Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Senin, 20 April 2009

Pemerintahan yang Memasyarakat

Pemerintahan yang Memasyarakat
Oleh: Tirmidzi*


Dengan proses yang cukup menegangkan, pemilihan calon legeslatif untuk semua tingkatan telah rampung dilaksanakan. Pesta demokrasi yang menjadi momen bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa dan Negara Indonesia telah dinyatakan selesai, walaupun berbagai macam hambatan dan kendala seperti kesemrautan daftar pemilih tetap (DPT), money politic, kesalahan cetak surat suara dan surat suara tertukar antar dapil bahkan antar daerah, kecurangan dalam pencontrengan dan lainnya masih ditemukan di berbagai tempat.
Sampai kemaren (sabtu, 11/04), badan pengawas pemilu (bawaslu) telah menerima kurang lebih 549 laporan pelanggaran baik pidana maupun administrasi dari 33 provinsi di seluruh Indonesia. Dari laporan yang masuk, pelanggaran terbanyak adalah berupa pelanggaran administrasi yaitu sebanyak 363 laporan dan pelanggaran pidana sebanyak 75 laporan, serta pelanggaran lainnya tercatat 111 laporan. (Kompas, 12/04/09).
Di hari berikutnya, dinyatakan bahwa bawaslu sudah menerima hampir 1000 laporan pelanggaran, yaitu sebanyak 963. Pelanggaran pidana di antaranya adalah money politik 39 kasus, pemilih memberikan suara lebih dari satu 14 kasus, sengaja mengaku diri sebagai orang lain 18 kasus, KPPS tidak menjaga dan mengamankan kotak suara 10 kasus, dan intimidasi pemilih 17 kasus. (Kompas, 14/04/09).
Walau demikian, sebagai Negara yang majemuk secara prosedural bangsa ini telah berhasil menyelenggarakan pemilu secara demokratis, toh walaupun tidak menyeluruh. Akan tetapi, yang patut diingat bahwa demokrasi bukan semata persoalan prosedur, melainkan tidak kalah pentingnya adalah sebuah kometmen untuk menjunjung tinggi hukum dan menghargai hak-hak asasi setiap warga Negara sebagai substansinya.

Demokrasi Substantif
Secara historis, penulis melihat bahwa demokrasi yang berjalan dalam beberapa periode di Negara ini, baik demokrasi parlementer (1945-1959), terpimpin (1959-1965), pancasila (1965-1998), orde baru, dan reformasi sampai sekarang hanya berkutat dalam tataran prosedural an sich. Hal itu terlihat dari beberapa problema kemasyarakatan yang belum menemukan titik final, utamanya masalah masyarakat miskin yang terus tumbuh subur di dalam masyarakat kita sedangkan pemerintah sepertinya hanya bersikap emoh terhadap fenomena tersebut.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, Jawa Timur (jatim) sampai pada bulan Maret 2008 memiliki ‘koleksi’ masyarakat miskin sebesar 6,65 juta atau 18,51 persen. Di tahun yang sama, Jawa Tengah sebesar 7,64 juta atau 19,23 persen, sedangkan di Jawa Barat di tahun yang sama masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan masih mencapai 5,46 juta atau 13,55 persen. Data tersebut hanya yang terjadi di pulau jawa, seberapa besar tingkat kemiskinan di Negara kita seluruhnya?, maka kita bisa membayangkan kuantitasnya dalam benak kita masing-masing.
Fenomena demikian memperkuat asumsi bahwa demokrasi yang kita anut sampai detik ini hanyalah konseptual belaka, sedangkan substansinya masih nihil. Alih-alih menjadi wakil masyarakat yang akan memperbaiki kehidupan mereka tapi yang terjadi justeru sebaliknya, aspirasi masyarakat tidak terwakili dan bahkan mayoritas dari mereka cenderung semakin terjerembab dalam keterpurukan.
Oleh karena itu, pemilu yang telah dilaksanakan beberapa hari yang lalu diharapkan akan melahirkan pemerintahan yang tidak hanya melulu menekankan teori dan konsep, lebih dari itu dapat benar-benar menjadi medium pencerahan bagi masyarakat dalam semua aspeknya. Sehingga, substansi demokrasi untuk membangun pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people) bisa terwujud.
Demokrasi tidak datang serta merta. Ia membutuhkan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan penghayatan. Salah satu cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid (2003), menyatakan bahwa pandangan hidup demokratis dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah berkembang, baik secara teoritis maupun pengalaman praktis, baik dari dalam maupun dari luar. Beliau melanjutkan, setidaknya ada lima unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan pemerintahan demokratis yaitu: kesadaran akan pluralitas, musyawarah, kejujuran dan kemufakatan, kebebasa nurani, dan persamaan hak dan kewajiban.
Untuk mewujudkan beberapa unsur tersebut bukanlah pekerjaan mudah, tapi dibutuhkan paeran aktif dari semua pihak. Pemerintah sebagai alat Negara yang lebih memiliki kewajiban menjaga dan mengembangkan demokrasi diharapkan bisa memberi dukungan dalam pencapaian orientasi demokrasi dan bertindak tegas terhadap tindakan-tindakan kelompok yang berupaya mencederai kemurnian demokrasi. Namun juga tidak dapat dilupakan bahwa partisiasi masyarakat mutlak dibutuhkan karena dalam pemerintahan demokratis masyarakat pada hakikatnya adalah ‘raja’ sedangkan pemerintah hanyalah ‘hamba’ yang mewakili mereka, bukan sebaliknya. Berdasar asumsi tersebut, penulis hanya bisa menegaskan bahwa substansi pemerintahan demokratis meniscayakan lahirnya kebijakan yang memihak pada masyarakat, bukan sebaliknya.



* Penulis sekarang Aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 komentar:

  1. Setelah membaca tulisannya pak Eep tentang Demokrasi Indonesia di Kompas beberapa waktu lalu, dan membandingkan dengan kenyataan di lapangan, saya jadi timbul pertanyaan yang terus menggelayut di benak saya, demokrasi apakah yang sedang terjadi di sini? Apakah yang sedang kita jalani hari ini adalah benar-benar demokrasi atau sebenarnya gaya lama tapi dibungkus baru dengan label demokrasi?
    Bingung bro...

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...