Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 08 Juni 2009

Peluang Politik Perempuan

Peluang Politik Perempuan
Oleh: Tirmidzi*


Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan, Mereka juga memiliki tang¬gungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia sebagaimana kaum Adam. Tuhan mem¬berikan kepada mereka potensi-potensi dan kemam¬puan-kemampuan (al-ahliyyah) untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut.
Secara teologis, teks-teks suci telah menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas-tugas pengaturan dunia ini, baik tugas keagama¬an, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemun¬karan, di samping juga menegaskan akan adanya balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab suci al-Quran misalnya dijelaskan antara lain dalam surat: Ali Imran; 195, al-Nahl; 97, dan al-Taubah; 71. Beberapa ayat al-Qur-an tersebut menjadi dasar legi¬timasi betapa partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Partisipasi mereka men¬jangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan—juga laki-laki—untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil.
Di samping itu, sejarah kenabian mencatat se¬jum¬lah besar perempuan ikut memainkan pe¬ran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri Nabi lainnya, Fathimah (anak), Zainab (cucu), dan Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas dan turut mengisi peran politik maupun sosial kala itu.
Namun sayang, dalam perjalanan sejarah perpolitikan, partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktifitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Bahkan jauh sebelumnya, seorang filsuf ternama, Aristoteles memandang kaum perempuan sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat kemanusiaan paling rendah, sehingga mereka kembali di¬po¬jokkan di sudut-sudut rumah dan terpencil dari kera¬maian peradaban. Mereka selalu dijadikan kelompok kelas dua, di 'dapurkan' dan disingkirkan dari peran-peran strategis publik.
Ironisnya, fenomena demikian juga terjadi di negara kita, Indonesia, di mana negara ini dikatakan sebagai penganut sistem demokrasi yang hakikatnya tidak harus membedakan status 'male' dan 'female', karena keduanya termasuk dalam kategori masyarakat yang juga berhak akan kedaulatan.

Babak Baru
Dalam konteks keindonesiaan, tumbangnya orde baru merupakan babak baru sekaligus gerbang pencerahan bagi kaum perempuan. Hadirnya orde reformasi memberikan ruang khusus bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan walaupun belum terlaksana seutuhnya.
Hadirnya undang-undang yang mengatur akan keterwakilan perempuan dalam kancah perpolitikan seperti undang-undang no 1 pasal 65 ayat 1 tahun 2003, no 2 pasal 2 ayat 5 tahun 2008 dan no 2 pasal 20 tahun 2008 telah menjadi motivasi bagi kaum perempuan untuk terus berjuang untuk menghapus sejarah kelabu yang terjadi sejak masa silam. Dengan potensi yang mereka miliki, mereka berupaya mengimbangi kaum Adam yang selalu menjadi kelompok mayoritas.
Riilnya, segala upaya yang mereka lakukan tidaklah sia-sia. Sebagai mana kita lihat bahwa keterwakilan perempuan dalam kancah politik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam konteks Jatim misalnya, pada tahun 1999 kaum perempuan yang duduk di parlemen hanya diwakili 11 orang, kemudian meningkat menjadi 16 orang pada tahun 2004, dan sangat mengagumkan pada pemilihan calon legislatif preode 2009-2014 wakil perempuan Jatim mencapai lebih dari 20%. Bahkan Hj. Istibsyaroh yang menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meraup suara terbanyak walaupun tanpa kampanye dan tim sukses.
Hal itu menunjukkan bahwa saat ini kaum perempuan memiliki peluang besar untuk mengembalikan fitrah mereka yang tercampakkan. Kalau mengacu pada realitas masa kini, ada dua faktor penting yang menyebabkan terbukanya peluang besar bagi mereka. Pertama, karakter pribadi. Secara psikologis, perempuan lebih mengedepankan perasaan dari pada rasionalitas, sehingga dalam prakteknya mereka lebih peka terhadap fenomena yang terjadi dan lebih elegan dalam menyikapinya. Sifat-sifat kelembutan yang melekat memberikan ruang tersendiri di hati masyarakat untuk memilih mereka. Pun juga, sifat demikian bisa dijadikan bekal untuk membangun pemerintahan masa depan yang lebih arif, sopan, elastis, bijaksana, dan penuh dengan kelembutan bukan penuh arogansi.
Ke dua, faktor sosial-politik. Telah menjadi kenyataan bahwa kuantitas perempuan lebih tinggi di mana kualitasnya pun tidak jauh berbeda dengan kaum Adam. Di samping itu, pemerintahan yang selama ini dipimpin oleh mayoritas kaum Adam belum sepenuhnya berhasil untuk tidak mengatakan gagal. Bahkan, para pelaku tindakan amoral seperti korupsi dan kolusi sampai saat ini masih didominasi oleh kaum Adam sebagaimana terjadi di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Jember dan lainnya.
Kedua faktor tersebut diharapkan menjadi motivasi bagi para perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah politik dan tidak melulu berkutat dalam tugas-tugas domistik. Kuota 30% yang dialokasikan tidak dipandang secara a priori tapi harus diapresiasi secara positif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering kali termarjinalkan. Namun yang harus menjadi catatan kaum perempuan yang telah terpilih jangan sampai terjebak dalam jurang kenistaan sebagaimana banyak dipraktekkan oleh kaum Adam. Selamat berjuang, merdekakan kaum perempauan.



*Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...