Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Rabu, 16 September 2009

Mudik Di Bulan Ramadan

Mudik Di Bulan Ramadan
Oleh TIRMIDZI

Tidak terasa, bulan ramadan telah memasuki sepuluh hari terakhir. Secara teologis, detik-detik bulan ramadan diyakini sebagai hari dan malam penuh keistimewaan. Dalam beberapa literatur, sepuluh hari terakhir ramadan diasumsikan sebagai waktu turunnya malam penuh keberkahan, malam seribu kebaikan atau biasa disebut dengan malam lailatul qadar.
Dari asumsi tersebut, pada hakikatnya orang yang berpuasa dituntut untuk meningkatkan ibadah baik yang sifatnya wajib maupun yang sunnah, dan sebaliknya yaitu meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau yang bisa meminimalisasi nilai ibadahnya. Baca shalawat, istighfar, tahmid, dan i’tikaf di masjid merupakan beberapa contoh yang dipraktekkan oleh Nabi di bulan ramadan, sepuluh hari terakhir utamanya.
Namun tragis sekali, yang terjadi di masyarakat kita justru sebaliknya. Mayoritas mereka sibuk dengan urusan yang kurang jelas nilai plusnya. Sepuluh hari terakhir bulan ramadan misalnya, sudah menjadi tradisi di antara mereka lebih disibukkan pada urusan mudik. Dalam kamus-kamus besar bahasa Indonesia, mudik dimaknai sebagai ‘kembali’ ke kampung halaman baik yang ada di dalam kota, luar kota atau bahkan di luar negeri. Mudik bagi mereka yang hidup di luar kampung halaman, seakan menjadi ritual wajib setiap tahunnya. Ribuan orang siap antre dan rela berdesakan hanya untuk mendapatkan tiket mudik. Pemudik dari tahun ke tahun selalu meningkat. Tahun ini, di Jawa Timur saja di sediakan 6.393 bus yang siap menampung dan mengantar pemudik ke tempat tujuan masing-masing.
Di sini penulis bukan tidak membolehkan mudik. Mudik merupakan momen kebahagiaan dan kesenangan bagi mereka yang lama tidak bertemu dengan sanak keluarga. Sebagai momentum kebahagiaan, maka tidak ada dalil untuk melarangnya. Akan tetapi yang perlu ditekankan disini adalah mudik di bulan yang penuh hikmah dan barokah harus dapat memberikan nilai lebih bagi peningkatan keimanan khususnya, baik keimanan individual maupun sosialnya. Mereka perlu sadar bahwa mudik hanya untuk kembali ke kampung halamannya bukanlah tujuan utamanya. Akan tetapi di dalamnya terkandung makna yang lebih esensial yakni bagaimana mudik—dengan arti kembali—dapat menjadi media pengembalian sifat, watak dan sikap pada tempatnya yang fitrah. Sudah barang tentu, hal demikian tidak bisa dicapai kecuali dengan adanya proses transformasi jiwa atau batin di mana titik pusatnya bersumber dari ibadah atau pendekatan diri kepada Yang Segala Maha. Di sinilah kiranya mudik di bulan ramadan harus dimaknai secara cermat sehingga bukan hanya berupa ritual yang hampa nilai.

Memaknai Mudik
Sebagaimana dijelaskan bahwa mudik bukan hanya dapat dimaknai sebagai kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, mudik khususnya di bulan ramadan dapat dijadikan media untuk mengembalikan diri masing-masing kepada fitrah, sifat hakiki manusia sejati. Dalam artian, mudik dalam hal ini seyogyanya membuahkan adanya transformasi nilai baik pada pribadi masing-masing maupun kepada masyarakat sekitarnya.
Bagi diri sendiri, mudik dapat dimaknai sebagai pengembalian jiwa atau batin pada suasana yang lebih tentram dan tenang, pemantapan keimanan, pengendalian emosi, atau bahkan dimaknai sebagai kembali pada jalan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Ketika antre untuk membeli tiket mudik misalnya dijadikan media untuk mengingat Tuhan dengan berdzikir kepada-Nya, walaupun berdesakan atau bahkan ada orang lain yang mendahuluinya tetap terkendali emosinya, tidak marah-marah dan sabar menunggu, ketika berangkat menuju kampung halaman tidak melanggar aturan lalu lintas, awalnya tidak rajin shalat menjadi semangat, biasanya tidak biasa membaca al-Quran mulai membiasakan diri, dan contoh-contoh lainnya.
Sedangkan bagi orang lain, mudik dapat dimaknai sebagai pengembalian sifat humanitas, sehingga dapat lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi, dan yang terpenting dapat merealisasikan dalam wujud yang riil. Tidak dapat dipungkiri bahwa problema keumatan dewasa ini sangat konpleks, mulai dari pendidikan rendah, peningkatan kemiskinan, peningkatan anak jalanan dan pengangguran, tindakan korupsi di mana-mana, sampai pemenuhan hak yang terabaikan bagi saudara-saudara korban lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo.
Fenomena-fenomena demikian setidaknya dapat merangsang sikap kepedulian kita selaku mahluk Tuhan yang memiliki akal dan rasa termasuk sifat humanitas. Ketika di jalan bertemu dengan orang yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid atau madrasah maka selayaknya untuk menyumbangkan semampunya, atau bertemu dengan orang yang sedang meminta-minta maka seyogyanya juga memberikan apa yang bisa kita berikan.
Salah satu ibadah yang sangat ditekankan di akhir ramadan adalah zakat fitrah. Zakat fitrah ini hukumnya wajib yaitu mengeluarkan sebagaian harta setelah sampai batas yang telah ditentukan oleh agama dan kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang berhak menerimanya sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, dalam ibadah zakat terkandung nilai-nilai humanitas yang semestinya mendapat perhatian penuh dari semua pihak, termasuk para pemudik terlebih ketika mengingat hakikat dari pelaksanaan zakat itu sendiri yaitu untuk membersihkan harta pemiliknya, karena di dalamnya terdapat hak orang miskin yang harus diberikan sekaligus sebagai simbol kepedulian terhadap masyarakat sekitarnya.
Jadi dengan demikian, setelah pemudik sampai di kampung halaman bukan hanya raganya yang kembali, tapi sikap, mental, sifat, watak, harta dan semacamnya juga benar-benar kembali ke fitrahnya. Sehingga dia berhak menyandang gelar Min al-‘aidzin wa al-faizin, yaitu orang-orang yang telah kembali kepada fitrahnya dan orang-orang yang mendapat keberuntungan.


* Penulis Aktif di PesMa IAIN Supel Surabaya

1 komentar:

  1. sayang kemarin gak sempat mudik.
    minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin.

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...