Negara kita seakan seperti bola yang bisa dijadikan alat permainan oleh negara-negara tetangga, kasus paling mutaakhir adalah ambalat dan rangking Negara terkorup se Asia. Alih-alih menjaga kehormatan bangsa dan Negara tapi yang terjadi justeru sebaliknya.
Ketiga, calon yang memiliki pengetahuan tentang pengolahan ekonomi. Sudah jelas bahwa Negara Indonesia adalah Negara terkaya dilihat dari sumber daya alamnya. Tambang, minyak, pertanian, perikanan, dan semacamnya yang terkandung di negeri ini sulit ditemukan di negara-negara lain. Tapi mengapa bangsa kita masih terbelit dengan kemiskinan dan pengangguran?. Para pakar ekonomi kita telah menjawab karena pengolahan perekonomian kurang profesional.
Keempat, calon pemimpin yang prorakyat. Sudah menjadi kewajiban dalam pemerintahan demokratis, pemerintah harus mampu menjadi wakil rakyat. Segala upaya dan tindakan harus berdasar pada kesepakatan rakyat dan demi memajukan serta menyejahterakan mereka, bukan sebaliknya.
Empat kreteria tersebut setidaknya harus dijadikan pertimbangan bagi calon pemilih yang akan memberikan hak politiknya hari ini. Sebagai akhir kata, perlu ditegaskan bahwa pada hakikatnya, dewasa ini diperlukan pemimpin yang benar-benar pro rakyat bawah, bisa menciptakan pemerintahan yang bersih dan dapat melanjutkan prestasi-prestasi para founding father Negara ini, sekaligus pemimpin yang dapat bergerak secara cepat namun hasilnya juga lebih baik.



*Sekarang aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya