Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 23 November 2009

Spirit Pergerakan Mahasiswa

Spirit Pergerakan Mahasiswa

Oleh: Tirmidzi*

Dalam sejarahnya, pergerakan mahasiswa telah banyak melakukan perubahan-perubahan dalam berbagai sektor kehidupan. Yang sangat lekat di benak penulis adalah fenomena tumbangnya orde baru dimana pergerakan mahasiswa memiliki peran strategis dalam prosesnya. Bukan hanya itu, sampai detik ini gerakan mahasiswa terus berada di depan untuk mengawal perubahan baik dalam masalah ekonomi, sosial, politik pemerintahan, pendidikan, dan semacamnya.

Beberapa bulan yang lalu, puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Aliansi Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) se-Jatim berunjuk rasa di depan kantor Pemkab Probolinggo. Mereka menyampaikan beberapa tuntutan terkait dengan masalah pendidikan, ekonomi dan politik. Aksi tersebut digelar setelah diskusi forum BEM di Universitas Zainul Hasan, Pajarakan, Probolinggo, yang diikuti aktivis BEM dari perguruan tinggi di 38 kota dan kabupaten se Jatim. Di antara tuntutannya, mereka meminta kepada pemerintah kota dan kabupaten supaya menganggarkan biaya pendidikan dengan presentase 20,4 persen, optimalisasi dan pemberdayaan pasar tradisional, pengusutan tindakan korupsi yang semakin mengakar di kalangan pemerintah.

Sedangkan mahasiswa yang tergolong dalam Aliansi Pemuda Indonesia (API) berdemo di depan gedung DPRD kota Malang, mereka menolak kenaikan gaji menteri karena tidak sesuai dengan etos kerja mereka di samping juga mereka menuntut pencabutan undang-undang badan hukum pendidikan. (antarajatim.com). Sedangkan di Sumenep Madura, dua kelompok mahasiswa beraksi dipendopo agung Sumenep saat pelantikan anggota DPRD pada tanggal 21 Agustus yang lalu. Aksi yang sama dilakukan oleh mahasiswa Universitas Jember. Mereka turun lapangan dan memenuhi kantor DPRD Jember dengan tuntutan bahwa mereka telah dikokohkan sebagai pengurus, pemerhati, dan pemberdaya masyarakat yang semestinya dilaksanakan secara tegas dan penuh tanggung jawab.

Di Surabaya, pelantikan anggota DPRD diwarnai aksi demo dari berbagai gerakan mahasiswa yang meliputi GMNI, PMII, dan KAMMI. Mereka sama-sama berorasi di sebelah utara pintu gerbang DPRD Surabaya. GMNI-PMII menuntut tiga poin penting yaitu DPRD harus menepati janji politik yang pro rakyat, mereka harus membuka ruang komunikasi yang intensif dengan masyarakat, anggota dewan harus berkometmen tidak melakukan korupsi dan mendukung pemberantasan korupsi di segala bidang. Sedangkan massa KAMMI, yang diawali dengan teaterikal kostum anggota dewan, membacakan lima tuntutan yang di antaranya adalah optimalisasi penyerapan APBD yang pro rakyat, siap mundur jika tersangkut korupsi, produktivitas kunjungan kerja anggota dewan harus dapat dipertanggungjawabkan, mengawal program pendidikan gratis atau paling tidak murah tapi produktif.

Demikian beberapa rentetan aksi pergerakan mahasiswa dalam mengawal perubahan. Agent of change, agent of knowledge dan agent of social control betul-betul menjadi spirit bagi gerakan mahasiswa untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Gerakan aksi bagi mereka sudah menjadi ritual wajib untuk meneliti, mengkritisi, menuntut, menentang, bahkan menolak kebijakan-kebijakan yang dilihat tidak sesuai dengan nurani masyarakat atau menyimpang dari undang-undang yang berlaku.

Ritual Temporal

Walau demikian, dewasa ini terdapat anggapan masyarakat bahwa mahasiswa hanya bisa ngomong dan berdemo dijalanan. Anggapan semacam itu tidak sepenuhnya salah, karena memang sejauh pengamatan penulis bahwa gerakan bagi mahasisaw saat ini hanya semacam ritual mingguan, bulanan atau tahunan. Artinya, gerakan mahasiswa tidak bisa berkesinambungan dalam mengawal perubahan. Mereka melakukan aksi hanya ketika ada momen seperti pemilu, pelantikan, hari bersejarah, dan kasus korupsi, di luar itu mereka diam tanpa kata tanpa aksi.

Kita ambil contoh kasus korupsi di Jawa Tirmur. Penulis melihat mungkin hampir setiap hari terdapat gerakan mahasiswa yang turun ke jalanan melaknat tikdakan korupsi dan menuntut penyelesaian kasus korupsi yang terjadi. Namun apa yang terjadi, korupsi samapi detik ini masih tumbuh subur di kalangan masyarakat Jatim, pemerintah khususnya.. Di Madura, Surabaya, Sidoarjo, Jember, Ponorogo dan lainnya tidak absen dari tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota wakil rakyat. Adakah mahasiswa yang berpartisipasi dan memonetor penyelesaian kasus dugaan korupsi secara tuntas di daerah-daerah Jatim tersebut?, jawabannya jelas 'tidak ada'.

Lebih tragis lagi, saat ini diasumsikan terdapat pergerakan mahasiswa yang ditunggangi oleh kelompok atau instansi yang kurang bertanggung jawab. Ditemukannya demo mahasiswa bayaran di beberapa tempat turut memperkuat asumsi tersebut. Hal demikian membuktikan bahwa spirit pergerakan mahasiswa dewasa ini telah mengalami pergeseran. Semboyan untuk menjadi agent of change, agent of knowledge dan agent of social control sebagaimana disebutkan tidak lagi menjadi spirit pergerakan dalam mengawal perubahan-perubahan dalam kehidupan ini.

Oleh sebab itu, detik ini adalah waktu yang tepat untuk membangun kembali spirit pergerakan mahasiswa mengingat problema yang dihadapi masyarakat semakin kompleks. Kebutuhan mereka akan ide-ide segar anak bangsa semakin mendesak. Bukanlah saatnya sebuah pergerakan bergantung pada momentum atau instansi yang tidak bertanggung jawab, karena ketergantungan terhadap momentum dan instansi tersebut hanya akan membuat gerakan menjadi statis dan mandeg, dan pada gilirannya akan menghambat tercapainya perjuangan pergerakan mahasiswa dalam membangun gerbang pencerahan (Enlightment).

Harus diingat bahwa dalam rentetan sejrah pergerakan mahasiswa memiliki fokus, karakteristik dan spiritnya masing-masing. Pergerakan mahasiswa Angkatan 66 berusaha untuk membumikan isu otoritarian state dengan ‘Ikon tritura’. Angkatan 74 mengusung isu NKK/BKK dengan ‘Ikon otonomisasi’. Angkatan 78 mengangkat isu perlunya merealisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, bahkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan ‘Ikon menolak Soeharto sebagai calon presiden’. Angkatan 98 mengumbar isu reformasi dengan ‘Ikon enam visi reformasi’. Angkatan 2001 dengan isu reformasi jilid 2 berikon ‘Demokratisasi’. Lantas, apa spirit yang akan diusung oleh pergerakan mahasiswa dewasa ini?.


* Penulis Alumni PP. Annawari Seratengah Bluto Sumenep

Senin, 02 November 2009

Radikalisme dan Pemberdayaan Masjid

Radikalisme dan Pemberdayaan Masjid

Oleh: TIRMIDZI



Isu radikalisme agama kembali mencuat seiring menguatnya aksi terorisme di tanah air beberapa pekan terakhir saat ini. Radikalisme agama dianggap sebagai biang keladi munculnya faham-faham sempalan dan kelompok garis keras karena dilandasi dengan pemahaman keagamaan yang kurang komprehensif. Aksi terorisme oleh jaringan Noordin M. Top yang dewasa ini menjadi perhatian banyak pihak merupakan bukti konret dari aplikasi pemahaman keagamaan tersebut.

Bukan hanya itu, secara nyata gerakan radikal juga telah memberikan kegelisahan bagi masyarakat karena tindakan-tindakan mereka yang menyimpang dari substansi agama mainstream. Atas nama agama mereka menyerang, mengebom, bahkan bunuh diri tanpa pilah pilih. Terkait dengan hal tersebut, Karen Armstrong (2001) mengurai ilustrasi mengerikan perihal aksi gerakan radikal. Mereka yang mengatasnamakan agama bisa dengan tega menembaki jamaah yang sedang shalat di masjid, memberondongkan peluru kepada anak-anak sekolah, membunuh para dokter, pasien, dan perawat dalam sebuah rumah sakit, membunuh presiden, dan bahkan mengudeta rezim yang sah. Sungguh sangat mengerikan. Oleh karena itu, gerakan radikal tidak pernah diterima oleh dunia Barat maupun Timur kecuali oleh sekelompok minoritas saja dan aktivitasnya pun bergerak secara sembunyi-sembunyi.

Terkait dengan hal itu, Sudah banyak langkah-langkah antisipatif untuk membasmi gerakan yang sangat merugikan tersebut dilakukan oleh banyak pihak mulai dari pemerintah, agamawan, organisasi keagamaan, dan masyarakat secara umum. Namun, langkah-langkah itu belum mencapai hasil yang maksimal, terlepas apakah langkah-langkah yang dilakukan kurang mumpuni atau ada indikator lain yang mealatrbelakangi kegagalan tersebut.

Memang harus diakui bahwa membasmi radikalisme bukanlah tugas yang mudah, karena radikalisme bukan hanya berupa aksi kekerasan yang dilegalisasi atas nama agama, tapi radikalisme juga terkait dengan pemahaman individu atau kelompok. Di sini penulis mengklasifikasi radikalisme menjadi dua bagian, radikalisme sebagai tindakan dan radikalisme sebagai faham. Radikalisme sebagai tindakan mungkin dapat diselesaikan dengan cara penangkapan, penggerebekan, atau bahkan hukuman mati sebagaimana yang terjadi pada Amrozi Cs dkk. dan Noordin M. Top berserta jaringannya. Namun, radikalisme sebagai faham tidak bisa diminimalisasi dengan cara-cara demikian. Radikalisme dalam arti ini erat kaitannya dengan kerangka berfikir yang sulit diidentifikasi dan mudah menyelinap kapan dan di mana saja.

Sebagaimana informasi yang beredar, akhir-akhir ini gerakan radikal telah menyusup di berbagai tempat ibadah semisal masjid dan gereja. Indikasinya, di tempat-tempat ibadah tersebut memiliki ritual dan forum baru yang tidak sama dengan ritual agama-agama pada umumnya. Melalui forum itulah, gerakan radikal sedikit demi sedikit merubah kerangka berfikir dan keyakinan jamaahnya sesuai dengan pemahaman yang mereka imani. Jelas sangat memprihatinkan bila tempat ibadah semacam masjid dan gereja dijadikan sebagai tempat untuk menebarkan nilai-nilai yang laknat lil 'alamin, padahal agama-agama yang diturunkan oleh Tuhan merupakan way of life yang rahmat lil 'alamin yang secara otomatis fasilitas keagamaan selayaknya dijadikan media untuk menjalin cinta kasih dan toleransi bukan sebaliknya sebagai media saling benci dan arogansi.

Pemberdayaan Masjid

Pada awal islam, masjid memiliki fungsi vital dan strategis terkait dengan kehidupan beragama dan bersosial masyarakat waktu itu. Nabi Muhammad, selaku orang yang membangun masjid kali pertama, menjadikannya sebagai sentral ibadah seluruh umat (muslim). Fungsi ini merupakan fungsi utama masjid itu sendiri, karena masjid adalah rumah Tuhan (baitullah). Selain itu, masjid juga dijadikan sebagai tempat dakwah dan pengembangan pendidikan masyarakat khususnya yang terkait dengan keagamaan. Intinya, masjid adalah wadah untuk membuka kesadaran masyarakat tentang kehidupan mereka baik yang terkait dengan agama, sosial, pendidikan, bahkan politik sekalipun.

Dengan ilustrasi tersebut, gerakan radikalisme yang mulai mengambil alih tempat-tempat ibadah dewasa ini merupakan upaya penggeseran fungsi masjid dari yang semestinya. Terlebih ketika mengingat ajaran kaum radikalis yang cenderung tekstual, rigid, dan penuh pemaksaan yang pada akhirnya memunculkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan substansi agama semisal bom bunuh diri dan terorisme. Oleh karena itu, perlu diadakan upaya-upaya pemberdayaan guna menjaga eksistensi dan fungsi masjid baik kapasitasnya sebagai tempat ibadah, tempat dakwah, tempat pembelajaran, atau yang lainnya.

Setidaknya, upaya-upaya dimaksud dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu upaya kultural dan struktural. Secara kultural, upaya dalam hal ini dapat melihat tradisi pondok pesantren dimana jamaah (santri) dalam kesehariannya dibiasakan mendapat penjelasan keagamaan secara komprehensif dan mendalam, bukan sepotong-sepotong. Dalam meamhami ayat misalnya, seorang kiai atau ustadz menjelaskan secara terperinci secara tekstual maupun kontekstualnya, tentunya hal demikian akan terlaksana dengan adanya tenaga yang mumpuni dan berkompeten dalam bidangnya, bukan asal berjenggot atau bersurban.

Sedangkan secara struktural, upaya ini dapat diimplementasikan dengan mendirikan suatu wadah yang terorganisir yang menjadi controlling semua kegiatan yang ada dalam masjid dan sudah barang tentu SDM dalam organisasi tersebut harus bisa bersikap netral dan tidak mudah terpengaruh dengan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, dibentuknya Forum Silaturrahmi Takmir Masjid dan Musholla Indonesia (Fahmi Tamami), termasuk di Jatim, yang mengusung jargon keagamaan, kebangsaan dan keindonesiaan merupakan langkah struktural yang perlu diapresiasi oleh semua fihak, sehingga orientasi Fahmi Tamami untuk mengembalikan fungsi masjid dan mengamankannya dari gerakan radikalisme yang semakin menjamur dapat terwujud.

Akhiron, segala upaya, termasuk pemberdayaan masjid dari virus-virus radikalisme, tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, maupun kaum agamawan. Elemen-elemen tersebut adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan untuk mencapai tujuan bersama. Wallahu A'lam…



* Penulis Aktif di Ikatan Mahasiswa Sumenep (IkMaS) di Surabaya