Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Minggu, 05 April 2009

MEMBUMIKAN PELAJARAN AGAMA

MEMBUMIKAN PELAJARAN AGAMA
Oleh: Tirmidzi*


Selama ini, banyak orang beranggapan bahwa pendidikan dan pelajaran agama adalah materi yang sulit dan menjemukan, terlebih bagi kaum santri yang setiap hari pelajaran agama menjadi santapannya. Sulit karena materinya mayoritas merujuk pada kitab-kitab klasik yang dikenal dengan kitab kuning (gundul) di samping teks-teks kitab suci yang sulit dimengerti, menjemukan karena pembahasannya “la yahya wa la yamutu”, tiada daya dan kurang bermutu, materinya tetap itu-itu saja.
Di samping itu, ada pula asumsi bahwa pelajaran agama telah dianggap gagal dalam pembentukan moralitas anak didik ke arah yang lebih baik. Terbukti, beberapa pekan terakhir sering kali terjadi tindakan-tindakan amoral di lingkungan sekolah, seperti perkelahian, tawuran, pacaran, dan semacamnya.
Selain itu, kedangkalan pengetahuan agama anak didik yang berdampak pada minimnya kepedulian dan respon sosial mereka terhadap problematika yang terjadi dewasa ini turut memperkuat klaim kegagalan pendidikan agama. Pendidikan agama seakan hanya menjadi media pembentukan kesalehan dan keimanan individu, sedangkan yang sifatnya sosial lepas dari tanggung jawabnya. Pendidikan agama hanya berkutat pada urusan “teo”, sedangkan urusan “antro” justru diabaikan.
Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi system pembelajaran agama, dari yang melulu ranah teologis menuju pembelajaran yang peduli pada ranah sosial-praktis. Kalau meminjam bahasa Quraish Syihab, menjadikan pendidikan agama lebih “membumi”. Dengan harapan anak didik dapat menjadi generasi bangsa yang memiliki spirit spiritual-vertikal dan sosial-horizontal yang mumpuni sekaligus, sehingga mereka bukan hanya mementingkan dirinya akan tetapi dapat merespon terhadap permasalahan keumatan.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan beberapa langkah strategis yang harus realisasikan oleh lembaga pendidikan, baik swasta maupun negeri. Dalam hal ini guru memiliki peran urgen karena merekalah yang menjadi media dalam proses transfer ilmu kepada anak didik. Pertama, pemahaman komprehensif. Pemahaman utuh dan luas seorang guru akan memberikan konstribusi keilmuan yang utuh pula terhadap anak didik. Pemahaman demikian akan dicapai apabila guru bersangkutan memiliki semangat tinggi untuk membaca dan menelaah terkait dengan materi yang akan disampaikan. Dia tidak hanya merujuk pada buku panduan (baca: kurikulum) yang ada, lebih dari itu dia harus mengonsumsi dari luar, misalnya buku, majalah, jurnal, internet dan lainnya.
Kedua, contoh fenomenal. Dalam hal ini, guru—dengan pemahamannya—dirapkan dapat mengaitkan materi pelajarannya dengan fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi. Dengan demikian, guru dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan sosial sekitarnya. Bagaimana dia bisa mencari korelasi dan relevansi pendidikan agama dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian, anak didik akan lebih memahami bahwa pelajran agama bukan terkait dengan ritual-individual an sich.
Ketiga, kegiatan ekstra. Kegiatan dimaksud dapat berbeda-beda formatnya, baik formal seperti seminar, talk show, perlatihan, juga bisa berbentuk kegiatan lapangan seperti observasi dan praktikum lapangan. Kegiatan-kegiatan semacam itu akan menambah sugesti pada anak didik bahwa pengetahuan yang mereka peroleh nantinya akan berhadapan dengan kondisi riil masyarakat.

Pelajaran Agama dan Tindakan
Penulis melihat, selama ini pelajaran agama sering dimaknai sempit oleh banyak kalangan, termasuk guru dan orang tua anak didik (wali). Hal demikian tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran agama telah dianggap berhasil ketika anak didik rajin ke masjid, hadir ke majlis taklim, atau rajin ritual seperti shalat, zakat, puasa, atau ketika mereka bisa berbicara tentang agama secara luas dan mendalam.
Persepsi demikian tidaklah salah, tapi menurut Nurul Huda (2000) kurang tajam dan kurang kritis karena telah melupakan esensi agama sebagai sumber primer pelajaran agama. Hakikatnya, agama memiliki nilai-nilai universal, rahmatan li al-‘alamin, tidak hanya terbatas pada ritual-ritual individual dan wacana belaka. Demikian juga halnya pelajaran agama, pesan moral yang ada di dalamnya juga bersifat universal. Artinya, pelajaran agama bukan hanya menjadi media penciptaan anak didik yang bisa menjelaskan agama secara mendalam atau rajin beribadah. Lebih dari itu, bagaimana pemahaman keagamaan mereka dapat menyentuh tindakan-tindakan nyata yang jelas manfaatnya pada diri sendiri dan orang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa walaupun beberapa langkah strategis—sebagaimana telah dijelaskan di awal—telah menjadi budaya di setiap lembaga pendidikan, bukan berarti tugas seorang guru telah selesai. Akan tetapi, mereka juga memiliki kewajiban mengontrol anak didiknya baik di dalam apalagi di luar waktu pelajaran. Bagaimana pelajaran yang telah diberikan tidak hanya menjadi barang beku dalam pikiran anak didik, tapi bisa mereka transformasikan dalam bentuk tindakan riil, tidak hanya memenuhi kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik juga dipenuhi. Standar penilaian yang harus digunakan oleh seorang guru terhadap anak didik bukan hanya seberapa banyak materi agama yang dapat dipahami oleh anak didik, tapi juga sejauh mana mereka bisa mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan secara benar dalam kesehariannya.


*Penulis adalah Mahasiswa Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...