Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Minggu, 05 April 2009

Membangun Budaya Penafsiran di Bumi Pertiwi

Membangun Budaya Penafsiran di Bumi Pertiwi

Oleh: Tirmidzi*


Abstraksi

Pada hakikatnya, bumi pertiwi memiliki potensi besar untuk membangun budaya penafsiran di masa kini. Pasalnya, di samping Indonesia adalah Negara besar islam yang sudah mesti sering merujuk pada kitab sucinya, juga bangsa ini telah mempunyai warisan yang sangat berharga dari founding father mereka berupa dokumen-dokumen lama yang bisa digali dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman masa kini.
Tapi ironis sekali yang terjadi justru sebaliknya, perkembangan penafsiran di bumi pertiwi berjalan sangat lamban. Kekayaan yang mereka miliki hanya disimpan dan dijadikan pajangan, tidak pernah disentuh apalagi dikaji. Al-Quran yang merupakan way of life dan yang harus dijelaskan, dipahami, dan dijadikan sebagai fundamen segala tindakan tidak mendapat ruang yang semestinya. Proses penafsiran—sebagai budaya ulama salaf—digantikan oleh budaya-budaya baru semisal budaya korupsi, intimidasi, aliran sesat, dan lainnya, sehingga produk tafsir menjadi barang langka di bumi pertiwi.
Oleh karena itu, sudah semestinya penafsiran di Indonesia perlu diadakan revitalisasi, tentunya dengan mengacu pada dokumen-dokumen lama dan baru yang kemudian dicarikan relevansinya dengan konteks masa kini, al muhafadhotu bi al qodimi al sholih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah.

Key Word: al-Quran, Penafsiran, Bumi Pertiwi, Produk Tafsir


Pendahuluan

Suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa al-Quran sebagai pedoman pertama dan utama bagi umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada rasulnya, Muhammad. Kandungannya menjadi way of life bagi umat islam di seantero dunia tanpa keraguan sedikitpun. Untuk dapat menfungsikan al-Quran sebagai way of life, mereka memerlukan penafsiran karena al-Quran tidak akan berbicara sendiri mengenai kehidupan umat manusia. Tterlebih kita sebagai bangsa Indonesia yang kurang ahli memahami bahasa al-Quran yang menggunakan bahasa arab, tentunya akan sangat haus akan penafsiran.
Penafsiran merupakan proses yang dinamis untuk mengungkap kandungan al-Quran baik yang tersurat maupun yang tersirat. Hal itu sesuai dengan istilah tafsir itu sendiri. Kata tafsir berasal dari fi’iel madhi “fassaro” yang berarti menjelaskan atau mengungkapkan. Pandangan demikian didasarkan pada sebuah ayat yang difirmankan oleh Allah dalam kitabnya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[1]
Sedangkan secara terminologis tafsir adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafad-lafad al-Quran, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukum, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makan yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[2]
Sebagai proses yang dinamis, penafsiran bergerak begitu cepat dan singkat, tentunya akan ada perbedaan yang sangat mencolok bergantung pada sosiodemografis, psikologis, teologis, bahkan politis yang melingkupi sang penafsir. Hal itu terbukti dengan banyaknya produk-produk tafsir yang memenuhi perpustakaan dengan variasi yang berbeda-beda, baik metodologi, corak, maupun kecondongan dan semacamnya. Sehingga tidak salah kiranya, Michel Focolut menyatakan: tugas memberi makna, ditilik dari definisinya tidak pernah terselesaikan.[3]
Kalau ditilik secara historis, upaya penafsiran telah dimulai sejak islam diturunkan. Nabi Muhammad bertindak sebagai penafsir untuk kali pertama. Kemudian, dilanjutkan oleh para sahabat beliau dan para ulama yang hadir sesudah mereka sampai sekarang serta sudah barang tentu akan berlanjut di zaman yang akan datang.
Dalam dunia islam secara umum, sudah seberapa banyak produk-produk tafsir yang dihasilkan, mulai periode Nabi dan sahabat (abad I H), periode tabi’ien dan tabi’iet tabi’ien (abad II H), ulama mutaqaddimin (abad III-VIII H), ulama mutaakhirin (abad IX-XIII H), dan periode ulama modern (abad XIV H-sampai sekarang), sudah berjuta bahkan triliunan produk tafsir yang tersebar di seluruh belahan dunia, dunia non muslim sekalipun. Produk-produk tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai dan patut diapresiasi secara positif. Apresiasi dimaksud salah satunya adalah membudayakan dan melestarikan serta melanjutkan proses penafsiran di setiap tempat dan waktu, termasuk di bumi pertiwi ini.
Itulah kiranya, yang menjadi bahasan sentral dalam tulisan ini. Mengingat bahwa Negara Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar tapi sangat lamban dalam proses penafsiran kitab suci. Sampai saat ini, penulis melihat produk-produk tafsir yang murni karya bangsa Indonesia masih minim ditemukan sebagaimana tercatat dalam sejarah.

Sejarah Penafsiran di Bumi Pertiwi
Al-Quran yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “rahmatan lil ‘alamin” dan memberikan “bayyinatin min al huda wa la furqon”. Adu juga yang mengasumsikan al-Quran akan terus “sholihun li kulli zamani wa makani”, akan selalu menemukan relevansinya dalam setiap waktu dan tempat. Dengan asumsi tersebut dapat dinyatakan bahwa kandungan al-Quran bersifat universal. Bila diasumsikan bahwa kandungan al-Quran bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Asumsi tersebut juga berlaku dengan dalam khazanan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia memiliki perkembangan tersendiri dalam proses untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. Perkembangan penafsiran al-Quran agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al-Quran dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Quran.
Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al-Quran sehingga proses penafsiran lumayan cepat dan pesat. Hal itu berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu, proses pemahaman al-Quran terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dimafhumi jika penafsiran al-Quran di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Secara singkat, disebutkan bahwa proses penafsiran kali pertama di bumi pertiwi dirintis oleh Abdur Rauf Singkel. Beliau belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan diperkirakan kembali pada 1661. Beliaulah yang kemudian mempelopori kajian-kajian al-Quran di masanya. Sebagai perintis beliau menelorkan satu karya monumental, berupa tafsir al-Quran berbahasa Melayu pada pertengahan abad VII yang diberi nama Tarjuman al-Mustafid. Tafsir itu mendapat tempat di dunia muslim bahkan tidak hanya di Indonesia. Terbukti, tafsir karya perdana beliau pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul, Kairo, Mekkah.
Upaya rintisan As-Singkili tersebut kemudian diikuti generasi-generasi bangsa sesudahnya, seperti Munawar Chalil (Tafsir Al-Quran Hidayatur Rahman), A. Hasan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Halim Hassan (Tafsir Alquranul Karim, 1955), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Quran, 1959), dan Kasim Bakry (Tafsir Alquranul Hakim, 1960). Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya penafsiran al-Quran juga dilakukan oleh generasi sesudah mereka, sebut saja Bisyri Mustafa Rembang (Al-Ibriz, 1960), R.Muhammad Adnan (al-Quran Suci Basa Jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Huda, 1972), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973), Quraish Shihab (Al-Misbah, 2000).
Sebelumnya, pada 1310 H, Kiyai Mohammad Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa jawa huruf Arab. Ada juga karya yang belum selesai yang ditulis oleh Kiyai Bagus Arafah Sala, berjudul Tafsir Jalalen Basa Jawi Alus Huruf Arab. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala menerbitkan terjemah al-Quran 30 juz basa Jawi huruf Arab Pegon. Aktivitas lainnya juga dilakukan secara persial, seperti penerbitan terjemah dan tafsir Muhammadiyah, Persis bandung dan Al-Ittihadul Islamiyah [KH.Sanusi Sukabumi], beberapa penerbitan terjemah di Medan, Minangkabau dan kawasan lainnya, serta tafsir al-Quran dalam bahasa jawa yang diterbitkan oleh Ahmadiah Lahore dengan nama Quran Suci Jawa Jawi.[4]
Demikianlah proses penafsiran yang terjadi di bumi pertiwi, kemudian disusul dengan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran secara tematis hingga masa modern saat ini. Nashruddin Baidan dalam bukunya, menjelaskan periodeisasi penafsiran di bumi pertiwi. Menurutnya, perkembangan tafsir di bumi pertiwi dapat dikategorikan menjadi empat periode, peiode klasik (abad VIII-XV M), periode pertengahan (abad XVI-XVIII M), pediode pramodern (abad XIX M), dan periode modern (abad XX M).[5]
Pada abad modern itulah penafsiran-penafsiran mulai bergerak pesat di bumi pertiwi. Penafsiran mayoritas dengan menggunakan metodologi tematis, hal itu terkait dengan problema-problema yang begitu variatif terjadi dan kreativitas bangsa Indonesia dalam mencarikan solusi melalui pemahaman kitab suci. Sejak tahun 90-an sampai sekarang, produk-produk tafsir tematik membeludak memenuhi perpustakaan tanah air.
Dari karya tafsir yang berkembang di Indonesia ada yang disusun dengan corak tafsir tematis di antaranya adalah:

a Tematik Plural

Karya tafsir tematis ada yang bersifat plural yaitu karya yang membahas berbagai persoalan. Di antaranya adalah : 1) Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996). Ketiganya adalah karya Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Mizan Bandung. Dalam ketiga buku ini Quraish Shihab membahas berbagai tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat.

2) Ensiklopedi al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996) karya M. Dawam Raharjo. Karya ini merupakan kumpulan kajian serius yang ditulis oleh Dawam Raharjo dalam Jurnal Ulumul Qur’an tahun 1990-an. 3) Dalam Cahaya al al Qur’an, Tafsir Sosial Politik Al Qur’an (Jakarta; Gramedia, 2000) karya Syu’bah Asa. Buku Tafsir ini berawal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis oleh Syu’bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat antara tahun 1997-1999. 4) Tafsir Tematik al Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Ummat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah.

b Tematik Singular

Tafsir tematik singular adalah karya tafsir yang menfokuskan diri dalam satu topik bahasan tertentu. Karya tafsir jenis ini cukup banyak, sebagian besar berasal dari disertasi, di antaranya adalah: 1) Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu. Karya ini berasal dari disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1989. 2) Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Quran sebuah Kajian Tematik karya Jalaluddin Rahman yang berasal dari disertasinya di Pasca Sarjana IAIN Jakarta. 3) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran (1992) karya Dr Musa Asy’arie. Karya ini berasal dari disertasi Asy’arie di IAIN Sunan Kalijaga Yoryakarta. 4) Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-Quran (1996) karya Machasin. Karya ini berasal dari tesis Machasin di IAIN Yogyakarta dengan judul Kebebasa dan Kekuasaan Allah dalam al-Quran. 5) Ahli Kitab, Makna dan Cakupannya (1998), karya Muhammad Ghalib Mattalo. Karya ini berasal dari disertasi Ghalib di IAIN Jakarta dengan judul Wawasan Al Qur’an tentang Ahl Kitab tahun 1997.
6) Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran (1999), karya Nasaruddin Umar. Buku ini berasal dari disertasinya di IAIN Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam Al-Quran. 7) Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Quran (1999) karya Nashruddin Baidan. 8) Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan. Karya ini berasal dari disertasi di Pasca sarjana IAIN Jakarta. 9) Memasuki Makna Cinta (2000) karya Abdurrasyid Ridha. Karya ini berasal dari skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Konsep Cinta dalam Al-Quran. 10) Jiwa dalam Al-Quran, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya Dr. Achmad Mubarok. Karya ini berasal dari disertasi dengan judul Konsep Nafs dalam Al-Quran-Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Jakarta. 11) Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, Multikulturalisme (2007) karya Zuhairi Misrawi, karya itu sengaja ditulis untuk mengungkap benih-benih toleransi yang ada dalam al-Quran. 12) Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (2008) karya Muhamad Mas’ud. Karya ini mengkaji berbagai fenomena angka yang ada di dalam al Qur’an dihubungkan dengan ilmu matematika dan penemuan ilmiah modern.

c Tafsir yang mefokuskan diri pada ayat, surat atau juz tertentu.

1. Surat dan Ayat Tertentu

Karya tafsir yang menfokuskan diri pada ayat dan surat tertentu antara lain: 1) Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-Quran-Qur’an (1993) karya Jalaluddin Rakhmat. Ayat dan surat yang dipilih tampaknya didasarkan pada ayat maupun surat yang mempunyai riwayat bi al-ma’thur sebagai sabab nuzul. Ayat dan surat yang dikaji di antaranya adalah Al Fatihah: 1, Al Baqarah 2 :19-20, 75-78, al-‘Adiyat: 1-5, Maryam: 1-6, al-Qadr dan al-Takathur. 2) Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997) karya M. Quraish Shihab. Buku ini merupakan kumpulan ceramah Quraish pada acara tahlilan di kediaman mantan presiden Suharto dalam rangka mendo’akan kematian Fatimah Siti Hartinah Suharto tahun 1996. Setelah itu dilanjutkan dengan penafsiran ayat-ayat yang dibaca dalam tahlilan yaitu surat al Fatihah, al Baqarah : 1-5, ayat kursi (QS 2: 255), khawatim surat al Baqarah (QS 2: 284-286), al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

2. Surat al-Fatihah

Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada surat al-Fatihah antara lain adalah : Kandungan al-Fatihah, karya Bahroem Rangkuti ( Jakarta: Pustaka Islam, 1960), Tafsir Surat al-Fatihah karya H Hasri (Cirebon: Toko Mesir, 1969), Samudra al-Fatihah karya Bey Arifin (Surabaya: Arini, 1972), karya ini membahas surat al-Fatihah dikaitkan dengan berbagai penemuan ilmiah modern, Tafsir Ummul Qur’an karya M Abdul Malik Hakim (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), utir-butir Mutiara al-Fatihah karya Labib MZ dan Maftuh Ahnan (Surabaya, Bintang Pelajar, 1986), Risalah Fatihah karya A Hassan (Bangil: Yayasan al- Muslimun, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (1988) karya M Quraish Shihab, dan Tafsir Sufi Surat al-Fatihah (1999) karya Jalaluddin Rakhmat

3. Surat An-Nisa’

Kajian Tafsir Al Qur’an Surat An-Nisa’ (Jakarta: Logos, 2000) karya KH Didin Hafidhuddin. Buku ini merupakan hasil kajian tafsir yang disampaikan KH Didin Hafidhuddin di Masjid Al-Hijri Universitas Ibnu Khaldun Bogor setiap Ahad sejak tahun 1993.

4. Surat Yasin

Karya tafsir yang membahas tentang surat Yasin antara lain adalah : Tafsir Surah Yasin (Jakarta: Bulan Bintang: 1978) karya Zainal Abidin Ahmad, Kandungan Surat Yasin (Yulia Karya, 1978) karya Mahfudli Sahli, Memahami Surat Yasin (Jakarta: Golden Trayon Press, 1998) karya Radiks Purba.

5. Juz ‘Amma

Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada juz ‘amma (juz 30) antara lain adalah : Al-Abror, Tafsir Djuz ‘Amma Karya Mustafa Baisa (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960), Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia karya M. Said (Bandung: al-Ma’arif, 1960), Juz ‘Amma dan Makna karya Gazali Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) dan Tafsir Juz ‘Amma Disertai Asbabun Nuzul (2000) karya Rafi’udin S.Ag dan Drs. KH. Edham Rifa’I, dan sebagainya.[6]

Demikianlah dinamika penafsiran yang terjadi di bumi pertiwi sekaligus contoh-contohnya. Munculnya produk-produk tafsir tersebut merupakan kreativitas yang sangat berharga, utamanya ketika dilihat betapa besar keinginan bangsa Indonesia untuk mengungkap kandungan nilai yang ada dalam al-Quran. Walaupun mereka tidak berbahasa arab dalam kesehariannya, tapi upaya mereka untuk mengetahui makna yang ada dalam al-Quran sangatlah besar dan itu menjadi modal utama terciptanya budaya penafsiran di bumi pertiwi di masa kini.

Urgensi Penafsiran
Bangsa Indonesia adalah majemuk, keanekaragaman menjadi kenyataan hidup yang tidak bisa ditolak, baik dilihat dari status sosial, politik, ekonomi, pendidikan, suku bangsa, agama, dan semacamnya. Begitu juga dengan umat islam di bumi pertiwi ini, mereka bercorak-corak dan bervariasi. Keanekaragaman sebagaimana disebutkan berimbas pada pemahaman mereka terhadap keberagamaannya, termasuk memahami kitab sucinya semisal al-Quran.
Di muka sudah dijelaskan bahwa al-Quran tidak bisa berbicara dengan sendirinya tentang kebutuhan dan problema umat manusia. Akan tetapi di sana membutuhkan pemahaman dan penafsiran dari mereka sebagai subjek. Di situlah kiranya urgensitas tafsir menemukan momentumnya, kehadirannya bagaikan lentera yang menerangi gulita, menerangkan yang masih samar-samar, menjelaskan yang sebelumnya masih kabur. Menurut Zuhairi Misrawi, setidaknya ada tiga poin penting terkait dengan urgensitas tafsir.

Pertama: penafsiran sebagai penjelasan, artinya penafsiran menjadi penting dilakukan untuk memperjelas, menyingkap yang tertutup, serta menyingkap makna sebuah lafad yang sulit dipahami. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan, beliau menyatakan bahwa penafsiran adalah penelanjangan dan penyingkapan. Sebagai penjelasan, penafsiran tidak mempunyai kapasitas untuk mengembangkan makna yang sesuai dengan subjek, makna harus mengikuti objek. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran harus diterima secara mutlak. penafsiran semacam ini akhirnya akan melahirkan arus teosentrisme.
Kedua: penafsiran sebagai pemahaman, lebih berat dari yang pertama dalam hal ini penafsir dituntut untuk benar-benar memahami kitab suci yang sedang dihadapi. Mereka bukan hanya berhadapan dengan teks melainkan juga konteks di mana ia berada. Sehingga, penafsiran yang dilakukan tidak hanya memperjelas teks tapi juga menemukan relevansinya dengan konteks yang ada. Dalam ranah ini, penafsiran tidak semata-mata untuk mengais makna, melainkan yang terpenting justru menjadikan makna tersebut mempunyai makna konstruktif bagi realitas sosial. Dalam ranah ini pula, penafsiran memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menghasilkan sebuah tafsir yang mensinergikan antara kehendak penafsir dan kehendak pengarang dan teks itu sendiri. Menurut Zuhairi berbeda dengan yang pertama, penafsiran semacam ini akan melahirkan arus antroposentrisme.
Ketiga: penafsiran sebagai tindakan, kedua hal tersebut masih belum dianggap cukup, karena pada hakikatnya penafsiran akhirnya akan menjadi praktek dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dibutuhkan pembacaan yang melibatkan unsur sosiologis, ontologis, fenomenologis dan kritik ideologis. Penafsiran dalam kategori ini akan menjawab pelbagai problema keumatan yang belakangan muncul dengan begitu dinamis dan kompleks.[7]
Sementara itu, Prof. Dr. Jamal Mushtafa An-Najjar, seorang ulama dan cendikia Al-Azhar telah merangkum dua alasan mengapa umat Islam itu membutuhkan tafsir. Pertama, al-Qur’an merupakan mukjizat paling agung bagi Nabi Muhammad Saw. sebagai bukti kebenaran kenabian dan pengutusan-Nya. Tentu kemuliaan maknanya (eksistensi dan subtansi) tidak dapat diketahui tanpa melalui tafsir.

Kedua, al-Qur’an diturunkan Allah sebagai pedoman hidup bagi manusia yang membawa pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tentu hal itu dapat diperoleh jika setelah diamalkan ajarannya, dan pengamalan tersebut berlaku setelah pemahaman yan benar terhadap ajaran tersebut. Sedangkan paham benar itu tidak akan terwujud tanpa tafsir Al-Qur’an.
Dari pendapat dua tokoh tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Quran dilakukan untuk mewujudkan perubahan baik secara teologis, hubungan kita dengan yang Maha Esa, maupun secara sosiologis, hubungan antarsesama. Dari situlah akan tampak bahwa al-Quran adalah agent of change dan benar-benar merupakan samudera yang terbentang luas dan tidak akan pernah habis kekayaannya.
Kendatipun penafsiran menurut ulama merupakan kewajiban yang bersifat kolektif, tapi penafsiran mempunyai peran sentral dalam memahami al-Quran dan tindakan umat manusia. Karena itu, al-Suyuthi menyatakan bahwa barang siapa menafsirakan al-Quran sesungguhnya dia sedang dikaruniai hikmah oleh Tuhan, sebagaimana firman-Nya: Allah menganugerahkan Al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).[8] Para ulama menafsirakan kata hikmah dalam ayat tersebut dengan pemahaman terhadap al-Quran dan al-Hadis, dan penyebutan akal dan pengambilan pelajaran merupakan indikasi bahwa penafsiran sangat erat hubungannya dengan tindakan umat manusia dalam segala bentuk dan sifatnya.

Penafsiran dan Aliran Sesat
Peberapa tahun terakhir, di bumi pertiwi ini banyak berkembang aliran dan paham yang sesat lagi menyesatkan. Yang jelas, aliran-aliran tersebut membuat bangsa Indonesia risau, bingung, panik dan semacamnya. Menurut hasil penelitian LITBANG Departemen Agama Republik Indonesia, lebih dari 300 aliran kepercayaan yang “mengaku” mempunyai hubungan dengan Islam Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama (sesat).
Kita ambil contoh yang aktual, pada awal bulan tahun ini di Jakarta dikejutkan dengan ajaran yang sangat tertutup yang dipimpin oleh Agus Iman Sholihin alias Agus Noto Soekarnoputro. Aliran yang bernama Satrio Piningit Weteng Buwono tersebut mengharuskan pengikutnya untuk berhubungan suami istri di depan pemimpinnya. Katanya, hubungan demikian dilakukan sebagai penebusan dosa dan keselamatan.
Belum hilang dari ingatan masyarakat, sudah muncul lagi aliran terbaru yaitu Dunung Urip di Blitar Jatim. Aliran tersebut dipimpin oleh Mbah Suryani yang sampai saat ini diikuti oleh puluhan orang dari berbagai kalangan, tokoh masyarakat, petani, pejabat, pedagang, dan lainnya. Aliran yang mewajibkan pengikutnya membayar sebesar empat juga rupiah ini juga turut menambah panjang catatan tentang aliran sesat di bumi pertiwi.[9]
Sebelum itu, ada juga aliran yang menamakan kelompoknya dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang terbentuk pada tahun 2000. pemimpinnya adalah Ahmad Mushaddeq. Dia membentuk aliran ini setelah mengaku mendapatkan wangsit di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, pada 23 Juli 2007. aliran ini mengubah kalimat syahadat, kata Nabi Muhammad diganti Ahmad Moshaddeq. Di samping itu, aliran ini juga melarang pengikutnya untuk menjalankan shalat lima waktu diganti dengan shalat malam. Dan baru tanggal 5 Oktober 2007 lalu, aliran ini diputuskan sesat oleh MUI.
Sebenarnya kalau dirunut ke belakang masih banyak aliran-aliran yang dinyatakan sesat yang bercokol di bumi pertiwi ini, sebut saja LDII yang muncul tahun 70-an, inkaru al-sunnah tahun 80-an, salamullah yang dipimpin oleh Lia Eden, Isa Bugis, lembaga kerasulan, baha’i dan semacamnya. Semua aliran tersebut diklaim sesat oleh MUI pada masanya. Alasannya, di samping telah merisaukan warga, aliran tersebut juga telah menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa faktor yang melatarbelakangi hadirnya aliran-aliran semacam itu? Jawaban terkait dengan pertanyaan tersebut sangat variatif. Ada yang mengatakan karena ingin mencari popularitas, ada juga yang menyatakan minimnya pengetahuan keagamaan, ada juga kurangnya penghayatan terhadap keberagamaannya, dan banyak lagi yang lainnya. Namun yang patut diperhatikan dalam tulisan ini, bahwa salah satu sebab-musabbab munculnya aliran sesat tersebut adalah mereka tidak faham betul terhadap kitab suci, dalam hal ini al-Quran. Penafsiran yang mereka lakukan sangat sempit dan tidak mengikuti metodologi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama.
Muhammad Husain Adz-Dzahabi berpendapat bahwa dalam beberapa buku tafsir klasik maupun modern, dengan berbagai sistem, orientasi dan metodenya masing-masing, terdapat banyak penyimpangan dalam memahami taks al-Quran. Juga terdapat penyimpangan-penyimpangan makna yang bukan saja tidak sesuai dengan rasa bahasa arab yang benar tetapi juga telah menghilangkan keindahan al-Quran itu sendiri, dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok islam, sehingga dapat menjerumuskan pembacanya kepada kekafiran.[10]
Oleh karena itu, beliau melakukan penelitian tentang penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam beberapa buku tafsir dari masa ke masa dalam berbagai madzhab dan aliran, kemudian beliau juga mengumpulkan contoh-contoh pemikiran yang menyimpang dan penafsiran yang mengubah makna al-Quran dari yang sebenarnya.[11]
Said Aqil Munawar setelah berdebat dan mengalahkan Mushaddeq menyatakan bahwa pimpinan al-qiyadah al-islamiyah itu betul-betul orang cerdas dan pintar tapi sayang dia hanya menguasai kepintaran dirinya sendiri dalam memahami kitab sucinya sehingga hasil penafsirannya sesuai dengan seleranya sendiri. Oleh karena itu, beliau menghimbau agar Mushaddeq mempelajari ilmu-ilmu al-Quran dan membaca buku-buku tafsir.[12]
Belum lama, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengajak semua umat Islam untuk memperkuat keimanan dan aqidah dengan menggunakan tafsir kitab suci al-Quran secara benar agar tidak terjerumus pada aliran sesat. Dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Rohana Manggala, pada acara kajian sosial dan keagamaan yang berlangsung di Balaikota Jakarta, menekankan pentingnya penafsiran al-Quran secara benar.
Gubernur DKI menilai fenomena maraknya aliran sesat saat ini salah satunya akibat banyaknya orang yang menafsirkan al-Quran tanpa pemahaman dan ilmu yang tepat. “Kita harus memperkokoh aqidah kita dengan tafsir al-Quran berdasar pada kaidah yang benar, tuntunan agama sangat penting artinya bagi kita,” kata Rohana mengutip kata-kata Fauzi Bowo.[13]
Dengan demikian, diketahui bahwa penafsiran sangat erat kaitannya dengan tindakan keberagamaan umat manusia dalam kesehariannya. Oleh sebab itu, diperlukan penjelasan dan pemahaman yang tepat dalam menelaah al-Quran, sehingga tafsir yang dihasilkan tidak sesat dan menyesatkan sebagaimana telah dilakukan oleh banyak kalangan. Penafsiran yang tepat akan membawa pada keselamatan sedangkan penafsiran kaum “ngawuriyah” akan membawa pada kesalahan dan dosa. Dalam konteks ini, kita merasa perlu untuk membangun sebuah budaya baru, yaitu budaya penafsiran, tentunya dengan menggunakan metode dan langkah yang telah dilakukan oleh ulama salaf dan yang dirangkai oleh ulama khalaf.


Membangun Budaya Penafsiran
Para ulama klasik berpendapat tentang keilmuan islam sebagai berikut: ada dua macam ilmu sudah matang dan sempurna yaitu ilmu nahwu dan ushul. Dua macam ilmu sudah matang tapi belum sempurna yaitu ilmu fikih dan hadis. Dan dua macam ilmu yang belum matang dan belum sempurna yaitu tafsir dan bayan.[14].
Ungkapan Amin al-Khuli yang dikutip dari pandangan ulama klasik tersebut dapat dijadikan sebagai kenyataan faktual bahwa tafsir merupakan ilmu yang mesti dipikirkan secara bersama perihal pengembangannya. Dalam kapasitasnya sebagai ilmu yang belum matang dan belum sempurna, tafsir harus mendapatkan perhatian yang semestinya. Perlu dilakukan konfrensi al-Quran yang bertaraf nasional, regional, bahkan internasional untuk merancang bangun tafsir yang mempunyai relevansi untuk zamannya. Terlebih di bumi pertiwi, karena penulis melihat perkembangan penafsiran sangat lamban dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya semisal sosial, ekonomi dan politik.
Kalau diperhatikan, ketiga disiplin ilmu yang terakhir itu mendapat ruang yang sangat luas dalam khazanah keilmuan di bumi pertiwi. Sedangkan tafsir yang notabene berhadapan langsung dengan al-Quran yang merupakan way of life mereka tidak mendapat perhatian yang semestinya. Karenanya, diperlukan perhatian khusus untuk mewujudkan budaya penafsiran di bumi pertiwi. Apalagi di tengah-tengah arus globalisasi yang ditandai dengan kompetisi yang sangat intens di seluruh aspek kehidupan, penafsiran dibangun sedemikian rupa sehingga bisa memberikan sumbangsih pemikiran pada problematika internal yang dihadapi umat islam di bumi pertiwi dan problematika eksternal yang melibatkan seluruh penduduk islam sedunia.
Menurut penulis ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk membangun budaya penafsiran di bumi pertiwi. Pertama, membudayakan kembali pembacaan dan pengkajian terhadap tafsir-tafsir ulama klasik (salaf). Pembacaan dan pengkajian terhadap tafsir klasik akan memberikan inspirasi dan akan mengilhami ilmu-ilmu baru yang bisa dirangkai menjadi sebuah produk tafsir di masa kini. Sudah sepatutnya ulama-ulama tafsir terdahulu semisal Imam al-Thobari, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Suyuthi, al-Baidlawi, al-Nasafi, al-Nisaburi dll., As-Singkili, Munawar Chalil, A. Hasan Bandung, Mahmud Yunus, Halim Hassan, Zainuddin Hamidi, Kasim Bakry dll., diingat kembali dalam ranah penafsiran di bumi pertiwi. Mereka sudah memulai tradisi dan budaya penafsiran yang patut diteladani oleh generasi penerus bangsa di masa sekarang dan masa yang akan datang untuk melahirkan mutiara-mutiara makna yang dapat menghangatkan kembali wacana penafsiran di bumi pertiwi.
Apalagi ketika kita mengingat zaman yang semakin merosot dan instan seperti sekarang ini. Tentunya, membuka sejarah masa lalu para mufassir akan memberikan motivasi moril, betapa mereka telah gigih dan berjuang keras untuk menjelaskan al-Quran dengan pembahasannya yang sangat kaya padahal pada zaman itu problematika keumatan mungkin tidak serumit dan sekompleks saat ini. Dengan demikan, akankah al-Quran yang bagaikan samudera akan kita biarkan mengering tanpa sentuhan, sedangkan umat manusia masa kini berada dalam jurang problema yang sangat kompleks dan dinamis?.

Kedua, reaktualisasi terhadap penafsiran ulama kontemporer. Langkah kedua ini merupakan lanjutan dari yang pertama. Karena bila kita hanya berhenti pada langkah pertama, maka kita akan mudah terjebak pada romantisme masa lalu, glorifikasi. Bila hal itu terjadi, maka produk tafsir yang dihasilkan nantinya tidak akan mampu menjawab tantangan zaman kontemporer dan problematika keumatan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, pembacaan terhadap karya tafsir kontemporer patut digalakkan sehingga muncullah pemikiran kontemporer, khususnya dalam penafsiran.
Tetapi, berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru an sich. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan klasik, untuk berta'ammul dan bertadabbur dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran.
Karya al-Zamakhsyari, al-Razi, Wahbah Zuhaily, Qurais Shihab, Moh. E. Hasyim, kiranya perlu diteliti dan dibaca ulang untuk menemukan kekayaan ilmu yang ada di dalmnya di masa sekarang dan yang akan datang. Patut kiranya pernyataan Abbas Mahmud Al-'Aqqad: Kita berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.[15] dijadikan motivasi untuk membangkitkan ruh penafsiran dewasa ini.

Ketiga, mengkompromikan tradisi penafsiran ulama salaf dan kholaf. Setelah seluruh tafsir, baik klasik maupun modern, sudah dibacan, dipahami, dan dikuasai, maka sudah saatnya memadukan kedua teori penafsiran dimaksud dengan tujuan untuk menghasilkan produk tafsir yang sesuai dengan kebutuhan zamannya tanpa kehilangan nilai historisitas di dalamnya.
Di samping ketiga langkah di muka perlu diingat pula bahwa menjadikan “sesuatu” sebagai budaya bukanlah pekerjaan mudah, dibutuhkan semangat perjuangan keras dan solidaritas yang kuat antara satu fihak dengan fihak yang lain. Kalau dalam konteks keindonesiaan, fihak pemerintah dengan para ulama, ulama dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, dan sebagainya. Kesemua fihak tersebut kemudian menyusun langkah konkret yang dapat diejawantahkan dalam realitas, semisal membentuk forum kajian rutin tafsir. Dalam acara demikian, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator, kaum agamawan sebagai kontributor tafsirnya dan seterusnya.
Itulah kiranya langkah perwujudan budaya penafsiran di bumi pertiwi. Diharapkan dengan langkah tersebut, di masa yang akan datang Negara Indonesia selaku Negara islam besar dapat memberikan sumbang pemikiran dalam khazanah penafsiran. Tentunya, penafsiran ala Indonesia yang bisa saja berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh Negara-negara lain dalam semua kapasitasnya.


Simpulan
Sebagai simpulan penulis hanya bisa mengatakan bahwa al-Quran adalah samudera yang terbentang luas dan tidak pernah hilang kekayaannya. Ia menjadi kitab yang akan memberikan petunjuk bagi kehidupan umat manusia bilamana nilai-nilai di dalamnya digali secara tepat dan benar, karena al-Quran—sebagaimana dikatakan oleh Imam Ali—tidak dapat berbicara dengan sendirinya. Di situlah membudayakan penafsiran al-Quran menemukan mumentumnya.
Yang perlu diingat, pembangunan budaya tidak semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi dibutuhkan upaya yang serius dan berkesinambungan, terutama di zaman yang lintas batas sekarang ini yang meniscayakan munculnya mufassir-mufassir dan gagasan baru yang mempunyai relevansi dengan kenyataan kontemporer. Semoga tulisan ini menjadi salah satu inspirasi terbentukanya budaya penafsiran di bumi pertiwi ini. Amien…

Daftar Pustaka
Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, 1974.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1995.
Dr. Ali Hasan Al ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (terjemah), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (terjemah), Jakarta Utara, PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia (terjemah), Bandung, Mizan, 1996.
http://idiaprenduan.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=38.
http://luluvikar.blogspot.com/2006/07/arkeologi-pemikiran-tafsir-di.html.
Islah Gusmian, Khazahan Tafsir Indonesia dari Hermenutika hingga Ideologi, Jakarta, Teraju, 2003.

Jakarta Poss, edisi Rabu, 28 November 2007.
Muhammad Shahrur dkk., Studi al-Quran Kontemporer (terjemah), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 2002.
Prof. Dr. Nashrddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, Solo, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta, Fitrah, 2007.


Footnetes
[1] Surat al-Furqan (25), ayat 23
[2] Dr. Ali Hasan Al ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (terjemah), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal: 03
[3] Muhammad Shahrur dkk., Studi al-Quran Kontemporer (terjemah), Yogyakarta, PT. Tiara Wacaran, 2002, hal: 03
[4] Data ini penulis kutip dari tulisan Farid F. Saenong,MA yang berjudul “Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia; Upaya Perintis” setelah melalui proses editing bahasa, pengurangan dan penambahan, diambil dari http://luluvikar.blogspot.com/2006/07/arkeologi-pemikiran-tafsir-di.html, dengan idzin pemiliknya via blogger.com.
[5] Penjelasan lengkapnya dapat dibaca dalam buku Prof. Dr. Nashrddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, Solo, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003, hal: 31-109. Dalam buku tersebut, penulis menjelaskan sejelas-jelasnnya bentuk, metode, dan corak tafsir yang digunakan dalam setiap periode sekaligus contoh dan foto copynya
[6] Data ini penulis kutip dari tulisan Taufikurrahman yang bertema “Kajian Tafsir di Indonesia (tahun 1960-2008)” setelah melalui proses editing bahasa, pengurangan dan penambahan, diambil dari website http://idiaprenduan.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=38, dengan idzin penulisnya via email.
[7] Ketiga poin tersebut penulis ringkas dari tulisan Zuhairi Misrawi dalam bukunya: Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta, Fitrah, 2007, hal: 108-130.
[8] Surat al-Baqarah (2) , ayat: 269.
[9] Diberitakan olah stasiun televisi Trans7 pada hari Jumat, 13 Februari 2009, jam 11 Siang.
[10] Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (terjemah), Jakarta Utara, PT. RajaGrafindo Persada, 1996, hal: ix.
[11] Tentang penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Quran dapat dibaca secara lengkap dalam karya Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi tersebut di muka.
[12] Tentang hal itu, penulis pernah melihat ditayangan salah satu chanel televise setelah Said Aqil Munawar diberikan kesempatan untuk berdialog dengan Mushaddeq yang berakhir dengan pengakuan kalah dan penyerahan pimpinan al-qiyada al-islamiyah.
[13] Jakarta Poss, edisi Rabu, 28 November 2007.
[14] Ungkapan tersebut dikutip dari buku al-Quran Kitab Toleransi yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi, hal: 101.
[15] Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, 1974, hal: 197.


*Penulis adalah Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...