Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Selasa, 04 Agustus 2009

Masa Depan Politik NU

Masa Depan Politik NU

Oleh TIRMIDZI*



Pada dasarnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah ijtima’iyah diniyah) yang terbesar di negeri ini dan bukan organisasi politik. Namun demikian, persentuhan organisasi ini dengan partai politik dapat dikatakan sudah sejak awal berdirinya walaupun hanya sebatas ‘sentuhan halus’. Sedangkan secara monumental, sejarah politik NU mulai tampak sejak muktamar di Situbondo pada tahun 1984, yang memang dijadikan media untuk mengevaluasi di bidang politik, yaitu ketika NU memutuskan untuk kembali ke Khitah 1926. Inti khitah itu adalah pertama, NU tidak memiliki hubungan organisatoris dan berafiliasi dengan politik manapun. Kedua, memberikan kebebasan kepada warganya berkiprah dalam politik untuk menebarkan dan memperjuangkan misi ke-NU-an.

Sejak tahun 1984 itulah NU konsisten dalam mengambil jarak dengan partai politik atau sering dikatakan pula sebagai sikap netral dalam berpolitik. Sejak itu pula muncul semacam keyakinan tertentu di kalangan elit dan warga NU bahwa NU tidak akan menjadi parpol, tidak mendirikan parpol dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Sikap netral semacam itu berjalan cukup lama bahkan sampai dewasa ini masih tertanam kuat dalam alam pikiran jamaah NU sehingga ada yang mengatakan sudah menjadi ideologi politik atau budaya politik penganutnya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan arus politik yang semakin kuat, organisasi yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau tanggal 31 Januari 1926 M ini tidak bisa menghindar begitu saja dari percaturan politik, terlebih ketika melihat kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk dan buta secara politik. Hal itu tampak jelas Pada Pemilu 1999 dimana, NU melibatkan diri dalam arus reformasi dan hingga batas tertentu masuk ke suasana pesta pora politik. Orang-orang NU banyak masuk menjadi pengurus partai dan ada pula yang duduk di parlemen. Semakin tampak lagi ketika mantan ketua umum PBNU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menjabat sebagai presiden Republik Indonesia yang kemudian disusul oleh KH. Hasyim Muzadi yang mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden pada tahun 2004 kemaren.

Dewasa ini, syahwat politik di kalangan jamaah NU terus menguat untuk tidak mengatakannya parah. Dalam pemilihan kepala daerah, jamaah NU selalu menjadi garda depan. Sedangkan dalam pemilihan calon legislatif, orang-orang NU banyak yang menyalonkan dirinya untuk duduk di parlemen. Pamflet, stiker, baleho, almanak, dan semacamnya menjadi media ‘penampakan’ wajah ke-NU-an mereka. Bahkan dalam pemilihan calon presiden dan wakilnya, warga NU menjadi objek utama setiap kandidat. Semua alat kampanye dipenuhi dengan foto-foto dan tandang tangan tokoh NU, terlepas apakah itu berarti secara subtantif atau hanya ikut-ikutan atau bahkan menjadi objek perpolitikan yang diambil manfaat oleh instansi-instansi politik (baca: parpol) lain. Tapi yang jelas bahwa reputasi NU sebagai organisasi terbesar sudah mulai luntur karena sering ‘diperdagangkan’ oleh jamaahnya sendiri.

Jadi, sangat mafhum jika salah satu pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengajak seluruh pengurus NU tidak lagi terjebak pada politik praktis. Di samping itu, beliau juga mengimbau sebaiknya di masa mendatang komunitas pondok pesantren—yang merupakan basis NU terkuat—tidak melibatkan diri dalam ingar-bingar politik praktis. (Kompas Jatim, 09/07/2009).

Politik Masa Depan

Himbauan Gus Solah tersebut kalau kita akurasikan dengan kondisi politik yang digeluti oleh warga NU dewasa ini menjadi sangat beralasan, di samping NU seakan menjadi organisasi politik yang namanya 'dipamerkan' di mana-mana, warga NU bercerai-berai, juga in come positif dari perpolitikan yang dilakoni belum dapat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya warga nahdliyin.

Harus disadari sejak dini, bahwa perpolitikan ke depan akan semakin kental dan kompleks. Gesekan antar gerakan politik yang semakin akut, kaum politisi yang terus membeludak, partai politik yang terus tumbuh subur, pemerintahan yang semakin politis, dan bahkan adanya sinyalir permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan politik menjadi indikasi kuat atas tumbuh-suburnya politik di masa yang akan datang. Sehingga, NU sebagai jam’iyah ijtima’iyah diniyah tentunya dapat diprediksikan akan terlibat di dalamnya.

Dari itu, tugas besar bagi NU dan jamaahnya adalah mempersiapkan perpolitikan masa depan. Jika tidak disiapkan sejak dini, maka jelas konsekuensi yang harus ditanggung akan lebih besar, lebih berat dan lebih beresiko. Salah satu proyek atau agenda yang patut dipersiapkan adalah menyusun kekuatan politik yang beroientasi membangun (power to) sebagaimana dalam teori kekuasaan Jean Bethke Elshtain dan meninggalkan tradisi politk lama yang sifatnya lebih pada merusak (power over), atau dalam tradisi NU al-muhafadlah bi al-qadimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Agenda itu bisa dilaksanakan dengan beberapa langkah, misalnya: pertama, menyatukan visi-misi politik antara partai politik NU, karena sampai saat ini partai-partai NU disibukkan dengan orientasi politiknya masing-masing sedangkan NU sebagai induknya cenderung mereka lupakan.

Kedua, membangun konsolidasi yang lebih erat. Selama ini jarang kita dapati partai-partai NU seperti PKB, PPP,PKNU, PBR, dan semacamnya berkumpul dalam satu forum secara inten untuk membahas orientasi, strategi dan capaian politik di masa depan. Langkah ini dilakukan untuk mempererat jalinan ukhuwah islamiyah nahdliyah yang mulai kendor, memperkuat ideologi politik yang retak dan sekaligus mempertemukan ide-ide politis yang sudah barang tentu berbeda satu sama lain dan bisa dicarikan titik temunya secara kolektif-organisatoris.

Namun yang perlu diingat bahwa langkah-langkah tersebut dilaksanakan untuk menampilkan citra atau reputasi NU yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis seperti al-tasamuh, al-tawazun, al-'adalah, al-syura, al-hurriyah, menjadi lebih baik bukan justru sebaliknya. Sudah saatnya, NU yang secara kuantitas terbesar di Indonesia, baik dalam kapasitasnya sebagai organisasi (jam'iyah) maupun sebagai komunitas (jama'ah), bersatu menyambut masa depan politik yang lebih cerah dan lebih cemerlang.

* Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...