Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 29 Juni 2009

Diskursus Politik Kaum Intelektual

Diskursus Politik Kaum Intelektual
Oleh: Tirmidzi*

Diskursus peran dan kiprah kaum intelektual dalam politik di Negara ini sungguh sangat menarik. Sejarah mencatat bahwa tumbangnya rezim orde baru tidak dapat dipisahkan dari peran aktif elemen kampus yang merupakan basis kaum intelektual. Franz Magnis Suseno pernah menyatakan bahwa kaum intelektual Negara kita memiliki kedudukan istimewa dibanding negara-negara lain, termasuk kiprahnya dalam pentas politik.
Hadirnya era reformasi dan semakin kuatnya sistem demokrasi yang di anut oleh Negara kita telah memberikan ruang gerak yang amat luas bagi kaum intelektual untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan, baik lokal, regional, nasional, bahkan pentas internasional. Di samping juga, kondisi buruk yang terus mewarnai kehidupan bangsa dan Negara Indonesia juga menajdi motivasi kuat bagi mereka untuk turun langsung dan masuk dalam sistem yang ada.
Sebagai gambaran konkrit, kiranya masih lekat dalam ingatan kita fenomina pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 kemaren. Menariknya, dalam pilpres tersebut diramaikan oleh maraknya kaum intelektual di balik capres-cawapres. Sebagian mereka ada yang secara terang-terangan mendukung capres tertentu tapi ada pula yang 'malu-malu kucing'. Mereka juga turut menghiasi media massa dengan berbagai tulisan, analisis, ulasan politik, dan semacamnya.
Sejumlah nama intelektual kita tercantum sebagai tim sukses dan tim kampanye masing-masing kandidat. Di kubu SBY-JK ada Marwan Mas, Musa Asy'ari, Andi Malarangeng, Denny JA. Di kubu Amien-Siswono ada Bambang Soedibyo, Dien Syamsuddin, Abdul Munir Mulkhan, Yahya Muhaimin Rizal Sukma. Sedangkan di kubu Mega-Hasyim turut berpartisipasi KH. Said Aqil, Sonny Keraf, dan Hermawan Sulistiyo. Di kubu Wiranto-Wahid ada Alwi Shihab, As. Hakim, Happy Bone Zulkarnaen, Mahfud MD, dan Umar Juoro. Terakhir di kubu Hamzah-Agum ada M. Yusuf Yosfiah, Endin J. Soefihara, Qomari Anwar Laode M. Kamaluddin, dan sebagainya.
Perseturuan kaum intelektual dengan politik sebagaimana fenomena tahun 2004 berulang pada tahun ini. Ajang pilpres 2009 yang tinggal beberapa hari lagi turut menayajikan realitas betapa dinamisnya kaum intelektual negeri ini. Banyak intelektual yang selama ini berkarya—dengan predikat sebagai pengamat, penulis dan advocator misalnya—ternyata memutuskan untuk memperkuat kubu salah satu kandidat capres-cawapres yang akan berkompetisi 8 Juli mendatang.
Seperti tahun 2004, sejumlah nama intelektual sudah mulai bermunculan di balik pasangan calon. Di balik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ada Bima Aria Sugiarto Direktur Charta Politica, Andi Mallarangeng, Denny JA. pemimpin Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan beberapa kaum intelek dari partai politik yang menjadi mitra koalisi SBY-Berboedi. Dari kubu Jusuf Kalla-Wiranto, terdapat nama Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef), Ahmad Erani Yustika, Fadhil Hasan yang juga pernah menjabat komandan Indef, J. Kristiadi, dan beberapa tokoh dari simpatisan parpol seperti PAN dan PPP yang merapat ke kubu ini. Sedangkan dari kubu Megawati-Prabowo Subianto telah bergabung dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Imam Sugema, intelektual muda Zuhairi dan Fadli Zon, dan ada juga yang menyebutkan pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali, juga telah memosisikan sebagai dewan konsultan tak resmi pasangan yang bernomor urut satu ini.

Pertarungan Idealisme
Dari realitas di muka, maka sudah jelas bahwa kaum intelektual memiliki andil besar dalam ranah perpolitikan Negara ini. Persoalannya kemudian, apakah para intelektual tersebut nantinya akan bisa mengemban misi intelektualnya yang adiluhung yaitu penyelamatan manusia (the salvation of man)?, atau justeru sebaliknya seperti yang disinyalir oleh Daniel Dhakide, bahwa para masa pemerintahan orde baru kaum intelektual sebagian menjadi ‘alat produksi’ kebenaran yang berfungsi melestarikan dan melanggengkan kekuasaan sang rezim?.
Pertanyaan demikian patut dikedepankan mengingat bahwa ketika kaum intelektual ikut berpartisipasi dalam politik praktis akan terjadi pertarungan idealisme, idealisme intelektualitas dan idealisme politik. Sebagai intelektual, idealnya mereka lebih mengedepankan proses transformasi ilmu untuk mengubah kondisi sosial, budaya, politik, maupun pemerintahan, di samping juga sikap otonom dan independen harus melekat dalam diri mereka. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai politisi, mereka akan lebih terikat, tidak otonom, dan tidak independen serta secara ‘terpaksa’ mereka harus tunduk pada sistem dan faham poltik yang dianutnya. Intelektualitas yang mereka miliki akan mendapat ruang sempit, bahkan ketika bersinggungan dengan sistem atau struktur politiknya maka ada social effect dan political effect yang harus ditanggung.
Dengan demikian, kita hanya bisa berharap bagaimana para intelektual yang sudah terjun langsung ke dalam politik praktis agar bisa menyikapi dirinya sendiri secara arif dan bijak. Benih-benih intelektualitas yang mereka miliki tidak pupus ketika mereka telah berhadapan langsung dengan dinamika politik yang saat ini dipandang cenderung kotor, profan dan manipulatif. Akan tetapi bagaimana kehadiran mereka dalam ranah politik dapat menggulirkan ide-ide reformasi di setiap lini kehidupan, yang benar katakana benar dan yang salah dikatakan salah. Dalam hal ini, Edward W. Said melansir posisi intelektual adalah sebagai penyampai bahasa atau suara masyarakat kepada pemerintah walaupun pahit, pedas dan beresiko tinggi. Michel Foucault lewat karyanya power/knowledge juga menyatakan bahwa intelektual yang politis adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan pengetahuan, kompetensi, dan relasinya dengan kebenaran dalam lapangan perjuangan politis.
Bukan justru sebaliknya, mereka tenggelam dan menjadi kaki tangan politi atau budak-budak kekuasaan (servants of power) rezim tertentu, sehingga mereka termasuk kategori intelektual sebagaimana yang dinyatakan oleh Julien Benda yang disebut dengan La Trahison des Clercs, yaitu renungan tentang penghianatan kaum intelektual. Artinya, kaum intelektual yang masuk dalam sistem politik dan akhirnya tunduk dan tidak otonom diklaim sebagai intlektual yang berhianat pada jati dirinya sendiri. Benda memandang secara ideal normatif bahwa tanggung jawab intelektual adalah pekerja mintal. Mereka tidak harus terlibat dalam kerja-kerja praksis yang cenderung materialistik.
Sebagai penegasan akhir, Antonio Gramsci dalam The Prison Notebooks menyatakan: all men are intellectuals, but not all men in society the function of intellectuals. Dari itu, fungsi intelektualitas sebagai sesuatu yang istimewa harus dapat difungsikan pada tempat yang semestinya, baik dalam ranah politik, sosial, budaya, dan agama. Klimaksnya, bagaimana dengan intelektual kita yang aktif di panggung politik?, sepertinya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.


*Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Menatap Masa Depan Perekonomian Madura

Menatap Masa Depan Perekonomian Madura
Oleh Tirmidzi*


Di satu sisi, rampungnya Jembatan Suramadu memberikan harapan yang sangat besar bagi terciptanya perekonomian yang lebih mapan di masa depan bagi masyarakat Madura secara umum, tapi sekaligus menjadi ‘gerbang’ kegelisahan masyarakat Madura di sisi yang berbeda.
Kekayaan alam seperti tambang, tembakau, garam, perikanan dan lainnya akan dengan mudah dicarikan ‘terobosan’ baru di daerah luar yang tentunya lebih menguntungkan dan dapat mengangkat perekonomian masyarakat Madura yang sampai saat ini berada di tepi jurang keterpurukan. Namun juga yang patut diingat bahwa Suramadu bisa menjadi lintasan proses hegemoni ekonomi asing yang akan merongrong perekonomian masyarakat (baca: perekonomian lokal). Dalam telaah perekonomian mikro, sukses tidaknya perekonomian sangat bergantung pada kualitas sumberdaya manusianya. Artinya, ketika SDM-nya bisa mengelola secara baik maka cita-cita yang diimpikan akan mudah dicapai tapi sebaliknya ketika mereka bersikap ‘emoh’ dan tidak peduli maka perekonomian masyarakat akan tetap pada posisi semula: la yahya wa la yamutu.
Oleh karena itu, kiranya sangat urgen untuk mengadakan persiapan SDM sejak dini untuk menyambut hadirnya arus industrialisasi di pulau tanah garam tersebut. Jika tidak maka besar kemungkinan masyarakat Madura akan menjadi ‘budak’ di daerah sendiri. Patut disadari sejak awal bahwa kekayaan Madura sudah dilirik oleh orang luar termasuk luar negeri sekalipun. Pertambangan minyak yang terletak di Pagerungan Sumenep, misalnya, telah didaftar oleh ratusan investor asing, termasuk Australia yang mendaftar sejak isu dibangunnya Jembatan penghubung Surabaya-Madura. Begitu juga, lahan yang terdapat di pinggir-pinggir jalan kota Sumenep, sampai saat ini sudah mencapai 40% adalah milik orang luar Madura.
Fenomena demikian tidak akan hanya berkutat di Sumenep an sich, akan tetapi lambat laun bisa menjalar ke daerah-daerah lain seperti Pamekasan, Sampang, lebih-lebih Bangkalan yang merupakan ‘serambi belakang’ kota Surabaya. Wildani Hefni menjelaskan bahwa sudah beberapa lahan yang terletak di Kecamatan Buneh, Bangkalan, yang merupakan pintu utama Suramadu, telah dibeli oleh para investor asing. (Kompas Jatim, 11/06/09).
Dengan fakta tersebut, rampungnya dan peresmian Suramadu sebagai Jembatan penghubung Madura dengan daerah luar meniscayakan adanya new commitment dari berbagai kalangan masyarakat untuk menelaah lebih jauh akan konsepsi perekonomian yang selama ini dianut oleh mayoritas masyarakat Madura. Sudah barang tentu, telaah ini sebagai langkah awal untuk menatap masa depan perekonomian masyarakat yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Kalau ditilik secara seksama, konsep perekonomian yang dianut oleh mayoritas masyarakat adalah perekonomian pasif. Artinya, peran masyarakat dalam proses ekonomi sangatlah kecil. Bahkan bisa dikatakan bahwa secara struktural mereka sangat bergantung pada ‘atasan’ yang dipegang oleh kelas elit, pemilik modal. Semua kebijakan bisa saja berubah dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat bawah, bahkan terkadang merugikan mereka dalam skala besar.
Kita ambil beberapa contoh, seni ukir yang terletak di desa Karduluk, Sumenep, para pekerjanya sering kali harus menerima kekecewaan karena harga bahan mentahnya—dalam hal ini kayu, jati utamanya—tidak sesuai dengan nilai jualnya, masih ditambah dengan harga peralatan yang juga kian melambung. Demikian juga para nelayan (tokang pajeng), misalnya yang terjadi di desa Lobuk-Sumenep, Bandaran-Pamekasan, Ketapang-Sampang, dan Omben bagian utara-Bangkalan, sampai saat ini penjualan ikan masih bergantung pada harga pasar yang justru sering tidak setabil. Bahkan, tembakau yang merupakan tanaman ‘impian’ masyarakat Madura harganya sering kali dipermainkan oleh pihak atas baik pemerintah, pihak gudang, maupun juragan dan bandol, sedangkan masyarakat seakan hanya menjadi penanam yang siap dirugikan.
Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam proses pembangunan perekonomiannya sendiri. Kebergantungan yang sangat besar terhadap pemilik modal menjadikan masyarakat bersikap tong-ontongan (untung-untungan) dalam pemapanan ekonomi. Pola fikir atau sikap tong-ontongan demikian akan menjadi dilema tersendiri ketika Madura menjadi masyarakat industri. Mereka akan kehilangan daya kompetetif dan cenderung pasrah di tengah semarak industrialisasi, dan akhirnya sistem perekonomian mereka dengan mudah digerogoti kekuatan asing yang sudah barang tentu lebih mengedepankan keuntungan pribadi dari pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat secara umum. Tuan menjadi ‘budak’ di istana sendiri.
Untuk langkah antisipatif, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa persiapan sumber daya manusia sejak dini menjadi sebuah kewajiban yang tidak boleh ditunda. Dalam hal ini, lembaga sosial, agama, pemerintah, dan utamanya pendidikan menjadi institusi strategis sebagai media pencerdasan masyarakat untuk menyambut ‘era baru’ pasca pengoprasian Jembatan Suramadu. Institusi-institusi tersebut diharapkan bisa berperan aktif dalam proses kaderisasi masyarakat.
Dalam ranah ini, penulis melihat lembaga pendidikan, baik tingkat menengah maupun tingkat tinggi, menjadi media yang paling dominan sesuai dengan fungsi dan orientasinya sebagai agent of knowledge, agent of social control, dan agent of change. STIKA, Wiraraja, STKIP, Unira, STAIN, Unijoyo, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal lainnya yang ada di Madura secara de fakto harus disadari memiliki tanggung jawab yang sama dan bersama dalam proses tersebut. Yang namanya proses tentunya memerlukan langkah-langkah praktis-strategis yang bisa saja formatnya berbeda bergantung pada kebutuhan riil daerah masing-masing.
Fungsi yang pertama meniscayakan adanya pemikiran kreatif untuk menghasilkan formulasi keilmuan yang utuh, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi masyarakat. Sedangkan yang kedua dan yang ketiga merupakan bentuk implementasi dari yang pertama, yaitu berupa upaya-upaya praktis seperti pendampingan, advokasi, training, dan controling masyarakat setempat yang pada klimaksnya dapat menciptakan kesadaran masyarakat dan pola fikir yang leibh aktif dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. Sebagai catatan, di zaman modern ini sangatlah naif ketika teknologi tidak dijadikan alat penunjang untuk mewujudkan perekonomian masyarakat di masa depan.


*Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Menuju Madura yang Agamis-Industrialis

Menuju Madura yang Agamis-Industrialis
Oleh Tirmidzi*


Pulau Madura yang dihuni oleh sekitar 3.188.043 penduduk selalu mendapat sorotan banyak kalangan. Di samping karena Madura memiliki kekayaan yang melimpah baik SDM maupun SDA-nya, juga terdapat banyak keunikan-keunikan kultur yang jarang ditemui di daerah-daerah lainnya.
Perikanan, garam, minyak, tambang, tembakau, dan lainnya sejak dini telah menjadi lahan garapan masyarakat Madura yang terkenal ulet, berani dan pantang menyerah. Walau demikian, aktifitas materiil tidak menjadi hambatan akan kegiatan-kegiatan keagamaan masyarakat. Tahlilan, sarwaan, koloman, pengajian sampai detik ini masih sangat lekat dalam lingkungan dan tradisi mereka.
Diakui atau tidak, dalam hitungan mayoritas masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan persaudaraan yang erat, agama menjadi unsur penting sebagai identitas masyarakat, agama selalu tidak terpisahkan dari jati diri mereka. Bahkan, 'carok' bisa saja terjadi untuk membela kedua unsur tersebut. Bagai mereka, agama tak ubahnya 'bapak' sedangkan saudara seperti seorang 'ibu' yang harus selalu dijaga dan diperjuangkan.
Fakta yang sangat riil yang mencerminkan ketaatan masyarakat Madura terhadap agamanya adalah tumbuh suburnya atribut keagamaan seperti masjid, surau, langgar, madrasah, pesantren, dan semacamnya. Dalam konteks Jatim, Madura adalah pulau yang memiliki pesantren terbanyak, bahkan dikatakan bahwa 'induk' pesantren Jatim terletak di Madura atau lebih pasnya di Bangkalan.
Realitas demikian sudah menjadi budaya yang mendarah daging di pulau tanah garam tersebut. Sehingga, tidak heran ketika direncanakan akan dilaksanakan pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), para tokoh dan elit masyarakat Madura menolak secara tegas. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur. Pembangunan jembatan suramadu sudah selesai dan akan diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini. Hari ini, tanggal 10 Juni 2009 sekaligus menjadi momen bersejarah yang patut diingat oleh seluruh elemen masyarakat sebagai babak baru peradaban (new civilization) Madura, peradaban yang lebih terbuka.
Sudah jelas bahwa jembatan suramadu di samping memudahkan arus transportasi juga akan membuka ruang lebar bagi masuknya budaya-budaya luar yang bisa saja berbeda dan bahkan bertentangan dengan budaya lokal Madura. Dalam hal ini, industrialisasi akan menjadi tantangan utama yang sudah bisa diprediksikan kehadirannya mulai sekarang. Sudah bisa dibayangkan, beberapa tahun ke depan, masjid-masjid megah akan berdempetan dengan perusahaan-perusahaan yang tentunya akan jauh lebih megah, langgar dan surau pun akan dikalahkan oleh perumahan-perumahan besar yang segera dibangun, masyarakat yang biasanya ke masjid untuk berjamaah akan disibukkan dengan transaksi, serta koloman, sarwaan akan sama ramainya dengan warung-warung cangkruan, dan semacamnya.

Pergulatan Nilai
Kalau ditilik secara serius, dapat diprediksikan bahwa pasca diresmikannya jembatan suramadu, di Madura akan terjadi pergulatan akut antara agama dan budaya (lokal) dengan budaya-budaya baru termasuk industri yang akan menjadi kenyataan yang tidak terelakkan nantinya. Agama dengan spiritualitasnya akan mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai sakralnya, sedangkan industri dengan rasionalitasnya akan menyebarkan nilai-nilai profannya. Akan menjadi akut karena nilai keduanya berada dalam titik yang bersinggungan.
Konsekuensinya, masyarakat Madura dituntut untuk bisa mengasimulasikan kedua nilai tersebut. Bagaimana keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang integral dan saling menguatkan bukan bertolak belakang dan menghancurkan. Karena bagaimanapun juga, keunggulan salah satunya akan menjadi ancaman bagi yang laiinnya (the others).
Setidaknya akan ada dua kenyataan yang akan diterima oleh masyarakat Madura ketika terjadi keunggulan salah satu dari keduanya. Pertama, ketika agama menang maka akan terjadi proses 'agamaisasi' industri. Proses ini akan memberikan ruang gerak yang sempit terhadap perkembangan industri yang dicita-citakan sebagai masa depan ekonomi masyarakat. Praktek industrialisasi akan selalu terbentur dengan agama, sehingga hadirnya jembatan suramadu yang diidealkan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi Madura—yang dalam konkteks Jatim pertumbuhannya di bawah rata-rata—akan mendapat hambatan-hambatan dalam praktek riilnya.
Kedua, ketika industri unggul maka yang terjadi justru sebaliknya, yaitu proses 'industrialisasi' agama. Kemungkinan kedua ini yang sangat ditakutkan oleh masyarakat, sekaligus menjadi salah satu pertimbangan strategis para tokoh Madura sebelum jembatan suramadu dibangun. Alasannya, agama termasuk juga budaya keberagamaan yang ada di Madura dikhawatirkan sedikit demi sedikit akan terkikis oleh industrialisasi pasca jembatan suramadu rampung. Madura yang lebih dikenal sebagai masyarakat religi, penuh kekompakan dan perhitungan sangat dimungkinkan akan berubah menjadi masyarakat rasionalis, individualis, hedonis, dan semacamnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah masyarakat rela ketika terjadi pergulatan nilai yang dapat mengganggu aktivitas, stabilitas bahkan eksistensi Madura itu sendiri?, tentu jawabannya 'tidak'. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap-sikap baru dan telaah yang lebih kritis, arif dan bijaksana terhadapa fenomena-fenomena yang akan terjadi pasca peresmian jembatan suramadu. Sikap kritis dimaksudkan sebagai upaya filterisasi terhadap arus-arus baru yang segera masuk. Sedangkan arif dan bijaksana adalah bentuk sikap elastis, sehingga arus-arus baru tidak dilihat sebelah mata dan cenderung ditolak. Bagaimanapun juga, hadirnya jembatan suramadu merupakan jembatan transformasi nilai yang patut dijunjung tinggi dan diapresiasi secara positif.
Sebagai harapan, penulis sebagai penduduk asli Madura hanya bisa berharap bagaimana masyarakat bisa menjunjung nilai-nilai agama di tengah semarak praktek industrialisasi. Asimulasi nilai agama dengan industri akan menjadi 'power' yang akan mengangkat martabat masyarakat dan pulau Madura tercinta. Jadikan Madura sebagai daerah yang agamis-industrialis. Wallahu A'lamu bi al-Showab.


* Penulis adalah Alumni PP. Annuqayah,
Aktif di Pesanten IAIN Sunan Ampel Surabaya

Senin, 08 Juni 2009

Janji-Janji (Manis) Capres-Cawapres

Janji-Janji (Manis) Capres-Cawapres
Oleh: Tirmidzi*


Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kini memasuki dunia pertandingan (competition world) yang sangat akut. Masing-masing kandidat mulai mengobral janji-janji untuk memerkenalkan dirinya sekaligus menarik simpati masyarakat, baik dalam aspek budaya, politik, pemerintahan, lebih-lebih aspek ekonomi. Embel-embel pemapanan ekonomi sepertinya menjadi tema sentral dalam detik-detik kampanye yang telah digelar 2 Juni kemaren.
Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) memilih perbaikan sektor riil yang 'lebih cepat lebih baik'. Pasangan yang selalu pertama ini menegaskan tidak akan menggantungkan system perekonomian negara pada pasar modal an sich. Hal itu disebabkan hajat hidup bansa Indonesia justru sangat bergantung pada keberlangsungan sektor riil. Capres-cawapres yang diusung partai Golkar dan Hanura ini pun berjanji akan memperbaiki perekonomian Indonesia dengan target capaian 8% mulai tahun 2011 mendatang.
Berbeda dengan yang pertama, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Berboedi) mengemukakan agenda pembangunan ekonomi untuk semua. Pasangan ini tidak memfokuskan pada satu sektor saja dengan alasan karena Indonesia masih dipengaruhi buruknya perekonomian dunia dan masih dalam tahap pemulihan ekonomi pasca resesi ekonomi global. Dengan slogan 'lanjutkan', pasangan ini pun jika terpilih menjanjikan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% pada akhir 2014.
Sedangkan pasangan Megawati-Prabowo (Mega-Pro) sangat menitikberatkan pada agenda ekonomi kerakyatan. Dengan tegas pasangan ini menyatakan akan melakukan perubahan system ekonomi yang ada yang lebih didominasi oleh orang asing menjadi system ekonomi yang lebih menomorsatukan kepentingan rakyat kecil dan bangsa Indonesia secara umum. Bahkan di kesempatan yang berbeda, Prabowo pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi hingga 10% dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Kalau kita perhatikan, semua janji-janji yang dilontarkan oleh masing-masing kandidat memiliki orientasi yang sama yaitu menekankan pertumbunhan ekonomi di masa depan menuju perekonomian yang lebih mapan, berkembang dan lebih maju, hanya saja kapasitas dan pemakaian redaksi teksnya berbeda.

Janji sebagai Identitas
Dalam khazanah ilmu filsafat, masalah perbedaan redaksi tutur kata—sebagaimana janji-janji para kandidat—mendapat perhatian khusus dari para philosopher, khususnya penganut logosentrisme, karena perbedaan kata memiliki signifikansi yang mempengaruhi substansi makna, sehingga muncullah istilah 'difference'. Istilah difference sendiri kali pertama diperkenalkan oleh Derrida (1930-2004) dalam ceramahnya di depan Societe Francaise de Philosophie pada 27 Januari 1968. Menurutnya, difference bukanlah substansi atau esensi yang memiliki tempat (lieu), akan tetapi lebih cenderung pada strategi tekstual yang bisa saja ambigu dan berwajah dua.
Walau demikian, di sisi yang berbeda difference tidak selalu mengisyaratkan hierarki yang mengunggulkan antara satu kelompok dengan kelompok lain atau oposisi yang meniadakan satu kelompok dan menghadirkan kelompok lain, serta bukan melulu strategi yang selalu menipu dan berwajah ganda karena selalu ada kategori ketiga yang memungkinkan kedua kategori tersebut tetap seperti sediakala, masing-masing kata dibangun di atas signification dalam kapasitasnya sendiri.
Dengan dua asumsi tersebut diketahui bahwa difference hanyalah sebagai identitas untuk menandakan sesuatu yang memiliki banyak kemungkinan-kemungkina. Sebagai identitas, meminjam bahasa Nietzsche, difference adalah sesuatu yang fallible yakni dapat dibenarkan, dipersalahkan, diuji, dikritik, dan dibenturkan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin tidak terbayangkan atau tampak paradoksal dan bahkan tidak masuk akal. Falibilitas memberikan ruang bagi khalayak umum untuk membaca dan merenungkan segala sesuatu termasuk janji-janji para kandidat yang sangat variatif tersebut.
Ketika janji-janji diasumsikan sebagai identitas, setidaknya ada dua kemungkinan yang harus menjadi bahan bacaan publik, apakah janji dimaksud sebagai strategi atau substansi. Pertama, identitas sebagai strategi. Sebagai strategi, janji-janji hanya dibangun untuk memengaruhi massa, sangat temporal dan tidak akan ada kesesuaian antara res cogitans (pikiran/ide) dengan res extansa (realitas) nantinya.
Identitas ini menjadi nyata dalam konteks keindonesiaan ketika melihat bahwa janji-janji sebagaimana diobralkan oleh para kandidat kita hanya hadir di setiap momen-momen penting semisal pemilihan calon legeslatif dan calon presiden. Di samping juga, janji-janji demikian hanya menjadi harapan dan tidak dapat ditransformasikan dalam tindakan nyata, sehingga janji hanya ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya.
Kedua, identitas sebagai system nilai. Berbeda dari yang pertama, janji-janji dalam hal ini dibangun atas nama keadilan, kejujuran, kecakapan, dan target-target yang terarah dan riil. Identitas ini lebih mengedepankan substansi daripada kulit luarnya, tidak terlalu muluk dan lebih memperhatikan suara mayaoritas.
Kedua item bacaan di muka semoga dapat menjadi bekal bagi masyarakat kita di mana saat ini sudah mulai dicekoki dengan janji-janji atau identitas-identitas para kandidat yang akan bersaing dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Negara Indonesia preode 2009-2014 pada 9 Juli mendatang, sehingga mereka tidak memilih capres-cawapres berdasar pada identitas-identitas palsu serta janji-janji manis yang semu. Akan tetapi, lebih dari itu memilih karena hati nurani dan berdasar pada identitas yang sarat dengan substansi. Tentunya harapan demikian akan tercapai ketika masyarakat lebih peka dan lebih teliti dalam menilai ketiga kandidat yang akan segera bertanding. Wallahu a’lamu bi al-showab.



*Penulis Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Buku dan Pesan Perdamaian

Buku dan Pesan Perdamaian
Oleh: Tirmidzi*


Menjadi kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa Negara Indonesia termasuk Negara majemuk yang sarat dengan perbedeaan di samping juga persamaan. Namun demikian, perbedaan yang idealnya merupakan potensi besar (rahmatan) untuk membangun Negara ‘masa depan’ sering kali dijadikan sebagai alat pemicu konflik antar sesama.
Disadari atau tidak, Indonesia masih memendam potensi konflik yang luar biasa. Di samping karena fakta bahwa Indonesia dihuni oleh beragam agama, etnik, dan budaya, juga karena gesekan politik yang sangat kuat yang juga turut memicu meningkatnya eskalasi konflik. Hal demikian tampak dengan masih terus berulangnya konflik, baik konflik antar agama maupun di intern umat beragama itu sendiri. Belum lagi ketegangan yang terjadi antara agama ‘resmi’ dengan agama ‘adat’, konflik antara pemerintah dan masyarakat akar rumput, dan lain sebagainya. Artinya, beragam model konflik, baik vertikal (antara warga negara dan pemerintah) maupun horizontal (sesama warga negara) terus saja terjadi dan seolah tidak ada tanda-tanda untuk berakhir.
Fakta demikian menjadi salah satu motivasi bagi beberapa tokoh dan pemikir Negara ini untuk menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Buku ‘Demi Toleransi, Demi Pluralisme’ yang diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2007 kemaren berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, petinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lainnya. Buku tersebut ditulis khusus oleh teman-teman dan murid Prof. Dr. Dawam Rahardjo sekaligus sebagai hadiah ulang tahun kepada beliau yang ke 65 tahun pada 20 April 2007 yang lalu.
Di tahun yang sama, terbit pula buku yang ditulis oleh salah satu tokoh intelektual muda, Zuhairi Misrawi, yang berjudul ‘Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme’. Buku itu ditulis sebagai upaya mencari landasan teologis, sosial maupun historis bagi terwujudnya perdamaian dunia, karena menurut penulis buku tersebut dewasa ini benih-benih intoleransi sudah mulai mengakar tidak hanya dalam tataran teologis tetapi sudah menjadi tindakan praksis banyak kalangan.
Buku yang dipengantari oleh dua tokoh ternama, Abdurrahman Wahid dan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan, baik tokoh agama, cendekiawan dan tokoh ahli lainnya, seperti KH. Husein Muhammad selaku tokoh agama dan penulis buku ‘Fikih Perempuan’, Dr. Nur Rofi’ah salah satu tokoh tafsir dan ilmu al-Quran, Abdul Basit yang menjabat sebagai amir nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Moeslim Abdurrahman seorang cendekiawan muslim ternama, Ahmad Baso anggota Komnas HAM, dan tokoh-tokoh lainnya.
Baru setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 29 April 2008, pengurus Pusat Lakpesdam NU mengadakan launching buku ‘Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari Berbagai Konflik Sosial’. Buku yang ditulis oleh Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, Muhammad Maksum, Irsyad Zamjani, dan Muhtadin AR itu merupakan salah satu produk kerja-kerja sosial PP Lakpesdam NU dalam mengupayakan perdamaian. Buku tersebut dijadikan media untuk berbagi pengalaman dalam memprakarsai perdamaian yang dilakukan oleh PP Lakpesdam NU. Insiatif demikian dimulai dari kegiatan riset lapangan di 12 kabupaten (4 kabupaten di Jawa Barat, 4 kabupaten di Sulawesi Selatan, dan 4 kabupaten di Nusa Tenggara Barat). Oleh karena itu, buku tersebut menjadikan tiga provinsi itu sebagai setting dan studi kasus konflik-konflik yang terjadi. Belajar dari pengalaman di beberapa daerah itulah, dengan gaya penulisan yang menarik buku tersebut hendak menyampaikan pesan-pesan perdamaian terkait dengan wilayah masing-masing.
Di samping tiga buku tersebut juga banyak karya-karya lain baik yang telah dipublikasikan maupun tidak terkait dengan penyemaian perdamaian di bumi pertiwi bahkan di jagad raya ini. Namun, setidaknya tiga buku monumental tersebut dapat mewakili—walaupun tidak komprehensif—untuk mewujudkan cita-cita yang diidamkan masyarakat selama ini.

Buku Sebagai Refleksi Perdamaian
Banyaknya buku-buku yang ditulis secara khusus tentang perdamaian oleh banyak orang dari berbagai kalangan telah cukup membuktikan bahwa perwujudan perdamian betul-betul menjadi harapan sekarang dan di masa depan. Sehingga mereka terus berusaha untuk mewujudkan perdamaian dalam semua level kehidupan dengan berbagai macam cara, mulai dari diskusi dalam forum-forum, gerakan sosial, organisasi keagamaan, dan termasuk juga dengan menorehkan pemikiran brilian tentang perdamaian dalam sebuah karya misalnya melalui penerbitan buku sebagaimana telah disebutkan.
Di zaman modern seperti sekarang, sebuah karya (teks/buku) menjadi salah satu media menarik untuk dijadikan sebagai refleksi perdamaian yang digandrungi banyak orang karena buku dapat disebarkan dengan mudah dan fleksibel. Di samping itu pula, sebuah buku dapat menjadi ‘dunia bebas’ bagi penulisnya untuk mengeluarkan semua pikirannya tanpa terkecuali, kalau meminjam bahasa Derrida teks sebagai pembebasan logika.
Dengan karya-karya demikian, pembaca di manapun berada bisa memahami secara komprehensif pemikiran-pemikiran tokoh yang kemudian dapat dijadikan lendasan praksis di lapangan dalam rangka membuat realitas baru, realitas yang lebih damai, toleran, arif, dan lebih bijaksana. Salah satu filusuf ternama, Jaques Lacan, pernah menyatakan bahwa ‘proses pembentukan realitas dalam masyarakat tidak bisa dipisahkan dari warisan simbolik semisal mitos, cerita, tabu, bahasa, termasuk juga teks’. Cala Ibi juga menyatakan: maknailah, meski hanya sebuah kata sederhana, kelak kau akan tahu betapa makna bisa bermula dari hanya sebuah kata, sebuah huruf.
Bertolak dari persepsi demikian, jelas bahwa buku-buku perdamian sangat dibutuhkan di tengah kondisi umat yang semakin bercerai-berai seperti sekarang ini. Penerbitan buku-buku semacam itu menjadi kebutuhan primer dalam rangka mencari titik persatuan dan kesatuan umat. Namun perlu dicatat, jangan sampai penerbitan buku demikian hanya bersifat temporal, bergantung pada waktu dan kondisi tertentu, dan berorientasi finansial (financial oriented) an sich dengan menjadikan momen desintegrasi umat sebagai kesempatan untuk meraup royalty dari penerbitan buku. Akan tetapi lebih dari itu, diharapkan kehadiran buku-buku perdamaian bersifat kontinu dan berlandaskan pada hati nurani sebagai refleksi perwujudan perdamaian sejagad.



*Peminat Buku, Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Peluang Politik Perempuan

Peluang Politik Perempuan
Oleh: Tirmidzi*


Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan, Mereka juga memiliki tang¬gungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia sebagaimana kaum Adam. Tuhan mem¬berikan kepada mereka potensi-potensi dan kemam¬puan-kemampuan (al-ahliyyah) untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut.
Secara teologis, teks-teks suci telah menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas-tugas pengaturan dunia ini, baik tugas keagama¬an, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemun¬karan, di samping juga menegaskan akan adanya balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab suci al-Quran misalnya dijelaskan antara lain dalam surat: Ali Imran; 195, al-Nahl; 97, dan al-Taubah; 71. Beberapa ayat al-Qur-an tersebut menjadi dasar legi¬timasi betapa partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Partisipasi mereka men¬jangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan—juga laki-laki—untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil.
Di samping itu, sejarah kenabian mencatat se¬jum¬lah besar perempuan ikut memainkan pe¬ran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri Nabi lainnya, Fathimah (anak), Zainab (cucu), dan Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas dan turut mengisi peran politik maupun sosial kala itu.
Namun sayang, dalam perjalanan sejarah perpolitikan, partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktifitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Bahkan jauh sebelumnya, seorang filsuf ternama, Aristoteles memandang kaum perempuan sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat kemanusiaan paling rendah, sehingga mereka kembali di¬po¬jokkan di sudut-sudut rumah dan terpencil dari kera¬maian peradaban. Mereka selalu dijadikan kelompok kelas dua, di 'dapurkan' dan disingkirkan dari peran-peran strategis publik.
Ironisnya, fenomena demikian juga terjadi di negara kita, Indonesia, di mana negara ini dikatakan sebagai penganut sistem demokrasi yang hakikatnya tidak harus membedakan status 'male' dan 'female', karena keduanya termasuk dalam kategori masyarakat yang juga berhak akan kedaulatan.

Babak Baru
Dalam konteks keindonesiaan, tumbangnya orde baru merupakan babak baru sekaligus gerbang pencerahan bagi kaum perempuan. Hadirnya orde reformasi memberikan ruang khusus bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan walaupun belum terlaksana seutuhnya.
Hadirnya undang-undang yang mengatur akan keterwakilan perempuan dalam kancah perpolitikan seperti undang-undang no 1 pasal 65 ayat 1 tahun 2003, no 2 pasal 2 ayat 5 tahun 2008 dan no 2 pasal 20 tahun 2008 telah menjadi motivasi bagi kaum perempuan untuk terus berjuang untuk menghapus sejarah kelabu yang terjadi sejak masa silam. Dengan potensi yang mereka miliki, mereka berupaya mengimbangi kaum Adam yang selalu menjadi kelompok mayoritas.
Riilnya, segala upaya yang mereka lakukan tidaklah sia-sia. Sebagai mana kita lihat bahwa keterwakilan perempuan dalam kancah politik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam konteks Jatim misalnya, pada tahun 1999 kaum perempuan yang duduk di parlemen hanya diwakili 11 orang, kemudian meningkat menjadi 16 orang pada tahun 2004, dan sangat mengagumkan pada pemilihan calon legislatif preode 2009-2014 wakil perempuan Jatim mencapai lebih dari 20%. Bahkan Hj. Istibsyaroh yang menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meraup suara terbanyak walaupun tanpa kampanye dan tim sukses.
Hal itu menunjukkan bahwa saat ini kaum perempuan memiliki peluang besar untuk mengembalikan fitrah mereka yang tercampakkan. Kalau mengacu pada realitas masa kini, ada dua faktor penting yang menyebabkan terbukanya peluang besar bagi mereka. Pertama, karakter pribadi. Secara psikologis, perempuan lebih mengedepankan perasaan dari pada rasionalitas, sehingga dalam prakteknya mereka lebih peka terhadap fenomena yang terjadi dan lebih elegan dalam menyikapinya. Sifat-sifat kelembutan yang melekat memberikan ruang tersendiri di hati masyarakat untuk memilih mereka. Pun juga, sifat demikian bisa dijadikan bekal untuk membangun pemerintahan masa depan yang lebih arif, sopan, elastis, bijaksana, dan penuh dengan kelembutan bukan penuh arogansi.
Ke dua, faktor sosial-politik. Telah menjadi kenyataan bahwa kuantitas perempuan lebih tinggi di mana kualitasnya pun tidak jauh berbeda dengan kaum Adam. Di samping itu, pemerintahan yang selama ini dipimpin oleh mayoritas kaum Adam belum sepenuhnya berhasil untuk tidak mengatakan gagal. Bahkan, para pelaku tindakan amoral seperti korupsi dan kolusi sampai saat ini masih didominasi oleh kaum Adam sebagaimana terjadi di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Jember dan lainnya.
Kedua faktor tersebut diharapkan menjadi motivasi bagi para perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah politik dan tidak melulu berkutat dalam tugas-tugas domistik. Kuota 30% yang dialokasikan tidak dipandang secara a priori tapi harus diapresiasi secara positif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering kali termarjinalkan. Namun yang harus menjadi catatan kaum perempuan yang telah terpilih jangan sampai terjebak dalam jurang kenistaan sebagaimana banyak dipraktekkan oleh kaum Adam. Selamat berjuang, merdekakan kaum perempauan.



*Penulis Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya