Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 08 Juni 2009

Janji-Janji (Manis) Capres-Cawapres

Janji-Janji (Manis) Capres-Cawapres
Oleh: Tirmidzi*


Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kini memasuki dunia pertandingan (competition world) yang sangat akut. Masing-masing kandidat mulai mengobral janji-janji untuk memerkenalkan dirinya sekaligus menarik simpati masyarakat, baik dalam aspek budaya, politik, pemerintahan, lebih-lebih aspek ekonomi. Embel-embel pemapanan ekonomi sepertinya menjadi tema sentral dalam detik-detik kampanye yang telah digelar 2 Juni kemaren.
Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) memilih perbaikan sektor riil yang 'lebih cepat lebih baik'. Pasangan yang selalu pertama ini menegaskan tidak akan menggantungkan system perekonomian negara pada pasar modal an sich. Hal itu disebabkan hajat hidup bansa Indonesia justru sangat bergantung pada keberlangsungan sektor riil. Capres-cawapres yang diusung partai Golkar dan Hanura ini pun berjanji akan memperbaiki perekonomian Indonesia dengan target capaian 8% mulai tahun 2011 mendatang.
Berbeda dengan yang pertama, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Berboedi) mengemukakan agenda pembangunan ekonomi untuk semua. Pasangan ini tidak memfokuskan pada satu sektor saja dengan alasan karena Indonesia masih dipengaruhi buruknya perekonomian dunia dan masih dalam tahap pemulihan ekonomi pasca resesi ekonomi global. Dengan slogan 'lanjutkan', pasangan ini pun jika terpilih menjanjikan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% pada akhir 2014.
Sedangkan pasangan Megawati-Prabowo (Mega-Pro) sangat menitikberatkan pada agenda ekonomi kerakyatan. Dengan tegas pasangan ini menyatakan akan melakukan perubahan system ekonomi yang ada yang lebih didominasi oleh orang asing menjadi system ekonomi yang lebih menomorsatukan kepentingan rakyat kecil dan bangsa Indonesia secara umum. Bahkan di kesempatan yang berbeda, Prabowo pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi hingga 10% dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Kalau kita perhatikan, semua janji-janji yang dilontarkan oleh masing-masing kandidat memiliki orientasi yang sama yaitu menekankan pertumbunhan ekonomi di masa depan menuju perekonomian yang lebih mapan, berkembang dan lebih maju, hanya saja kapasitas dan pemakaian redaksi teksnya berbeda.

Janji sebagai Identitas
Dalam khazanah ilmu filsafat, masalah perbedaan redaksi tutur kata—sebagaimana janji-janji para kandidat—mendapat perhatian khusus dari para philosopher, khususnya penganut logosentrisme, karena perbedaan kata memiliki signifikansi yang mempengaruhi substansi makna, sehingga muncullah istilah 'difference'. Istilah difference sendiri kali pertama diperkenalkan oleh Derrida (1930-2004) dalam ceramahnya di depan Societe Francaise de Philosophie pada 27 Januari 1968. Menurutnya, difference bukanlah substansi atau esensi yang memiliki tempat (lieu), akan tetapi lebih cenderung pada strategi tekstual yang bisa saja ambigu dan berwajah dua.
Walau demikian, di sisi yang berbeda difference tidak selalu mengisyaratkan hierarki yang mengunggulkan antara satu kelompok dengan kelompok lain atau oposisi yang meniadakan satu kelompok dan menghadirkan kelompok lain, serta bukan melulu strategi yang selalu menipu dan berwajah ganda karena selalu ada kategori ketiga yang memungkinkan kedua kategori tersebut tetap seperti sediakala, masing-masing kata dibangun di atas signification dalam kapasitasnya sendiri.
Dengan dua asumsi tersebut diketahui bahwa difference hanyalah sebagai identitas untuk menandakan sesuatu yang memiliki banyak kemungkinan-kemungkina. Sebagai identitas, meminjam bahasa Nietzsche, difference adalah sesuatu yang fallible yakni dapat dibenarkan, dipersalahkan, diuji, dikritik, dan dibenturkan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin tidak terbayangkan atau tampak paradoksal dan bahkan tidak masuk akal. Falibilitas memberikan ruang bagi khalayak umum untuk membaca dan merenungkan segala sesuatu termasuk janji-janji para kandidat yang sangat variatif tersebut.
Ketika janji-janji diasumsikan sebagai identitas, setidaknya ada dua kemungkinan yang harus menjadi bahan bacaan publik, apakah janji dimaksud sebagai strategi atau substansi. Pertama, identitas sebagai strategi. Sebagai strategi, janji-janji hanya dibangun untuk memengaruhi massa, sangat temporal dan tidak akan ada kesesuaian antara res cogitans (pikiran/ide) dengan res extansa (realitas) nantinya.
Identitas ini menjadi nyata dalam konteks keindonesiaan ketika melihat bahwa janji-janji sebagaimana diobralkan oleh para kandidat kita hanya hadir di setiap momen-momen penting semisal pemilihan calon legeslatif dan calon presiden. Di samping juga, janji-janji demikian hanya menjadi harapan dan tidak dapat ditransformasikan dalam tindakan nyata, sehingga janji hanya ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya.
Kedua, identitas sebagai system nilai. Berbeda dari yang pertama, janji-janji dalam hal ini dibangun atas nama keadilan, kejujuran, kecakapan, dan target-target yang terarah dan riil. Identitas ini lebih mengedepankan substansi daripada kulit luarnya, tidak terlalu muluk dan lebih memperhatikan suara mayaoritas.
Kedua item bacaan di muka semoga dapat menjadi bekal bagi masyarakat kita di mana saat ini sudah mulai dicekoki dengan janji-janji atau identitas-identitas para kandidat yang akan bersaing dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Negara Indonesia preode 2009-2014 pada 9 Juli mendatang, sehingga mereka tidak memilih capres-cawapres berdasar pada identitas-identitas palsu serta janji-janji manis yang semu. Akan tetapi, lebih dari itu memilih karena hati nurani dan berdasar pada identitas yang sarat dengan substansi. Tentunya harapan demikian akan tercapai ketika masyarakat lebih peka dan lebih teliti dalam menilai ketiga kandidat yang akan segera bertanding. Wallahu a’lamu bi al-showab.



*Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

2 komentar:

  1. yah...ulasan yang bagus...

    Masing-masing dari kita punya pandangan masing-masing.

    BalasHapus
  2. Sistem demokrasi model Barat yang dianut bangsa kita, lamat-lamat menunjukkan kesejatiannya yang ternyata destruktif. SEmakin banyak masyarakat yang kehilangan kepercayaannya terhadap Pemilu. Pemilu hanya jadi acara lima tahunan yang gegap gempita sesaat, lalu diacuhkan. Siapa yang masih percaya pada janji2 itu? Saya rasa, lebih banyak yang memilih "memaklumi" daripada "percaya".

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...