Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Selasa, 19 April 2011

REVITALISASI SPIRIT MENULIS MAHASISWA

REVITALISASI SPIRIT MENULIS MAHASISWA

Oleh: Tirmidzi*

Betapapun harus diakui bahwa mahasiswa adalah agent of knowledge, agent of social control, agent of change, dan agent of problem solving. Di samping itu, mahasiswa adalah bagian besar dari civitas akademika yang terus bergulat dengan dunia keilmuan. Sebagai komunitas intelektual, menulis bagi mereka adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, dalam dunia kampus hampir setiap hari mereka dicekoki dengan ragam tugas untuk merangsang idealisme sekaligus kreativitas menulis mereka.

Di era komunikasi dan teknologi seperti sekarang ini, kemampuan menulis mahasiswa selayaknya semakin meningkat untuk mengejawantahkan ide-ide brilian mereka ke dalam kehidupan riil. Dengan tulisan, intelektualitas, agresifitas, dan idealitas mereka akan tampak dan abadi. Dalam pepatah latin diungkapkan: Scripta manent, verba volent; Apa yang tertulis akan abadi dan apa yang terucap akan musnah. Dokumentasi tulisan bersifat abadi dan dapat dibaca berulang-ulang sehingga daya jangkau penyampaiannya bisa mengenai lebih banyak kalangan. Keistimewaan agitasi tulisan dalam memengaruhi massa pun menjadi lebih besar.

Masih ingatkah kita para pejuang di masa lalu?. Perjuangan para Founding Fathers dalam merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial tidak hanya bermodalkan perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan yang bersifat intelektual, tulisan khususnya. Bagaimana perintis pers pribumi, Tirto Adi Soerjo berjuang dengan ‘Medan Prijaji-nya’, Ki Hadjar Dewantara (KHD) dengan ‘Andai Aku Seorang Belanda’-nya, ataupun tokoh cerdik cendekia lainnya yang berjuang di jalur yang sama. Pasca kemerdekaan pun, stakeholders era Orde Baru yang takut akan kekuatan tulisan berusaha mengerdilkan peran pers dengan menerbitkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang rentan ancaman pembredelan dan sanksi berat bagi media mainstream dan wartawan yang ‘membangkang’, walaupun pada akhirnya Reformasi 1998, peran pers (dalam hal ini pers mahasiswa) juga turut andil. Karena tulisan ‘curhat’-nya yang dinilai membahayakan pula, Prita Mulyasari sempat menjadi ‘bulan-bulanan’ RS Omni internasional, ataupun di luar negeri, Veronica Guerin (yang kisahnya diflmkan) mengorbankan nyawa ketika tulisannya membongkar sindikat mafia narkoba yang juga melibatkan oknum aparatus negaranya.

Fenomena Mahasiswa Menulis

Sebagaimana disebutkan di mukan bahwa mahasiswa adalah insan akademis, mahasiswa tentu tidak bisa dilepaskan dari lingkungan ilmiah yang berada dalam ruang lingkup dunia keilmuan. Mahasiswa pun dituntut untuk bisa akrab dengan dunia literasi, baik membaca, berdiskusi, lebih-lebih menulis. Aktivitas literasi tersebut akan semakin memperkaya wawasan mahasiswa dan menajamkan analisis berpikir sehingga dapat melatih berpikir kritis. Lebih dari itu, ketiga aktivitas literasi tersebut akan semakin mengokohkan posisi mahasiswa sebagai insan akademis itu sendiri.

Dalam posisi tersebut, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk dapat menyampaikan ilmu yang didapatnya kepada khalayak umum. Ilmu yang didapat bisa saja melahirkan gagasan baru yang inovatif sehingga akan sangat bermanfaat bagi dunia kelimuan, terlebih lagi untuk masyarakat. Namun pertanyaannya sekarang; apakah spirit itu masih melekat pada mahasiswa sampai hari ini?, tentu saja jawabannya relative-subjektif, dalam artianya ada yang sebagian masih mempertahankan tradisi menulis, namun tidak sedikit pula mahasiswa yang anti menulis.

Menurut laporan data UNESCO beberapa tahun yang lalu, indonesia menempati posisi yang sangat rendah dalam bidang penulisan jurnal ilmiah dibanding dengan negara-negara tetangga. Padahal salah satu parameter untuk menilai kemajuan prestasi akademik mahasiswa dapat dilihat dari sejauhmana mereka menjalankan aktivitas belajar dan menulis terutama keterlibatannya dalam berbagai event perlombaan penulisan karya ilmiah, dimuatnya tulisannya di media massa, dan kegiatan-kegiatan jurnalistik lainya.

Rendahnya spirit menulis mahasiswa dewasa ini juga ditunjukkan oleh minimnya tulisan-tulisan mereka di media. Guru besar, politisi, peneliti, dan lainnya adalah satatus-status yang sering kali muncul di berbagai media, sedangkan tulisan orang yang berstatus mahasiswa sangat minim untuk tidak mengatakannya tidak ada. Bahkan Sangat ironis sekali, beberapa bulan lalu seorang plagiator tulisan ilmiah berstatus mahasiswa ditangkap oleh pihak yang berwajib karena telah mengcopy-paste karya ilmiah orang lain.

Menurut penulis, ada beberapa poin penting yang menyebabkan minimnya spirit menulis mahasiswa dewasa ini. Pertama, pola pikir yang cenderung pragmatis. Mahasiswa dewasa ini lebih cenderung memilih sesuatu yang instant, langsung dirasakan manfaatnya. Contoh kecil yang sangat lazim adalah pembuatan makalah. Penulis sering kali melihat para mahasiswa yang membuat makalah di warung internet (warnet). Dengan begitu, mereka dapat secara mudah dan langsung mendapatkan tema dan bahasan makalah yang dibuatnya dengan tanpa harus membaca buku literatur yang menjemukan.

Kedua, rendahnya minat baca di kalangan mahasiswa. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat—termasuk mahasiswa—lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) atau buku-buku. Minat baca yang rendah tentunya sangat berpengaruh terhadap spirit menulis seseorang, karena membaca dengan menulis adalah paduan yang tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang.

Ketiga, kurangnya apresiasi positif dari pihak-pihak tertentu seperti universitas, lembaga pemerintahan, dan dari masyarakat itu sendiri. Apresiasi dimaksud dapat berbentuk penghargaan terhadap mahasiswa yang menulis di media, pemberian beasiswa, pemberian HR internal, atau bahkan pengumpulan tulisan-tulisan mereka yang kemudian dicetak menjadi sebuah buku. Apresiasi semacam itu, penulis melihat masih jarang dilakukan. Di tengah masyarakatpun seorang mahasiswa yang penulis sama halnya dengan masyarakat biasa, tidak ada lebihnya.

Setidaknya, tiga sebab di muka adalah sebab-sebab dominan di samping juga sebab-sebab lainnya seperti kurangnya fasilitas, kesempatan, hingga penyadaran dari berbagai pihak. Oleh karenanya, selayaknya minimnya spirit menulis bagi mahasiswa dapat dianggap sebagai problema kritis-ironis yang menimpa universitas-universitas di bumi pertiwi saat ini. Dimana problema tersebut mendesak untuk segera dicarikan solusi alternatifnya. Dengan begitu, kita sebagai bangsa dan warga Negara harus bersama-sama merevitalisasi spirit kepenulisan mahasiswa tersebut demi untuk menciptakan budaya penulisan di kalangan mahasiswa sebagai civitas akademika.

Butuh Motivasi dan Apresiasi

Sejarah mencatat, banyak mahasiswa yang mempunyai pikiran yang kritis dan brilian mempunyai budaya menulis yang cukup tinggi. Sebut saja Soe Hoek Gie, seorang mahasiswa yang juga aktivis pada zaman Revolusi terpimpin. Walaupun tidak mempunyai usia yang panjang, Gie sangat terkenal dengan pikiran-pikiran kritisnya yang berbau revolusioner. Spirit Gie untuk selalu menuangkan pikirannya ke dalam tulisan terpatri sampai akhir hayatnya. Apa yang dia dapatkan?, dia tetap hidup walaupun secara jasadi Gie telah tiada.

Memang perlu diakui bahwa menjaga semangat menulis, bagi pemula khususnya, sangatlah sulit. Banyak rintangan dan aral melintang setiap kali dia akan menulis. Penulis pribadi juga mengakui akan hal itu. Spirit untuk selalu menulis dan menulis sering kali kendor atau bahkan hilang sama sekali. Tidak salah kiranya jika Jonru, salah seorang pakar jurnalistik, pernah melansir bahwa spirit menulis harus selalu dijaga dan dilindungi, karena jika tidak kreativitas menulisnya akan terkubur dengan sendirinya. Dalam konteks ini, motivasi menulis menjadi sesuatu yang amat urgen.

Kaitannya dengan motivasi tersebut, ada dua bentuk motivasi dimana salah satu dari keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Pertama, motivasi diri (internal). Dalam hal ini, upaya untuk selalu menulis dan menulis harus dimulai dari diri sendiri. Konsep ibda’ bi nafsik selayaknya menjadi roh dalam setiap langkah para mahasiswa. Kapan, dimana, dan bagaimanapun ‘saya harus menulis’, semangat demikian harus benar-benar terpatri dalam hati mereka. Stephen R. Covey mengatakan: Pabila saya ingin mengubah sebuah keadaan, saya harus mengubah diri saya lebih dahulu, dan untuk mengubah diri saya secara efektif, saya lebih dulu harus mengubah persepsi saya.

Terkait denganhal itu, perjuangan kepenulisan Ratna Indraswari Ibrahim, allahummaghfil laha, salah seorang novelis dan cerpenis andal tanah air yang yang baru saja tutup usia, paling tidak dapat dijadikan teladan oleh para mahasiswa di tanah air. Beliau sejak kecil dengan keterbatasan fisiknya selalu menelorkan karya-karya brilian yang menjadi cermin bagi para penulis sesudahnya. Prinsip beliau yang masih penulis ingat terkait dengan kreativitas menulis yaitu mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari hal yang terkecil dan ringan. Menjadi penulis membutuhkan proses, sangat mustahil seorang menjadi penulis hebat tanpa terlebih dahulu menjadi pemula yang terus berproses dan terus bersmangat. Masih ingatkah kita pada Denis Wetly, penulis buku Psychology of Motivation?. Dia menyatakan bahwa keinginan kita tergantung seberapa besar motivasi kita. Pada titik tertentu, motivasi inilah yang menguasai semua tindakan kita. Motivasi diri merupakan salah satu kunci kesuksesan, motivasi yang kuat berasal dari tekad yang bulat. Motivasi membangkitkan keinginan, keinginan merupakan kunci pertama menuju kesuksesan, keinginan adalah benih yang harus ditanam di lading kesuksesan karena rahasia kesuksesan adalah keinginan yang membara.

Kedua, motivasi eksternal dalam artian bahwa kreativitas menulis seseorang juga dapat berkembang sebab gesekan dan apresiasi dari luar. Kaitannya dengan mahasiswa , apresiasi dimaksud bisa datang dari keluarga, teman, dan yang penting dari perguruan tinggi (PT) atau fakultas. Hakikatnya, perguruan tinggi memiliki peran sentral untuk menumbuhkan kreativitas menulis mahasiswanya. Oleh karenanya, beberapa tugas penting perguruan tinggi untuk mengembangkan kreativitas menulis para mahasiswa patut ditingkatkan. Sebut saja pembuatan makalah, atau tugas karya tulis lainnya, sudah saatnya diawasi secara ketat, sehingga kebiasaan copy-paste dan plagiarisme tugas dapat diminimalisir. Lembaga pers mahasiswa (LPM) selayaknya memiliki program-program yang terarah terkait dengan kreativitas menulis dan jurnalistik, dan program tersebut harus betul-betul berada di bawah pengawasan perguruan tinggi.

Di samping itu, pemberian royalti bagi mahasiswa yang menulis di media, pemberian beasiswa bagi mereka yang telah menerbitkan buku, atau penerbitan tulisan-tulisan mahasiwa yang didokumentasikan di blog, mendirikan sekolah menulis, dan upaya lainnya dapat dijadikan sebagai media menumbuhkembangkan kreativitas menulis para mahasiswa.

Mahasiswa dan Koran

Di dunia yang serba canggih seperti saat ini, koran dan media masa lainnya adalah jalan terbaik bagi mahasiswa untuk menyalurkan dan menyampaikan opini dan ide-ide mereka. Lebih-lebih sekarang telah banyak koran-koran yang menyediakan ruang khusus opini para mahasiswa. Sebut saja di tingkat nasional ada koran Jawa Pos, Harian Kompas dan Republika, sedangkan di level lokal ada Harian Surya, Harian Jakarta dan media lainnya yang menyediakan rubrik khusus para mahasiswa.

Hal itu harus dipahami bahwa mahasiswa saat ini harus selalu aktif menyuarakan pendapatnya sesuai dengan idealisme mereka sebagai kaum intelektual. Beropini melalui surat kabar bisa menjadi cara alternatif bagi mahasiswa untuk mengkritisi kinerja pemerintah serta memberikan rekomendasi solutif atas permasalahan yang sedang dihadapi bangsa. Bukankah lebih elegan menyuarakan pendapat melalui tulisan di koran dibandingkan dengan aksi unjuk rasa di jalanan?. Yakinlah bahwa tulisan bisa menjadi suatu aksi mahasiswa yang tidak anarki namun punya ruang lingkup yang lebih luas daripada teriakan di jalanan. Tulisan bisa menjadi pedang yang tajam, karena kata-kata merupakan asal bahasa.

Oleh karena itu, sebagai catatan akhir, sudah saatnya mahasiswa turut berpartisipasi aktif dalam pengembangan opini dan penyebaran ide melalui media, khususnya koran. Sudah saatnya, para mahasiswa menampilkan diri bahwa mereka bukan hanya orang-orang yang selalu berkoar di jalanan tapi juga bisa berbicara lewat tulisan. Dengan menulis aku ada, dengan menulis aku hidup, dengan menulis aku membaca, dengan menulis aku dibaca, dan dengan menulis aku berbicara.

*Penulis adalah Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...