Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Rabu, 21 Oktober 2009

Mewujudkn Agama Humanis

Mewujudkn Agama Humanis
Oleh: Tirmidzi*


Beberapa pekan terakhir, istilah jihad menjadi tema menarik yang sering diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini dalam implementasinya mengatasnamakan jihad, berperang di jalan Tuhan dan atas nama Agama. Benar atau tidak, pemahaman tentang jihad perlu direeksplorasi mengingat erat kaitannya dengan paham keagamaan masyarakat luas. Sehingga ada satu pihak yang menganggap bahwa agama adalah puncak masalah dan kekerasan di samping juga sebagai sumber kebaikan dan perdamaian. Asumsi demikian bisa saja benar karena bisa saja agama dijadikan alat legetimasi tindakan-tindakan yang kurang searah dengan substansinya, dijadikan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindakan kekerasan misalnya.
Menurut Akhyar, paling tidak ada tiga alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindakan kekerasan. Pertama, karena agama adalah ideology. Dalam fungsi ini, di satu sisi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justeru menampilkan bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan. Kedua, karena agama sebagai identitas. Artinya, agama secara spesifik dapat diidentikkan pada kelompok tertentu. Di sinilah terdapat kemungkinan lahirnya tindak kekerasan karena besar kemungkinan terdapat ikhtilaf pemahaman, penafsiran, kerangka berfikir, dan etos kerja antara satu kelompok dengan yang lainnya. Ketiga, karena agama (terkadang) menjadi alat legitimasi hubungan antar manusia sebagaimana telah disinggung di muka.

Agama dan Kekerasan
Walau demikian, terdapat sanggahan dari banyak fihak khususnya kaum agamawan yang mengatakan bahwa agama sama sekali tidak mengandung doktrin amoral semisal kekerasan. Menurut kelompok ini, kekerasan yang terjadi bukanlah bersumber dari agama melainkan dari individu-individu yang mengaku beragama dan agama dijadikan kambing hitam aksi mereka. Walaupun dalam agama-agama terdapat doktri 'perang', bukan berarti agama mengajarkan kekerasan, permusuhan, intimidasi, dan terorisme. Kata jihad, perang dan dakwah mereka maknai sebagai 'mengajak' bukan 'memaksa'. Perlu diingat bahwa agama juga menekankan terwujudnya solidaritas dan toleransi. Islam, Budha, Kristen, Hindu, maupun Katolik merupakan agama yang diturunkan ke muka bumi dari langit dengan tujuan rahmatan lil'alamin, agama cinta kasih dan semacamnya.
Namun di sisi lain, ada juga kelompok yang menganggap agama sebagai biang kerok kekerasan dan intimidasi. Bahkan Karl Marx menganggap agama sebagai candu karena dia melihat realita yang ada di Eropa waktu itu dimana kaum agamawan begitu dominan, sehingga mereka menindas kaum lemah dengan legalisasi agama.. Agama oleh mereka diproyeksikan sebagai penggerak konflik umat beragama. Kejadian-kejadian yang berbau konflik sering kali berpangkal pada permasalahan agama. Konflik Poso, Madura, Sambas, bom bali, bom kuningan, bom hotel Marriot, terorisme yang saat ini kental diperdebatkan kesemuanya memiliki hubungan erat dengan agama atau paling tidak dengan pemahaman keagamaan. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan doktrin agama-agama, tapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia akan tetap berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak dapat dilupakan bahwa agama juga sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam perjalanannya agama akan menjadi sumber intimedasi atau sumber toleransi bergantung pada umat manusia selaku subjeknya.
Menurut Charles Kimball terdapat lima situasi dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindakan-tindakan kekerasan. Pertama, ketika agama mengklaim kebenarannya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kimbal menyontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamintalis. Kedua, ketika agama dibarengi dengan ketaatan yang berlebihan. Dalam hal ini aliran radikalisme menjadi salah satu bukti konkretnya. Ketiga, ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide Negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria. Di Indonesia, kelompok yang merindukan terwujudnya Negara islam dengan pimpinan khalifah sebagaimana di masa lampau juga telah melahirkan agamawan-agamawan garis keras.
Keempat, ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi oleh beberapa hal (a) karena mempertahankan tempat suci (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam (d) untuk mempertegas identitas kelompok melawan orang luar. Kelima, ketika agama memotivasi perang suci (holy war) atau sering kali dikenal dengan istilah jihad. Aksi terorisme yang mengatasnamakan laskar jihad yang sedang semarak di tanah air dapat dijadikan salah satu contoh dari poin keempat dan kelima.
Dengan demikian, segenap umat beragama memiliki tugas yang amat berat dan mendesak, yakni mewujudkan kembali reputasi agama sebagai way of life yang rahmatan lil 'alamin. Tugas tersebut bukanlah hal yang mudah dan spele melainkan dibutuhkan kesungguhan dan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat, bangsa dan Negara.

Agama Humanis
Dari paparan di muka jelas bahwa agama memiliki banyak wajah (multi faces) dan bukan satu wajah (single face). Di satu sisi agama adalah sumber toleransi, namun di waktu yang berbeda dapat menjadi penyulut lahirnya konflik yang berkepanjangan dan menjadi motivasi lahirnya tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi umat beragama. Namun dewasa ini, agama dengan fungsi kedua inilah yang sering tampak dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu mewujudkan agama yang lebih humanis yakni agama yang menghargai hak-hak orang lain baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat, warga Negara, maupun orang beragama.
Terkait dengan agama yang humanis, terdapat dua konsepsi penting yang dimiliki setiap agama-agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu fanatisme dan toleransi. Kedua konsep tersebut harus dipraktekkan secara seimbang. Sebab ketidakseimbangan keduannya akan melahirkan problema tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna doktrin agama mereka yang pada gilirannya menyamaratakan semua agama-agama, dan dari sinilah biasanya konflik bermula. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain atau bahkan terhadap saudara seagama dengan faham yang berbeda.
Agama humanis juga dapat diwujudkan dengan tidak melulu menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan ideologi an sich, namun bagaimana ayat-ayat yang erat hubungannya dengan hubungan antar umat beragama juga dapat dibahas secara panjang lebar dan komperehensif. Harus diingat bahwa berbicara ideologi hanya akan melahirkan sikap sentimen antara satu dengan yang lainnya. Biarkan ideologi sebagai urusan individu masing-masing yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan secara pribadi pula. Wallahu A'lam..



*) Penulis Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Aktivis di Forum Perdamaian Madura (ForMaDu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...