Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

Pesantren Versus Korupsi

Pesantren Versus Korupsi
Oleh: Tirmidzi*


Perdebatan mengenai korupsi tidak pernah habis. Ternyata korupsi terus mengiringi perjalanan bangsa ini. Akhir-akhir ini, ia concern mengusik masyarakat Indonesia, di Jawa Timur (jatim) khususnya. Di jatim korupsi tak ubahnya mahluk halus yang bergentayangan. Di setiap tempat dan keadaan korupsi selalu tampil. Istilah korupsi sangat familiar dalam tataran masyarakat dan eksistensinya dibenci oleh mereka. Sekarang ia bagaikan “hantu kebudayaan” yang tidak berbudaya yang terus menghantui perjalanan hidup masyarakat jatim. Akhirnya, ia diklaim sebgai black culture yang mewarnai sejarah kehidupan masyarakat jatim dewasa ini.
Disadari atau tidak, korupsi makin hari terus menampakkan sosoknya. Bahkan sekarang menurut banyak kalangan, korupsi telah menggurita dan melembaga. Terbukti, menurut Rifa’ie (2005) saat ini banyak institusi, baik sosial, ekonomi, politik, bahkan agama sekalipun, yang terjangkit “penyakit” korupsi. Penahanan Mantan Bupati Jember dan Sekkabnya, Mantan Ketua DPRD Sidoarjo, Bakesbang Linmas Surabaya yang marak diekspos media akhir-akhir ini (Surya, 26/05), turut melengkapi arsip dugaan korupsi yang telah diungkap sebelumnya.
Tidak dapat dipungkiri, semarak korupsi di jatim tentu menjadi tamparan keras terhadap masyarakat, mengingat kompleksitas permasalahan yang terjadi saat ini, seperti kemiskinan, pendidikan, dan korban lumpur Lapindo yang semakin tidak menentu, belum bisa dicarikan solusi alternatifnya. Dan masih terbersit lekat dalam ingatan bahwa pada tahun 2006 kemaren jatim dinobatkan sebagai juara tida provinsi terkorup setelah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akankah jatim akan merebut peringkat pertama pada tahun ini.
Dan yang lebih ironis mengingat bahwa jatim dikenal sebagai daerah religirus. Pernyataan itu setidaknya dapat dilihat dari banyaknya pesantren yang tersebar di daerah jatim, madrasah, masjid, dan sarana keagamaan lainnya. Idealnya, sarana keagamaan yang sangat variatif tersebut mampu meningkatkan religiositas masyarakat yang dimanifestasikan dalam tindakan positif di dalam kehidupan ini. Tapi ironisnya, fakta yang ada di jatim berbicara lain. Bersama masyarakat religius itulah benih-benih korupsi terus berkembang biak dan tumbuh subur bersama religiositas tersebut.
Banyak pandangan mengenai hal itu. Menurut Jamhuri Makruf (2002) sebagaimana dikutip oleh Muh. Kholid bahwa semarak korupsi di tengah masyarakat religius menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap agamanya masih minim yaitu bersifat personil, sehingga mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Ada yang menyatakan bahwa ajaran keagamaan masih belum sampai pada hati nurani. Sebanyak dan sebesar apapun nilai-nilai religius yang ditanamkan tidak akan berpengaruh tanpa peran aktif hati nurani. Bahkan ada yang menyatakan bahwa nilai-nilai keagamaan hanya dijadikan simbol belaka, yang terkadang dijadikan “topeng” untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama itu sendiri.
Kondisi yang demikian sudah tentu tidak bisa dibiarkan. Solusi kreatif-antispatif sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Penulis melihat, pesantren adalah lembaga ideal yang memiliki potensi untuk memberantas korupsi, mengingat pesantren di jatim memiliki peran strategis dalam kehidupan masyrakat. Pun juga, karena pesantren selama ini (sepertinya) hanya berkonsentrasi pada pengembangan keilmuan dan pemberdayaan masyarakat secara normatif bukan praksis. Tanpa mengurangi rasa ta’dhim terhadap pesantren, kiranya sudah saatnya sekarang pesantren menunjukkan efektivitasnya dalam kehidupan yang riil, sekaligus untuk mengembalikan citra pesantren yang akhir-akhir ini acapkali dicemooh dengan sitigma-stigma negatif, seperti tradisionalisme, koservatisme, ortodoksisme,dan isme-isme negatif-destruktif lainnya.

Fungisionalisasi Pesantren
Ketika diskursus tentang pesantren digelar, maka yang terlintas dalam pikiran adalah kiai sebagai pengasuh, santri, kitab kuning, jajaran pondok, pengurus, dan kegiatan-kegiatan keislaman yang menjadi rutinitas dalam pesantren. Sampai saat ini pesantren tetap diakui sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mampu membangun integritas intelektal para santrinya di samping integritas moral mereka yang merupakan tujuan utama pesantren. Sebagai lembaga pendidikan, utamanya pesantren dioriantasikan liutammima makarima al akhlaq sebagaimana diajarkan oleh Nabi. Selain itu, pesantren juga dijadikan media untuk membidik santrinya menjadi sosok yang mendalam keagamaannya (tafaqquh fiddin). Yang dengan demikian, mereka bisa berinteraksi dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan dapat menciptakan suasana yang lebih agamis.
Berdasar gagasan tersebut, sangat tepat apabila pesantren saat ini difungsikan untuk memberantas tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti korupsi. Meskipun secara leksikal pesantren adalah tempat bagi santri untuk mendalami ilmu agama, tapi tujuan akhirnya, sebenarnya bagaimana pesantren bisa menjadi agent of social change, tentunya perubahan yang lebih positif-konstruktif dalam masyarakat.
Penulis melihat pesantren merupakan sarana yang memiliki kekuatan potensial untuk itu. Terutama mengingat elemen yang dimiliki pesantren. Pertama, kiai sebagai pengasuh. Peran kiai dalam masyarakat sangat besar. Dengan kharismatik dan ilmu yang dimiliki, semua perkataannya mudah diikuti untuk dijadikan barometer hidup oleh masyarakat. Mengutip pernyataan Wakil Presiden RI, saat membuka Musyawarah Nasional NU, “kalau seorang kiai yang berbicara maka 95-100 persen masyarakat akan mengikutinya”. Dengan demikian, kiai bisa diikutsertakan dalam pemberantasan korupsi. Banyak cara yang bisa dijadikan medianya seperti forum-forum, baik forum fomal tau nonformal, atau dengan mendirikan majlis persatuan ulama antikorupsi. Majlis seperti itu diorientasikan pada penyadaran masyarakat, termasuk koruptor yang terus meningkat. Tentunya cara seperti itu akan lebih efisien dan lebih besar pengaruhnya dari pada teriakan-teriakan masyarakat yang berunjuk rasa di jalanan yang menuntut pemberantasan korupsi.
Kedua, santri. Sampai saat ini eksistentsi para santri lebih mudah diterima di tengah masyarakat. Dari segi moralitas dan intelektualitas, mereka lebih dipercaya dari pada nonsantri. Kesempatan demikian dapat dijadikan media untuk mengadakan advokasi atikorupsi, baik secara individual atau komunal. Secara individual, mereka bisa memberikan pandangan dan pencerahan terhadap masyarakat, dengan vis a vis misalnya. Secara komunal, acara-acara resmi seperti dialog, majlis dzikir, seminar, dan semacamnya dapat dijadikan salah satu medianya. Santri sebagai sosok yang memiliki pengetahuan diharapkan menjelaskan secara panjang lebar hal-hal yang terkait dengan korupsi, terutama dampak negatifnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, lebih-lebih agama. Acara seperti itu sedikit banyak akan mempengaruhi masyarakat. Bagi mereka yang pernah melakukan korupsi, mereka secara gradual akan sadar diri, sedangkan mereka yang belum menyentuh tindak korupsi akan merasa takut dan enggan melakukannya.
Ketiga, kitab kuning. Kitab kuning merupakan salah satu ciri pondok pesantren. Kitab kuning mayoritas adalah tulisan ulama-ulama klasik. Muatannya sangat komprehensif, bergantung minat dan bakat penulisnya, baik tentang akhlaq, tasawuf, akidah, tauhid, fiqh, dan ajaran-ajaran keagamaan lainnya. Di dalamnya, hal-hal yang terkait dengan agama dijelaskan, mulai dari penjelasan secara global sampai yang detail, sehingga (sepertinya) tidak ada permasalahan yang tertinggal, termasuk tindak korupsi. Dalam hal ini, mereka (kiai dan santri) dituntut untuk mencari dalil sebanyak-banyaknya baik berupa ayat Alquran, hadis Nabi, perkataan sahabat, atau pendapat ulama. Jadi, kitab kuning bisa dijadikan alat legitimasi untuk memperkuat pendapat mereka dalam aksi penyadaran antikorupsi. Di samping memang kitab kuning merupakan teman karib mereka, juga karena kitab kuning memiliki citra dan reputasi dalam masyarakat.
Keempat, out put pesantren. Setiap tahun di Indonesia, jatim khusunya, mengeluarkan ratusan atau bahkan ribuan santri. Mereka tersebar di seluruh tempat dengan profesi yang berbeda-beda, ada yang menjadi petani, kepala desa, kiai, satpam, pebisnis, da’i, politisi, dan profesi lainnya. Terlepas dari profesi masing-masing, sangat penting bagi mereka untuk tetap mempertahankan kesantriannya, baik moral atau wawasan keilmuannya, sehingga mereka bisa menjadi contoh teladan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana mereka bisa mengahapus tindakan-tindakan amoral, seperti korupsi, dan menggantikannya dengan tindakan yang sesuai dengan ajaran agama. Sangat sulit memang merealisasikan hal itu, lebih-lebih ketika mereka sebagai kaum minoritas. Tapi penulis yakin dengan tekad bulat dan progressive commitment sedikit demi sedikit semuanya bisa dilakukan.
Itulah serangkaian elemen pesantren yang dapat diikutsertakan dalam pemberantasan korupsi. Jika cara seperti itu dilaksanakan secara inten, maka sudah tentu tindak korupsi akan musnah atau setidaknya berkurang. Sekarang yang perlu dicatat adalah bahwa semua itu bergantung pada pesantren itu sendiri. Apakah pesantren ingin menjadi lembaga pendidikan an sich tanpa peduli pada problematika sosial, atau akan menjadi gerakan sosial yang akan menciptakan perubahan signifikan dalam masyarakat, atau bahkan kedua-duanya. Tapi yang jelas, masing-masing pilihan memiliki konsekuensi logis yang harus diterima oleh pesantren. Sebagai kata akhir, Jimmy Wals menyatakan “where is a will there is a way”, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Wallahua’lam.


* Mahasiswa Kelas Internasiona,
Sek. Litensi PESMA IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...