Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 29 Juni 2009

Menatap Masa Depan Perekonomian Madura

Menatap Masa Depan Perekonomian Madura
Oleh Tirmidzi*


Di satu sisi, rampungnya Jembatan Suramadu memberikan harapan yang sangat besar bagi terciptanya perekonomian yang lebih mapan di masa depan bagi masyarakat Madura secara umum, tapi sekaligus menjadi ‘gerbang’ kegelisahan masyarakat Madura di sisi yang berbeda.
Kekayaan alam seperti tambang, tembakau, garam, perikanan dan lainnya akan dengan mudah dicarikan ‘terobosan’ baru di daerah luar yang tentunya lebih menguntungkan dan dapat mengangkat perekonomian masyarakat Madura yang sampai saat ini berada di tepi jurang keterpurukan. Namun juga yang patut diingat bahwa Suramadu bisa menjadi lintasan proses hegemoni ekonomi asing yang akan merongrong perekonomian masyarakat (baca: perekonomian lokal). Dalam telaah perekonomian mikro, sukses tidaknya perekonomian sangat bergantung pada kualitas sumberdaya manusianya. Artinya, ketika SDM-nya bisa mengelola secara baik maka cita-cita yang diimpikan akan mudah dicapai tapi sebaliknya ketika mereka bersikap ‘emoh’ dan tidak peduli maka perekonomian masyarakat akan tetap pada posisi semula: la yahya wa la yamutu.
Oleh karena itu, kiranya sangat urgen untuk mengadakan persiapan SDM sejak dini untuk menyambut hadirnya arus industrialisasi di pulau tanah garam tersebut. Jika tidak maka besar kemungkinan masyarakat Madura akan menjadi ‘budak’ di daerah sendiri. Patut disadari sejak awal bahwa kekayaan Madura sudah dilirik oleh orang luar termasuk luar negeri sekalipun. Pertambangan minyak yang terletak di Pagerungan Sumenep, misalnya, telah didaftar oleh ratusan investor asing, termasuk Australia yang mendaftar sejak isu dibangunnya Jembatan penghubung Surabaya-Madura. Begitu juga, lahan yang terdapat di pinggir-pinggir jalan kota Sumenep, sampai saat ini sudah mencapai 40% adalah milik orang luar Madura.
Fenomena demikian tidak akan hanya berkutat di Sumenep an sich, akan tetapi lambat laun bisa menjalar ke daerah-daerah lain seperti Pamekasan, Sampang, lebih-lebih Bangkalan yang merupakan ‘serambi belakang’ kota Surabaya. Wildani Hefni menjelaskan bahwa sudah beberapa lahan yang terletak di Kecamatan Buneh, Bangkalan, yang merupakan pintu utama Suramadu, telah dibeli oleh para investor asing. (Kompas Jatim, 11/06/09).
Dengan fakta tersebut, rampungnya dan peresmian Suramadu sebagai Jembatan penghubung Madura dengan daerah luar meniscayakan adanya new commitment dari berbagai kalangan masyarakat untuk menelaah lebih jauh akan konsepsi perekonomian yang selama ini dianut oleh mayoritas masyarakat Madura. Sudah barang tentu, telaah ini sebagai langkah awal untuk menatap masa depan perekonomian masyarakat yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Kalau ditilik secara seksama, konsep perekonomian yang dianut oleh mayoritas masyarakat adalah perekonomian pasif. Artinya, peran masyarakat dalam proses ekonomi sangatlah kecil. Bahkan bisa dikatakan bahwa secara struktural mereka sangat bergantung pada ‘atasan’ yang dipegang oleh kelas elit, pemilik modal. Semua kebijakan bisa saja berubah dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat bawah, bahkan terkadang merugikan mereka dalam skala besar.
Kita ambil beberapa contoh, seni ukir yang terletak di desa Karduluk, Sumenep, para pekerjanya sering kali harus menerima kekecewaan karena harga bahan mentahnya—dalam hal ini kayu, jati utamanya—tidak sesuai dengan nilai jualnya, masih ditambah dengan harga peralatan yang juga kian melambung. Demikian juga para nelayan (tokang pajeng), misalnya yang terjadi di desa Lobuk-Sumenep, Bandaran-Pamekasan, Ketapang-Sampang, dan Omben bagian utara-Bangkalan, sampai saat ini penjualan ikan masih bergantung pada harga pasar yang justru sering tidak setabil. Bahkan, tembakau yang merupakan tanaman ‘impian’ masyarakat Madura harganya sering kali dipermainkan oleh pihak atas baik pemerintah, pihak gudang, maupun juragan dan bandol, sedangkan masyarakat seakan hanya menjadi penanam yang siap dirugikan.
Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam proses pembangunan perekonomiannya sendiri. Kebergantungan yang sangat besar terhadap pemilik modal menjadikan masyarakat bersikap tong-ontongan (untung-untungan) dalam pemapanan ekonomi. Pola fikir atau sikap tong-ontongan demikian akan menjadi dilema tersendiri ketika Madura menjadi masyarakat industri. Mereka akan kehilangan daya kompetetif dan cenderung pasrah di tengah semarak industrialisasi, dan akhirnya sistem perekonomian mereka dengan mudah digerogoti kekuatan asing yang sudah barang tentu lebih mengedepankan keuntungan pribadi dari pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat secara umum. Tuan menjadi ‘budak’ di istana sendiri.
Untuk langkah antisipatif, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa persiapan sumber daya manusia sejak dini menjadi sebuah kewajiban yang tidak boleh ditunda. Dalam hal ini, lembaga sosial, agama, pemerintah, dan utamanya pendidikan menjadi institusi strategis sebagai media pencerdasan masyarakat untuk menyambut ‘era baru’ pasca pengoprasian Jembatan Suramadu. Institusi-institusi tersebut diharapkan bisa berperan aktif dalam proses kaderisasi masyarakat.
Dalam ranah ini, penulis melihat lembaga pendidikan, baik tingkat menengah maupun tingkat tinggi, menjadi media yang paling dominan sesuai dengan fungsi dan orientasinya sebagai agent of knowledge, agent of social control, dan agent of change. STIKA, Wiraraja, STKIP, Unira, STAIN, Unijoyo, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal lainnya yang ada di Madura secara de fakto harus disadari memiliki tanggung jawab yang sama dan bersama dalam proses tersebut. Yang namanya proses tentunya memerlukan langkah-langkah praktis-strategis yang bisa saja formatnya berbeda bergantung pada kebutuhan riil daerah masing-masing.
Fungsi yang pertama meniscayakan adanya pemikiran kreatif untuk menghasilkan formulasi keilmuan yang utuh, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi masyarakat. Sedangkan yang kedua dan yang ketiga merupakan bentuk implementasi dari yang pertama, yaitu berupa upaya-upaya praktis seperti pendampingan, advokasi, training, dan controling masyarakat setempat yang pada klimaksnya dapat menciptakan kesadaran masyarakat dan pola fikir yang leibh aktif dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. Sebagai catatan, di zaman modern ini sangatlah naif ketika teknologi tidak dijadikan alat penunjang untuk mewujudkan perekonomian masyarakat di masa depan.


*Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...