Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 29 Juni 2009

Menuju Madura yang Agamis-Industrialis

Menuju Madura yang Agamis-Industrialis
Oleh Tirmidzi*


Pulau Madura yang dihuni oleh sekitar 3.188.043 penduduk selalu mendapat sorotan banyak kalangan. Di samping karena Madura memiliki kekayaan yang melimpah baik SDM maupun SDA-nya, juga terdapat banyak keunikan-keunikan kultur yang jarang ditemui di daerah-daerah lainnya.
Perikanan, garam, minyak, tambang, tembakau, dan lainnya sejak dini telah menjadi lahan garapan masyarakat Madura yang terkenal ulet, berani dan pantang menyerah. Walau demikian, aktifitas materiil tidak menjadi hambatan akan kegiatan-kegiatan keagamaan masyarakat. Tahlilan, sarwaan, koloman, pengajian sampai detik ini masih sangat lekat dalam lingkungan dan tradisi mereka.
Diakui atau tidak, dalam hitungan mayoritas masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan persaudaraan yang erat, agama menjadi unsur penting sebagai identitas masyarakat, agama selalu tidak terpisahkan dari jati diri mereka. Bahkan, 'carok' bisa saja terjadi untuk membela kedua unsur tersebut. Bagai mereka, agama tak ubahnya 'bapak' sedangkan saudara seperti seorang 'ibu' yang harus selalu dijaga dan diperjuangkan.
Fakta yang sangat riil yang mencerminkan ketaatan masyarakat Madura terhadap agamanya adalah tumbuh suburnya atribut keagamaan seperti masjid, surau, langgar, madrasah, pesantren, dan semacamnya. Dalam konteks Jatim, Madura adalah pulau yang memiliki pesantren terbanyak, bahkan dikatakan bahwa 'induk' pesantren Jatim terletak di Madura atau lebih pasnya di Bangkalan.
Realitas demikian sudah menjadi budaya yang mendarah daging di pulau tanah garam tersebut. Sehingga, tidak heran ketika direncanakan akan dilaksanakan pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), para tokoh dan elit masyarakat Madura menolak secara tegas. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur. Pembangunan jembatan suramadu sudah selesai dan akan diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini. Hari ini, tanggal 10 Juni 2009 sekaligus menjadi momen bersejarah yang patut diingat oleh seluruh elemen masyarakat sebagai babak baru peradaban (new civilization) Madura, peradaban yang lebih terbuka.
Sudah jelas bahwa jembatan suramadu di samping memudahkan arus transportasi juga akan membuka ruang lebar bagi masuknya budaya-budaya luar yang bisa saja berbeda dan bahkan bertentangan dengan budaya lokal Madura. Dalam hal ini, industrialisasi akan menjadi tantangan utama yang sudah bisa diprediksikan kehadirannya mulai sekarang. Sudah bisa dibayangkan, beberapa tahun ke depan, masjid-masjid megah akan berdempetan dengan perusahaan-perusahaan yang tentunya akan jauh lebih megah, langgar dan surau pun akan dikalahkan oleh perumahan-perumahan besar yang segera dibangun, masyarakat yang biasanya ke masjid untuk berjamaah akan disibukkan dengan transaksi, serta koloman, sarwaan akan sama ramainya dengan warung-warung cangkruan, dan semacamnya.

Pergulatan Nilai
Kalau ditilik secara serius, dapat diprediksikan bahwa pasca diresmikannya jembatan suramadu, di Madura akan terjadi pergulatan akut antara agama dan budaya (lokal) dengan budaya-budaya baru termasuk industri yang akan menjadi kenyataan yang tidak terelakkan nantinya. Agama dengan spiritualitasnya akan mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai sakralnya, sedangkan industri dengan rasionalitasnya akan menyebarkan nilai-nilai profannya. Akan menjadi akut karena nilai keduanya berada dalam titik yang bersinggungan.
Konsekuensinya, masyarakat Madura dituntut untuk bisa mengasimulasikan kedua nilai tersebut. Bagaimana keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang integral dan saling menguatkan bukan bertolak belakang dan menghancurkan. Karena bagaimanapun juga, keunggulan salah satunya akan menjadi ancaman bagi yang laiinnya (the others).
Setidaknya akan ada dua kenyataan yang akan diterima oleh masyarakat Madura ketika terjadi keunggulan salah satu dari keduanya. Pertama, ketika agama menang maka akan terjadi proses 'agamaisasi' industri. Proses ini akan memberikan ruang gerak yang sempit terhadap perkembangan industri yang dicita-citakan sebagai masa depan ekonomi masyarakat. Praktek industrialisasi akan selalu terbentur dengan agama, sehingga hadirnya jembatan suramadu yang diidealkan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi Madura—yang dalam konkteks Jatim pertumbuhannya di bawah rata-rata—akan mendapat hambatan-hambatan dalam praktek riilnya.
Kedua, ketika industri unggul maka yang terjadi justru sebaliknya, yaitu proses 'industrialisasi' agama. Kemungkinan kedua ini yang sangat ditakutkan oleh masyarakat, sekaligus menjadi salah satu pertimbangan strategis para tokoh Madura sebelum jembatan suramadu dibangun. Alasannya, agama termasuk juga budaya keberagamaan yang ada di Madura dikhawatirkan sedikit demi sedikit akan terkikis oleh industrialisasi pasca jembatan suramadu rampung. Madura yang lebih dikenal sebagai masyarakat religi, penuh kekompakan dan perhitungan sangat dimungkinkan akan berubah menjadi masyarakat rasionalis, individualis, hedonis, dan semacamnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah masyarakat rela ketika terjadi pergulatan nilai yang dapat mengganggu aktivitas, stabilitas bahkan eksistensi Madura itu sendiri?, tentu jawabannya 'tidak'. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap-sikap baru dan telaah yang lebih kritis, arif dan bijaksana terhadapa fenomena-fenomena yang akan terjadi pasca peresmian jembatan suramadu. Sikap kritis dimaksudkan sebagai upaya filterisasi terhadap arus-arus baru yang segera masuk. Sedangkan arif dan bijaksana adalah bentuk sikap elastis, sehingga arus-arus baru tidak dilihat sebelah mata dan cenderung ditolak. Bagaimanapun juga, hadirnya jembatan suramadu merupakan jembatan transformasi nilai yang patut dijunjung tinggi dan diapresiasi secara positif.
Sebagai harapan, penulis sebagai penduduk asli Madura hanya bisa berharap bagaimana masyarakat bisa menjunjung nilai-nilai agama di tengah semarak praktek industrialisasi. Asimulasi nilai agama dengan industri akan menjadi 'power' yang akan mengangkat martabat masyarakat dan pulau Madura tercinta. Jadikan Madura sebagai daerah yang agamis-industrialis. Wallahu A'lamu bi al-Showab.


* Penulis adalah Alumni PP. Annuqayah,
Aktif di Pesanten IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...