Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Kamis, 14 Mei 2009

Menatap Masa Depan Korban PHK

Menatap Masa Depan Korban PHK

Oleh: TIRMIDZI*


Krisis moneter yang menimpa bangsa ini pada tahun 1998 menjadi momen yang terus diingat oleh masyarakat luas. Betapa tidak, krismon telah menyisakan rasa sakit yang mendalam di hati mereka, angka kemiskinan dan pengangguran meningkat, layanan kesehatan mahal, dan banyak lagi dampak negatif lainnya. Penyakit lama belum sembuh total, kini masyarakat kita dihadapkan pada krisis ekonomi global. Krisi ini benar-benar memberikan tamparan yang sangat keras sekaligus menjadi babak lanjutan keterpurukan mereka. Contoh yang sangat riil adalah banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hingga April 2009, jumlah pekerja yang terkena PHK di Jawa Timur mencapai 14.036 jiwa. Data yang dihimpun Kompas dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM) menunjukkan, kasus terbesar disebabkan krisis ekonomi global dengan jumlah PHK sebanyak 9.078 karyawan, sementara 331 karyawan kehilangan pekerjaan karena alasan nonkrisis, dan 226 karyawan lain diberhentikan karena habis masa kontrak. Selain itu, sebanyak 4.401 karyawan telah dirumahkan dan 2.007 karyawan lainnya telah masuk dalam daftar rencana PHK. (Kompas Jatim, 17/04/09).

Pada hari yang sama, Harian ini juga menyebutkan kasus PHK terbesar di Jatim terjadi di Kabupaten Sidoarjo sebanyak 3.000 kasus, Pasuruan 2.000 kasus, dan Gresik 1.500 kasus. Kasus serupa juga terjadi di Surabaya, Malang, Nganjuk, Madura, Mojokerto. Tingginya angka PHK tersebut antara lain disebabkan karena kurang lebih dari 14 perusahaan di Jatim gulung tikar dan 31 perusahaan tutup sementara dengan alasan yang sama, krisis ekonomi global.

Angka tersebut semakin membukit setelah ditambah dengan tenaga kerja kita yang dikena PHK di luar negeri, baik sebagai tenaga industri, otomotif, pembantu rumah tangga dan semacamnya. Sejak Januari sampai April 2009, korban PHK tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jatim yang dipulangkan telah mencapai 15.000 orang. (Kompas Jatim, 23/04/09).

Ironisnya, sampai saat ini sepertinya belum ada langkah konkret yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyikapi permsalahan ini. Alih-laih mengupayakan tapi pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai media ‘bisnis pribadi’ dan ‘bisnis kelompok’ sedangkan para korban dibiarkan terlantar berada di tengah kebingungan dan masa depan yang suram.


Mengadu Nasib

Ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi fenomena PHK turut memperbanyak ‘koleksi’ pengangguran yang sampai saat ini telah mencapai 1,2 juta jiwa. Di samping itu, tidak sedikit dari mereka yang berani ‘melarikan diri’ ke daerah-daerah lain seperti Jakarta, Sulawesi, Sumatera, Banjarmasin, Malaysia, bahkan ke luar Negeri, untuk mengadu nasib mereka.

Padahal secara akal sehat, nasib mereka di daerah luar juga belum bisa dipastikan mapan. Tapi mengapa mereka tetap melakukannya?. Raja dangdut H. Rhoma Irama mengilustrasikan dalam lirik pengangguran-nya: Telah lama ku alami hidup tiada pegangan, pengangguran ya Allah/Tiap hari susah makan anak istri bertangisan, jadi korban ya Allah/Tiada yang mau menolong pada diriku ini/Tiada yang mau perduli akan nasibku ini/Bahkan mereka mencemoohkan penuh kebencian/Akupun selalu disisihkan dari pergaulan. Alasan ekonomi keluarga selalu menjadi sebab sentral kerelaan mereka untuk merantau ke daerah lain.

Tetangga penulis, Ahmadi (36), berangkat ke Sumatera untuk mencari pekerjaan pasca PHK beberapa bulan lalu dan sampai saat ini belum jelas hal-ihwalnya. Ia rela meninggalkan dua anak dan istrinya demi pemapanan ekonomi keluarganya. Alasannya sederhana, karena ia ingin anaknya basa melanjutkan sekolah sampai jenjang setinggi-tingginya dan dapat setara dengan teman-teman sebayanya.

Contoh tersebut hanya salah satu dari sekian banyak kasus korban PHK. Di balik itu sudah dapat dipastikan akan banyak kasus financial depression lainnya. Bahkan yang lebih tragis, korban PHK bukan hanya mengalami financial depression tapi juga person depression, seperti stres, gila dan gangguan-gangguan psikologis lainnya, sebagaimana terjadi di beberapa daerah Jatim semisal Sumenep, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, dan daerah-daerah lainnya.

Akankah fenomena ‘adu nasib’ masyarakat kita akan terus berlanjut?, siapa yang bertanggung jawab?, bukankah UUD 1945 telah mengamanatkan perwujudan tatanan kehidupan masyarakat—termasuk di Jatim—yang sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan nilai-nilai pancasila?.


Pemerintah (Pro) Masyarakat

Dalam pembukaan UUD 1945, founding father Negara ini telah merumuskan bahwa Pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

UUD tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah sebagai wakil rakyat memiliki keharusan bahkan kewajiban untuk melindungi dan memperbaiki kehidupan masyarakat dalam semua aspeknya, termasuk ekonomi. Terkait dengan korban PHK, secara filosofis UUD tersebut mengharuskan adanya langkah-langkah konkret-kreatif dari pemerintah untuk menyudahi problem ekonomi yang semakin mendesak.

‘Soekarwo Prioritaskan Ekonomi Jatim’, demikian judul headline harian Kompas Jatim edisi 31 Januari 2009. Agenda semacam itu patut dilestarikan dan ditindaklanjuti secara bersama. Sudah saatnya Gubernur dan calon legeslatif terpilih berkonsolidasi untuk memikirkan masa depan ekonomi masyarakat. Janji-janji yang mereka lontarkan pada waktu kampanye, seperti lapangan kerja, penyusunan peraturan gubernur, pemfungsian Disnaker, jaminan akses pendidikan dan kesehatan, pelatiahan kerja, serta pemberian stimulus penguatan ekonomi, sudah waktunya untuk ditransformasikan dalam aksi-aksi nyata.

Dengan pemerintahan yang benar-benar memihak pada masyrakat, korban PHK tidak perlu mengadu nasib ke tanah rantau. Mereka bisa hidup berdampingan dengan keluarganya dan dapat menatap masa depan yang lebih cerah di tanah kelahirannya. Akhirnya, amanat UUD 1945 ‘mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’ menjadi kenyataan yang tidak terelakkan.


* Penulis adalah Pegiat Sosial-Budaya, Aktif di PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 komentar:

Tahnks atas komentarnya...