Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

Bahasa “Engghi-Bhunten” dan Budaya Masyarakat Madura

Bahasa “Engghi-Bhunten”
dan Budaya Masyarakat Madura

Oleh: Tirmidzi*)


Beberapa tahun terakhir, modernisasi dan globalisasi menjadi tema menarik yang sering diperdebatkan, terutama oleh kaum budayawan. Alasan utamanya, karena keduanya di samping membawa dampak positif terhadap perkembangan dan pembangunan Negara ini, juga membawa dampak negatif. Termasuk di dalamnya, keduanya telah memarjinalkan budaya-budaya asli atau budaya daerah. Budaya-budaya yang dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat menjadi pudar bahkan terpinggirkan oleh budaya-budaya baru yang kurang jelas nilai historisnya.
Salah satu budaya yang telah pudar adalah budaya berbahasa engghi-bhunten bagi masyarakat Madura. Bahasa engghi-bhunten merupakan bahasa terhalus di Madura setelah bahasa engghi-enten sebagai bahasa tingkat pertengahan dan enje’-iye sebagai bahasa tingkatan paling kasar. Dalam tradisi Madura, bahasa engghi-bhunten setingkat dengan bahasa kromo inggil dalam tradisi Jawa.
Dalam implementasinya, bahasa engghi-bhunten biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati, semisal dari anak ke orang tua, santri ke kiai, murid ke gurunya, staff ke atasannya dan sejenisnya. Sebagai contoh, kata panjennengngan atau ajunan yang berarti “kamu” digunakan untuk memanggil seorang kiai oleh para santrinya, dan kata abdhina untuk diri sendiri ketika berbicara dengan yang lebih terhormat. Tapi ironisnya, bahasa demikian kini telah merosot untuk tidak mengatakannya telah mati.
Menurut penulis, ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan bahasa engghi-bhunten di Madura menjadi pudar. Pertama, minimnya tenaga ahli yang mampu bertutur dengan bahasa engghi-bhunten. Salah satu pengasuh pondok pesantren di Sumenep, KH. Baidlawi, pernah menuturkan bahwa di zaman yang terus berkembang ini makin sulit menemukan sosok yang ahli dalam berbahasa Madura halus. Kedua, minimnya dokumentasi yang menghimpun khazanah kekayaan bahasa Madura. Prof. Dr. Mien Ahmad Rifai mencatat bahwa dalam setengah abad terakhir ini hampir tidak ada tulisan atau buku yang ditulis dalam bahasa Madura, sehingga bahasa Madura—termasuk bahasa engghi-bhunten—tidak bisa diakses oleh masyarakat luas. Ketiga, hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penutur bahasa engghi-bhunten. Dalam hal ini dapat dilihat dari fenomena kaum muda yang sudah banyak berinteraksi dengan ragam budaya luar dimana mereka cenderung memilih bahasa luar dan meninggalkan bahasa daerahnya.
Jika hal demikian dibiarkan, maka dapat dipastikan prediksi Achmad Zaini Makmun—staf ahli Balai Bahasa Surabaya—tentang matinya bahasa Madura pada tahun 2024 akan menjadi kenyataan, lebih-lebih bahasa engghi-bhunten. Bukan hanya itu, lebih ironis lagi adalah matinya bahasa daerah akan membunuh nilai-nilai budaya daerah dimaksud, karena bahasa dengan budaya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.

Relasi Bahasa dengan Budaya
Para sosiolog, budayawan dan ahli bahasa berbeda pendapat mengenai relasi bahasa dengan budaya, apakah relasi itu bersifat koordinatif atau subordinatif. Koentjaraningrat (1992) berasumsi bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Ada pula yang berasumsi bahwa antara bahasa dan budaya adalah fenomena yang berbeda dan sederajat dalam tingkatannya, sehingga hubungan keduanya adalah koordinatif sebagaimana disebutkan oleh Fishman (1987). Bukan hanya itu, Masinambouw (1985) menyatakan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia, budaya sebagai sistem yang mengatur interaksi mereka sedangkan bahasa adalah sistem yang berfungsi sebagai media berlangsungnya interaksi itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa bahasa dan budaya memiliki ralasi yang kuat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling memengaruhi. Menurut penulis ada dua hal penting yang patut diutarakan terkait dengan relasi bahasa dan budaya. Pertam, keduanya sebagai sistem atau konsep nilai yang memiliki peran vital dalam kehidupan ini. Nilai-nilai budaya terdapat dalam bahasa dan nilai-nilai bahasa juga terdapat dalam budaya. Dengan demikian, ketika sebuah bahasa diungkapkan dalam budaya yang berbeda maka akan mengandung nilai yang berbeda. Misalnya, kata kelem dalam bahasa halus Madura yang berarti “menginap” akan berbeda nilainya ketika diungkapkan di luar Madura, karena perbedaan budaya. Begitu juga sebaliknya, sebuah budaya jika dibahasakan dengan bahasa daerah lain akan memiliki nilai yang berbeda pula, semisal budaya kerrapan sapeh (kerapan sapi) di Madura dibahasakan dengan bahasa jawa atau reog di Ponorogo yang telah dibahasakan dengan bahasa Malaysia.
Kedua, keduanya sebagai kunci pengetahuan karakter masyarakat. Artinya, bahasa dan budaya akan mengilustrasikan karakter masyarakatnya. Lindgren (1973) menyatakan bahwa orientasi pengkajian bahasa dan budaya adalah untuk mengetahui lebih dalam pola dan nilai sebuah masyarakat. Bahkan, keduanya dianggap sebagai ciri paling kuat untuk mendalami karakter dalam masyarakat. Jadi, untuk mengetahui secara komprehensif karakter masyarakat Madura misalnya terlebih dahulu harus mempelajari bahasa dan budayanya. Asumsi ini secara tidak langsung menafikan generalisasi publik tentang budaya “kasar” masyarakat Madura, karena asumsi demikian tidak memiliki dasar yang kuat.
Kalau kita kaitkan dengan tema tulisan ini, maka jelas bahasa engghi-bhunten mengandung nilai yang tidak didapati dalam bahasa-bahasa lain dan di budaya-budaya lain. Bahasa engghi-bhunten sebagai bahasa terhalus, paling tidak akan mencerminkan budaya santun dan budaya halus masyarakat Madura dalam kapasitasnya sebagai masyarakat pesisir.
Oleh karena itu, bahasa engghi-bhunten harus dijaga dan dilestarikan karena pelestariannya merupakan salah satu langkah konkret pelestarian budaya Madura. Terlebih pasca konflik Sambas (Kalimantan Barat, 1996/1997-1999), Sampit (Kalimantan Tengah) pada minggu ketiga Februari 2001, Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalan Bun, di mana sampai saat ini masyarakat Madura telah diklaim sebagai orang kasar, beringas dan menakutkan. Untuk menghilangkan klaim tersebut, dibutuhkan kometmen dan semangat baru dari masyarakat Madura, mulai dari pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, dan masyarakat secara umum untuk membudayakan kembali bahasa engghi-bhunten sebagai salah satu cara untuk menampilkan citra Madura yang lebih baik.
Sebentar lagi jembatan yang menghubungkan Surabaya-Madura (Suramadu) akan segera rampung. Sudah bisa diprediksi bahwa suramadu di samping akan memudahkan transportasi dan komunikasi juga akan memberikan ruang besar masuknya arus globalisasi dan modernisasi yang besar kemungkinan akan membawa bahasa dan budaya yang beragam. Jika tidak ada persiapan sejak dini maka dipastikan bahasa dan budaya asli Madura akan digantikan oleh bahasa dan budaya produk keduanya.
Akhiron, akankah kita sebagai masyarakat Madura rela jika kata engghi diganti dengan “oke boz”, abdhina dengan “aye”, panjenengan dengan “you”, mator sakalangkong dengan “matur suwun”, atau budaya kerapan sapeh diganti dengan balap mobil dan motor GP, sapeh sono’ dengan goyang patah-patah, dan semacamnya. Penulis pribadi tidak akan berterima dengan kondisi demikian, karena sama saja dengan menjual hargi diri dan keperibadian kita sendiri. P.W.J Nababan (1993) pernah mensinyalir: kehilangan bahasa dan budaya sama halnya dengan kehilangan kesanggupan kita sebagai mahluk sosial, dengan kata lain kehilangan sifat kemanusiaan kita.



*Penulis adalah Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini telah dimuat di Harian Kompas Jatim, Edisi 25 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...