Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 29 Juni 2009

Diskursus Politik Kaum Intelektual

Diskursus Politik Kaum Intelektual
Oleh: Tirmidzi*

Diskursus peran dan kiprah kaum intelektual dalam politik di Negara ini sungguh sangat menarik. Sejarah mencatat bahwa tumbangnya rezim orde baru tidak dapat dipisahkan dari peran aktif elemen kampus yang merupakan basis kaum intelektual. Franz Magnis Suseno pernah menyatakan bahwa kaum intelektual Negara kita memiliki kedudukan istimewa dibanding negara-negara lain, termasuk kiprahnya dalam pentas politik.
Hadirnya era reformasi dan semakin kuatnya sistem demokrasi yang di anut oleh Negara kita telah memberikan ruang gerak yang amat luas bagi kaum intelektual untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan, baik lokal, regional, nasional, bahkan pentas internasional. Di samping juga, kondisi buruk yang terus mewarnai kehidupan bangsa dan Negara Indonesia juga menajdi motivasi kuat bagi mereka untuk turun langsung dan masuk dalam sistem yang ada.
Sebagai gambaran konkrit, kiranya masih lekat dalam ingatan kita fenomina pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 kemaren. Menariknya, dalam pilpres tersebut diramaikan oleh maraknya kaum intelektual di balik capres-cawapres. Sebagian mereka ada yang secara terang-terangan mendukung capres tertentu tapi ada pula yang 'malu-malu kucing'. Mereka juga turut menghiasi media massa dengan berbagai tulisan, analisis, ulasan politik, dan semacamnya.
Sejumlah nama intelektual kita tercantum sebagai tim sukses dan tim kampanye masing-masing kandidat. Di kubu SBY-JK ada Marwan Mas, Musa Asy'ari, Andi Malarangeng, Denny JA. Di kubu Amien-Siswono ada Bambang Soedibyo, Dien Syamsuddin, Abdul Munir Mulkhan, Yahya Muhaimin Rizal Sukma. Sedangkan di kubu Mega-Hasyim turut berpartisipasi KH. Said Aqil, Sonny Keraf, dan Hermawan Sulistiyo. Di kubu Wiranto-Wahid ada Alwi Shihab, As. Hakim, Happy Bone Zulkarnaen, Mahfud MD, dan Umar Juoro. Terakhir di kubu Hamzah-Agum ada M. Yusuf Yosfiah, Endin J. Soefihara, Qomari Anwar Laode M. Kamaluddin, dan sebagainya.
Perseturuan kaum intelektual dengan politik sebagaimana fenomena tahun 2004 berulang pada tahun ini. Ajang pilpres 2009 yang tinggal beberapa hari lagi turut menayajikan realitas betapa dinamisnya kaum intelektual negeri ini. Banyak intelektual yang selama ini berkarya—dengan predikat sebagai pengamat, penulis dan advocator misalnya—ternyata memutuskan untuk memperkuat kubu salah satu kandidat capres-cawapres yang akan berkompetisi 8 Juli mendatang.
Seperti tahun 2004, sejumlah nama intelektual sudah mulai bermunculan di balik pasangan calon. Di balik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ada Bima Aria Sugiarto Direktur Charta Politica, Andi Mallarangeng, Denny JA. pemimpin Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan beberapa kaum intelek dari partai politik yang menjadi mitra koalisi SBY-Berboedi. Dari kubu Jusuf Kalla-Wiranto, terdapat nama Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), Ahmad Erani Yustika, Fadhil Hasan yang juga pernah menjabat komandan Indef, J. Kristiadi, dan beberapa tokoh dari simpatisan parpol seperti PAN dan PPP yang merapat ke kubu ini. Sedangkan dari kubu Megawati-Prabowo Subianto telah bergabung dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Imam Sugema, intelektual muda Zuhairi dan Fadli Zon, dan ada juga yang menyebutkan pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali, juga telah memosisikan sebagai dewan konsultan tak resmi pasangan yang bernomor urut satu ini.

Pertarungan Idealisme
Dari realitas di muka, maka sudah jelas bahwa kaum intelektual memiliki andil besar dalam ranah perpolitikan Negara ini. Persoalannya kemudian, apakah para intelektual tersebut nantinya akan bisa mengemban misi intelektualnya yang adiluhung yaitu penyelamatan manusia (the salvation of man)?, atau justeru sebaliknya seperti yang disinyalir oleh Daniel Dhakide, bahwa para masa pemerintahan orde baru kaum intelektual sebagian menjadi ‘alat produksi’ kebenaran yang berfungsi melestarikan dan melanggengkan kekuasaan sang rezim?.
Pertanyaan demikian patut dikedepankan mengingat bahwa ketika kaum intelektual ikut berpartisipasi dalam politik praktis akan terjadi pertarungan idealisme, idealisme intelektualitas dan idealisme politik. Sebagai intelektual, idealnya mereka lebih mengedepankan proses transformasi ilmu untuk mengubah kondisi sosial, budaya, politik, maupun pemerintahan, di samping juga sikap otonom dan independen harus melekat dalam diri mereka. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai politisi, mereka akan lebih terikat, tidak otonom, dan tidak independen serta secara ‘terpaksa’ mereka harus tunduk pada sistem dan faham poltik yang dianutnya. Intelektualitas yang mereka miliki akan mendapat ruang sempit, bahkan ketika bersinggungan dengan sistem atau struktur politiknya maka ada social effect dan political effect yang harus ditanggung.
Dengan demikian, kita hanya bisa berharap bagaimana para intelektual yang sudah terjun langsung ke dalam politik praktis agar bisa menyikapi dirinya sendiri secara arif dan bijak. Benih-benih intelektualitas yang mereka miliki tidak pupus ketika mereka telah berhadapan langsung dengan dinamika politik yang saat ini dipandang cenderung kotor, profan dan manipulatif. Akan tetapi bagaimana kehadiran mereka dalam ranah politik dapat menggulirkan ide-ide reformasi di setiap lini kehidupan, yang benar katakana benar dan yang salah dikatakan salah. Dalam hal ini, Edward W. Said melansir posisi intelektual adalah sebagai penyampai bahasa atau suara masyarakat kepada pemerintah walaupun pahit, pedas dan beresiko tinggi. Michel Foucault lewat karyanya power/knowledge juga menyatakan bahwa intelektual yang politis adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan pengetahuan, kompetensi, dan relasinya dengan kebenaran dalam lapangan perjuangan politis.
Bukan justru sebaliknya, mereka tenggelam dan menjadi kaki tangan politi atau budak-budak kekuasaan (servants of power) rezim tertentu, sehingga mereka termasuk kategori intelektual sebagaimana yang dinyatakan oleh Julien Benda yang disebut dengan La Trahison des Clercs, yaitu renungan tentang penghianatan kaum intelektual. Artinya, kaum intelektual yang masuk dalam sistem politik dan akhirnya tunduk dan tidak otonom diklaim sebagai intlektual yang berhianat pada jati dirinya sendiri. Benda memandang secara ideal normatif bahwa tanggung jawab intelektual adalah pekerja mintal. Mereka tidak harus terlibat dalam kerja-kerja praksis yang cenderung materialistik.
Sebagai penegasan akhir, Antonio Gramsci dalam The Prison Notebooks menyatakan: all men are intellectuals, but not all men in society the function of intellectuals. Dari itu, fungsi intelektualitas sebagai sesuatu yang istimewa harus dapat difungsikan pada tempat yang semestinya, baik dalam ranah politik, sosial, budaya, dan agama. Klimaksnya, bagaimana dengan intelektual kita yang aktif di panggung politik?, sepertinya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.


*Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...