Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Rabu, 08 April 2009

KETIKA KIAI BERPOLITIK

KETIKA KIAI BERPOLITIK
(Mendiskusikan Kiai Berpolitik)
Oleh Tirmidzi*


Elit agama-sosial yang oleh masyarakat Jawa biasa disebut kiai sering menjadi bahan perdebatan banyak kalangan, baik pengamat, politisi, akademisi, dan bahkan oleh kalangan kiai itu sendiri. Ketika kiai berpolitik, demikianlah kiranya tema diskusi yang berlanjut dewasa ini, layakkah kiai terjun dalam politik praktis?.
Dalam rubrik ini, sudah beberapa tulisan yang mendiskusikan tema tersebut. Diawali dengan tulisan saudara Syaiful Amin dengan judul Salahkah Kiai Berpolitik?, perdebatan manarik dimulai. Dalam artikelnya tersebut, dia—walaupun tidak secara langsung—berkesimpulan bahwa kiai akan lebih baik jika tidak terjun dalam dunia politik praktis dengan beberapa alasan yang diajukannya secara cermat dan cerdas. (Kompas edisi Jatim, 17/03/09).
Kemudian disusul dengan artikel saudara Abd. Sidiq Notonegoro yang berjudul Mempersoalkan Kiai Berpolitik. Dalam tulisannya, dia mencoba untuk mengklasifikasikan istilah kiai pada formal dan nonformal, kiai yang memiliki pesantren plus santri dan yang tidak. Ending tulisannya, dia berkesimpulan bahwa kiai dalam pengertian nonformal boleh-boleh saja terjun dalam dunia politik praktis. Dengan keyakinan bahwa masuknya kiai dalam politik telah mampu membawa dampak signifikan terhadap keadaan kondusif kehidupan masyarakat. Dengan tiga alasan yang diajukannya, kemudian dia pasrah bahwa semua itu harus dikembalikan pada hati nurani kiai, karena mereka memiliki hubungan yang sangat erat dan inten dengan Tuhan yang dapat dijadikan modal untuk terjun dalam dunia politik. (Kompas edisi Jatim, 01/04/09).
Di hari berikutnya, muncul artikel saudara Syafiqurrahman Menilai Bijak Kiai Berpolitik. Dalam tulisan tersebut, penulis lebih menilai positif masuknya kiai dalam dunia politik praktis. Dengan memberi contoh pergulatan partai-partai politik yang terjadi di PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep-Madura, dia mengilustrasikan bahwa kiai berpolitik tidak selamanya bisa meninggalkan tugas-tugas pokok lainnya, semisal mengurus pondok dan santrinya.
Lebih jauh lagi, dia mengajak kita semua untuk melihat bahwa dewasa ini sudah ada “rebutan” kekuasaan antara kiai dan pengusaha. Dalam ranah ini, kiai yang sangat dekat dengan masyarakat diyakini sebagai pengimbang bagi kaum pengusaha yang merupakan wakil kalangan berdasi, pemilik modal. Kedekatan kiai dengan masyarakat tersebut dinilai akan secara otomatis berimplikasi pada kebijakan yang lebih memihak pada masyarakat ketika mereka duduk di parlemen nantinya. (Kompas edisi Jatim, 02/04/09).
Diskursus kiai berpolitik seperti di muka bukanlah wacana baru di bumi pertiwi, melainkan wacana kuno yang dinamis dan akan terus berkembang seiring dengan isu politik sepanjang masa. Bahkan pada awal orde baru, Nurcholish Madjid telah menjadi prakarsa pemisahan agama yang sakral dan politik yang profan dan dianggap kotor. Tapi di kesempatan yang berbeda, Emha Ainun Najib mencoba mengompromikan keduanya dengan jargonnya “Islam Yes, Politik Yes”.
Walau demikian, perdebatan tentang boleh-tidaknya kiai berpolitik dalam beberapa artikel di rubrik ini perlu diapresiasi secara positif. Perdebatan semacam itu harus dinilai secara proporsional sebagai kekayaan wacana dengan tanpa mengecam satu sama lain. Lebih-lebih setelah penulis melihat, baik kelompok pro maupun kontra memiliki alasan yang sama-sama kuat dan riil.
Namun, yang perlu dipertegas bahwa eksistensi kiai—terlepas apakah dalam pengertian formal atau nonformal—di tengah masyarakat dapat melakukan banyak peran. Mereka dapat berperan sebagai pendidik agama, pemuka agama, pelayan sosial, termasuk ada juga yang melakukan peran politik seperti melalui jalur partai dan semacamnya, terlebih setelah tumbangnya orde baru yang otoriter. Era reformasi benar-benar menjadi gerbang pencerahan bagi peran dan dialektika seorang kiai.

Tiga Dimensi

Berbeda dengan masyarakat biasa, kiai dianggap sebagai sosok yang memiliki nilai lebih dalam semua kapasitasnya. Paling tidak ada tiga dimensi yang harus tercermin dalam sosok seorang kiai. Ketika kiai berpolitik, tiga dimensi ini akan menjadi lebih penting untuk ditumbuhsuburkan sebagai penopang perpolitikan yang akan dilakoni. Pertama, spiritual. Dimensi tersebut dapat difungsikan sebagai rujukan kembali pada hati nurani daripada menggunakan rasio sebagaimana terjadi pada para politisi kita dewasa ini dan untuk mentransendensikan politik duniawi menjadi dimensi perjuangan yang berorientasi jangka panjang di masa depan.
Kedua, sosial. Dikatakan bahwa kiai adalah yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan dimensi itu diharapkan ketika kiai berpolitik dapat betul-betul berangkat dari dan demi kepentingan masyarakat umum, bukan kepentingan pribadi, golongan yang sifatnya temporal. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan nantinya sesuai dengan suara dan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, hukum formal. Menurut A. Muhaimin Iskandar, dimensi ini patut dikembangkan untuk menopang proses pelembagaan politik agar praktik-praktik politik dapat berjalan secara akumulatif menuju terbentuknya sistem perpolitikan dan pemerintahan yang kokoh.
Ketiga dimensi di muka harus dijadikan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga seorang kiai dapat menampilkan citra kiai yang seutuhnya, terlebih bagi mereka yang terjun dalam dunia politik yang dianggap kotor. Dengan dimensi-dimensi tersebut, bagaimana mereka bisa benar-benar dapat menjadi uswatun hasanah dalam setiap tindak-lakunya termasuk dalam dunia politik. Semoga.

* Penulis sekarang Aktif di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini telah Dimuat di Harian Kompas edisi Jatim, 06/04/2009

4 komentar:

  1. Klo menurut saya sih gak masalah kiai berpolitik asal tidak menyimpang dari ajaran yang sesungguhnya.

    Justru jika bisa menyiarkan yang baik malah sangat bagus.

    BalasHapus
  2. ketika politik itu bagai perang tak berdarah, maka membutuhkan sosok Kyai yang bisa menjaga keseimbangan. Bukan begitu, sahabat?

    BalasHapus
  3. kita tahu bahwa politik itu plin plin, sekarang tahu nanti tempe, sehingga kyai nggak usa ngurusin politik, malahan kalau ikut kredibilitas seorang kyai malah turun

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...