Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

WAKIL RAKYAT, KEMISKINAN DAN PEMBERDAYAAN PARTISIPATIF

WAKIL RAKYAT, KEMISKINAN
DAN PEMBERDAYAAN PARTISIPATIF

Oleh: Tirmidzi*)


Sebentar lagi, bangsa Indonesia akan menggelar perhelatan besar yakni pemilihan umum (pemilu) atau sering disebut sebagai pesta demokrasi. Di tahun 2009 ini Indonesia akan menggelar dua kali pemilu, pertama adalah pemilu untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di parlemen Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan waktu perhelatan tersebut yaitu pada tanggal 9 April untuk pemilihan wakil-wakil rakyat dan pada tanggal 8 Juli untuk pemilihan presiden dan wakilnya.
Dengan demikian, suhu pemilu semakin hangat. Partai-partai politik (parpol) dari berbagai ideologi semakin gencar dalam memperkenalkan dirinya melalui cara yang variatif. Di samping itu, para calon anggota legeslatif (caleg) yang diusung parpolnya masing-masing juga tidak mau ketinggalan. Mereka mempersiapkan diri untuk meraup dukungan rakyat dengan pendekatan yang berbeda-beda pula, mulai pemasangan baliho, spanduk, stiker, selebaran, sampai pergelaran acara-acara resmi seperti seminar, dialog, talk show, dan semacamnya.
Yang menarik diperhatikan sebenarnya bukanlah detik-detik atau semarak demokrasi yang sudah di ambang mata, akan tetapi apa sebenarnya hakikat dari diselenggarakannya pesta demokrasi dimaksud. Sejatinya, pergelaran pesta demokrasi tersebut tidak lain berorientasi untuk mewujudkan amanat Undang-Undang 1945 sebagaimana dirumuskan oleh founding fathers Negara Indonesia. Dalam pembukaan UUD 45, terdapat amanat sekaligus cita-cita bangsa Indonesia yakni untuk mewujudkan suatu tata kehidupan masyarakat yang aman, adil, sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia, pancasila. Dalam istilah GBHN pada masa orde baru dikenal dengan istilah “gemah ripah lohjinawi toto tentram jasaraharjo” atau masyarakat madani dalam bahasa masa kininya.
Cita-cita suci tersebut yang kemudian menginspirasikan diselenggarakannya pesta demokrasi. Sehingga, mekanisme penyelenggaraannya benar-benar mendapat perhatian dari semua fihak, termasuk rencana anggaran yang akan dialokasikan nantinya. Dalam majalah Tempo disebutkan bahwa KPU mengusulkan anggaran untuk membiayai tahapan penyelenggaraan pemilu mendatang pada anggaran tahun 2008 kemaren yaitu sebesar Rp 8,2 triliun. Namun yang disetujuai oleh Menteri Keuangan hanya sebesar Rp 6,6 triliun. Selisih 1,6 triliun, menurutnya akan dialokasikan untuk membiayai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sebesar sebesar Rp 605 miliar, biaya Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) sebesar Rp 4,32 miliar, dan biaya Panitia Pemungutan Suara (PPS) sebesar Rp 1 triliun.
Namun, anggaran tersebut belum menemukan titik final, masih banyak sekali kritikan dan masukan dari berbagai kalangan. Anggota Komisi Pemerintahan, Andi Yuliani Paris, meminta Komisi mengkaji detil anggaran yang diajukan Komisi Pemilihan Umum sebelum menyetujui atau menolak dan menambal selisih anggaran tersebut. Ia mencontohkan, dalam rincian anggaran disebutkan penambahan jumlah pemilih dari 300 menjadi 500 orang di setiap tempat pemungutan suara mengakibatkan bertambahnya penyediaan kotak suara. "Padahal satu TPS 500 orang itu justru menghemat karena tidak ada penambahan kotak suara," katanya.
Ia juga mempertanyakan biaya untuk media center KPU sebesar Rp 24 miliar. Padahal, pada poin lain sudah ada anggaran untuk implementasi aplikasi teknologi informasi pemilu di Komisi Pemilihan Umum Pusat, Provinsi, dan Kabupaten sebesar Rp 23,4 miliar. "Harusnya dua anggaran itu satu," tandasnya.
Hal senada diungkapkan Anggota komisi pemerintahan lainnya Suparlan. Politikus Fraksi PDIP tersebut meminta Komisi Pemilihan Umum menginventarisasi terlebih dahulu alat-alat kelengkapan pemilu sebelum meminta penambahan anggaran.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Sayuti Asyatri meminta Komisi Pemilihan Umum mendesain ulang rincian anggaran. Ia mencontohkan, anggaran yang dialokasikan untuk penyeleksian calon anggota Badan Pengawas Pemilu terlalu besar. "Anggarannya 126 miliar rupiah, Saya tidak tahu angka ini dari mana," paparnya.
Dari penjelasan demikian diketahui bahwa anggaran pemilu mendatang masih dalam pro dan kontra. Terlepas dari hal itu, yang perlu digarisbawahi adalah apakah pemilu yang akan menghabiskan triliunan rupiah bisa mewujudkan cita-cita suci sebagaimana disebutkan? Akankah pemilu demikian bisa menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat? Akankah mereka yang terpilih akan mampu menyelesaikan problematika yang melanda bangsa Indonesia, terutama kemiskinan sebagai penyakit kronis di masa kini?

Fenomena Kemiskinan di Indonesia
Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi alternatifnya. Kemiskinan telah menjadi problema kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Lebih dari itu, kemiskinan merupakan masalah multidimensi, karena sebab dan akibatnya saling berkaitan secara komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemiskinan juga meliputi masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Gejala kemiskinan dapat terjadi pada skala individu (seseorang), pada suatu komunitas, pada suatu daerah, bahkan pada suatu bangsa, seperti Indonesia.
Isu-isu kemiskinan sering disimbolisasikan dengan fenomena sosial. Meski terkadang fenomena itu tidak begitu tepat menggambarkan persoalan kemiskinan yang sesungguhnya. Namun apabila kita menelaah seluruh simbol kemiskinan, maka barangkali kita dapat menemukan arah persoalan kemiskinan yang ada. Menurut Randy R. Wrihatnolo, Persoalan kemiskinan dapat digambarkan oleh beberapa indikasi: (1) kepemilikan aset yang rendah, (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana dasar seperti transportasi, komunikasi, informasi, pasar, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan, (3) kelompok miskin tidak berdaya dan diam karena tekanan faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya, (4) rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi produktif, (5) rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, (6) sistem pemerintahan yang kurang baik telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan pemiskinan, (7) bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan dan lain sebagainya, (8) pelaksanaan otonomi daerah dalam masa transisi telah menyebabkan terjadinya mis-managament dan penyimpangan mulai dari aras nasional sampai di aras paling bawah sistem pemerintahan, dan (9) kebijakan pembangunan pada masa lalu dirasakan belum berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor policy), khususnya dalam kebijakan pemanfaatan sumber daya alam maupun sistem keuangan.
Di Indonesia, kemiskinan menjadi salah satu wacana faktual yang tidak pernah berakhir. Dari masa ke masa, kemiskinan menjadi semacam warisan kepada generasi bangsa dan sampai detik ini problema kemiskinan belum ditemukan solusi dan formulasi bijaknya. Alih-alih meminimalisasi kemiskinan tapi yang terjadi justru problema baru yang turut memenuhi daftar problema bangsa ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.
Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Selanjutnya, Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta orang.
Demikianlah fenomena kemiskinan yang terjadi di Negara tercinta, Indonesia. Pasang-surut kemiskinan secara tidak langsung menggugah semua pihak untuk memikirkan kondisi Negara ini, utamanya pemerintah selaku pemegang kekuasaan dan wakil rakyat. Bagaimana mereka mampu memberdayakan rakyat miskin tentunya dengan kebijakan-kebijakan yang memihak pada rakyat.

Wakil Rakyat dan Pemberdayaan Partisipatif

Sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini bahwa sebentar lagi rakyat akan memilih calon-calon mereka yang akan duduk di parlemen sebagai wakilnya. “Pintu” kampanye telah dibuka. Hal itu mustinya menjadi momentum strategis bagi para calon untuk menampilkan kredibilitasnya pada khalayak, tentunya bukan hanya dengan janji-janji palsu atau imbalan yang sifatnya sementara, akan tetapi dengan langkah-langkah konkret yang dapat dibuktikan dalam realitas riil. Masyrakat tidak butuh janji dan imbalan, mereka butuh bukti dan kesejahteraan serta lepas dari lilitan kemiskinan, mereka butuh keadilan bukan kebohongan.
Salah satu langkah mujarab yang dapat dilakukan oleh para wakil rakyat mendatang untuk menanggulangi kemiskinan adalah melalui proyek pemberdayaan partisipatif. Pemberdayaan sendiri secara teoritik dianggap sebagai pendekatan yang situasional. Teori pemberdayaan telah berkembang dengan beraneka-ragam pijakan dalam 20 tahun terakhir ini. Pemberdayaan dapat berarti sebagai suatu proses, suatu mekanisme penyadaran dimana objek menjadi mengerti dan bisa membaca masalah yang mereka hadapi. Sedangkan partisipatif berarti keikutsertaan objek dalam proses pemberdayaan dimaksud. Simpelnya, pemberdayaan partisipatif adalah proses pemberdayaan dimana objek terlibat aktif di dalamnya.
Kalau diterjemahkan dalam konteks kemiskinan di Negara ini, maka pemberdayaan partisipatif adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara melibatkan rakyat dalam prosesnya. Wakil rakyat hanya menjadi fasilitator, katalisator, dan animator, sedangkan pelaku utamanya adalah rakyat itu sendiri dan yang dijadikan landasan adalah aspirasi dan gagasan yang datang dari rakyat. Hal itu sesuai dengan ruh demokrasi yang menyuarakan, dari, oleh, dan untuk rakyat.
Untuk memudahkan proses pemberdayaan partisipatif, fasilitator—dalam hal ini adalah wakil rakyat—membutuhkan beberapa langkah sebagai berikut:

a. Pemetaan Awal (preliminary mapping)
Pemetaan awal berfungsi sebagai alat untuk memahami kondisi sosial, sehingga fasilitator (baca: wakil rakyat) akan mudah memahmi realitas problem dan relasi sosial yang terjadi. Dengan demikian, dia akan mudah untuk berinteraksi dengan komunitas baik melalui key people maupun komunitas akar rumput yang sudah terbangun.

b. Membangun Hubungan Kemanusiaan
Di sini wakil rakyat dituntut untuk berinkulturasi dan membangun kepercayaan (trust building) dengan masyarakat, sehingga terjalin hubungan yang setara dan saling mendukung. Mereka dengan masyarakat bisa menyatu menjadi sebuah simbiosis mutualis untuk menemukan dan memecahkan problema yang ada, termasuk kemiskinan. Untuk itu, proses inkulturasi harus bersifat kontinyu dan konsisten, wakil rakyat bukan hanya peduli rakyatnya hanya ketika mau mencalonkan dirinya.
Ironis sekali, ketika wakil rakyat berlomba-lomba untuk memperkenalkan dirinya akan tetapi rakyat tidak mengenal mereka. Fenomena demikian bukan hanya terjadi di masa lampau, sampai sekarang banyak rakyat yang tidak mengetahui siapa sosok yang akan dipilih terlepas apakah rakyat memang kurang perhatian terhadap urusan demikian atau karena wakil rakyat kurang “membumi” dengan rakyatnya.

c. Merumuskan Masalah
Setelah hubungan kemanusiaan sudah terbangun dengan baik, maka para wakil rakyat akan dengan mudah mencari problematika serta merumuskan problematika-problematika mendasar yang dihadapi oleh rakyatnya. Bagaimana mungkin mereka menyelesaikan permasalahan rakyat jika mereka tidak mengetahui kondisi riil di dalamnya?, apa gunanya mereka mengobral janji “ini-itu” jika tidak mengerti pola kehidupan rakyatnya?.
Dalam problem kemiskinan misalnya, maka yang harus ditelusuri adalah sebab yang melatarbelakangi, apa indikasinya, bagaimana bentuknya, apa efeknya, dan semacamnya. Tanpa mengetahui hal demikian bagaimana mereka merumuskan masalah dan memberikan pemahamam sehingga rakyat sadar bahwa kemiskinan adalah benar-benar menjadi problema mereka?.
Dalam hal ini pula wakil rakyat dituntut memiliki kemampuan analisis-kritis terhadap problematika yang muncul. Tanpa sikap kritis, maka bisa dipastikan mereka tidak akan dapat merumuskan permasalahan dimaksud.

d. Memerhatikan Gagasan
Sudah dapat dipastikan bahwa setiap waktu akan ada inspirasi dari rakyat untuk memecahkan problematika yang mereka hadapi, di sini wakil rakyat berhak memerhatikan dengan sungguh-sungguh inspirasi mereka. Kemudian inspirasi itu dipelajari bersama mereka sehingga menjadi inspirasi yang sistematis. Selanjutnya, diadakan pengkajian ulang sehingga mereka sadar dan memahami bahwa inspirasi itu adalah milik mereka dan untuk mereka pula.

e. Mengimplementasikan Strategi Aksi
Ketika rumusan masalah dan bentuk solusinya sudah ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana inspirasi masyarakat sebagaimana disebutkan dapat diiplementasikan dalam konteks nyata. Dengan demikian, akan terbangun rasa percaya diri dalam diri mereka bahwa sebenarnya mereka sendiri bisa mengatasi masalah pribadi maupun sosial yang terjadi.
Proses ini akan mengilhami semangat juang yang tinggi bagi rakyat, dan pada akhirnya mereka akan terus belajar sendiri tanpa adanya fasilitator, dalam artian hidup mandiri. Maka dari itu, proses ini harus dilakukan secara simultan dalam waktu yang relatif lama sehingga nilai pembelajaran terhadap rakyat benar-benar menjadi budaya dan akhirnya bisa memunculkan local leaders yang akan menjadi penerusnya.

f. Membangun Pusat Pemberdayaan
Pusat-pusat pemberdayaan dibangun atas dasar kebutuhan rakyat yang sudah bergerak dan mengimplementasikan strategi aksi. Pusat pemberdayaan dimaksud merupakan media komunikasi, diskusi dan segala aspek untuk merencanakan, mengorganisir dan memecahkan problematika sosial yang mereka hadapi. Bersama rakyat pusat-pusat pemberdayaan diwujudkan sesuai dengan ragam potensi dan kebutuhan rakyat masing-masing.

g. Evaluasi dan Monitoring
Langkah terakhir dalam proses pemberdayaan partisipatif adalah mengadakan evaluasi dan kontroling terhadap kondisi riil masyarakat. Hal itu dilakukan untuk mengetahui banyak hal terkait dengan pemberdayaan yang dilakukan, seperti untuk mengetahui sejauh mana proses pemberdayaan berlangsung, apa dampak dari program yang sudah berjalan, dan mungkin ada kekurangan-kekurangan yang perlu diluruskan.
Demikianlah beberapa langkah yang harus ditempuh dalam proses pemberdayaan partisipatif. Sebenarnya konsep pemberdayaan partisipatif tidak jauh berbeda dengan formulasi yang buat oleh para pakar pemberdayaan. Misalnya, Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007). Mereka menyatakan ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Pertama, penyadaran objek, objek yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka. Kedua, objek diberikan daya kuasa agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Ketiga, objek diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang. Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat.
Yang perlu diingat bahwa dalam konsep pemberdayaan diasumsikan: (1) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda, (2) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk konteks yang berbeda, (3) pemberdayaan akan berfluktuasi atau berubah sejalan dengan waktu. Maka dari itu, bisa saja secara teknis proses pemberdayaan partisipatif akan berbeda pula dalam implementasinya sesuai dengan waktu dan tempat yang melingkupinya.
Yang jelas, konsep tersebut dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan dengan cara mencari, membahas dan memecahkan segala permasalahan secara bersama dan transparan dengan rakyat

Kesejahteraan untuk Rakyat
Dengan proses pemberdayaan partisipatif di muka diharapkan akan terjadi revolusi tatanan kehidupan menjadi leibh mapan. kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan UUD 1945 benar-benar dapat direalisasikan secara merata. Dalam hal ini, perwujudan kesejahteraan umum harus menjadi kometmen wakil rakyat yang diimplementasikan dengan program-program rasional dan nyata.
Memang harus diakui bahwa kesejahteraan mengandung pengertian yang relatif dan dinamis. Relatif artinya kesejahteraan bersifat abstrak atau tidak dapat terobservasi, yang dapat terlihat hanya indikatornya saja. Dinamis artinya ukuran kesejateraan sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Disamping itu persoalan kesejahteraan berkaitan dengan hati atau perasaan, jadi kesejahteraan tidak hanya sekedar ekonomi oriented semata. Pradigma dalam memandang makna kesejahteraan yang ada saat ini harus dirubah, dari economy oriented menuju orientasi yang lebih luas. Ekonomi hanyalah salah satu instrumen untuk menuju sejahtera.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa rumusan kesejahteraan tidak akan pernah final, karena kesejahteraan seirama dengan perkembangan kebutuhan manusia yang selalu mengalami perubahan. Kendati pun demikian secara umum kesejahteraan dapat diartikan suatu keadaan dimana rakyat terpenuhi hak asasinya sebagai warga negara. Setiap warga negara memiliki hak asasi yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan untuk memperoleh jaminan dan memiliki perlindungan hukum guna memenuhi kebutuhan dasar hidup baik sandang dan papan, pendidikan, kesehatan, kesempatan untuk bekerja, dan memperoleh pendapatan secara memadai, serta penghidupan yang layak bagi kemanusian.
Dengan demikian, beberapa barometer sebagaimana disebutkan setidaknya dapat menjadi landasan berpijak bagi para wakil rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan umum sesuai amanat UUD 45. Pemberdayaan partisipatif bisa dijadikan sebagai salah satu proyek untuk mewujudkan cita-cita suci tersebut.
Sebagai kata akhir, perlu ditegaskan kembali bahwa rakyat harus dirangkul bukan dibiarkan, aspirasi mereka harus didengarkan dalam setiap kesempatan, karena hakikatnya mereka mempunyai potensi untuk menyelesaikan problematika kebangsaan, termasuk kemiskinan. Proyek pemberdayaan partisipatif yang bersumber pada aspirasi rakyat sudah waktunya dijadikan mainstream pembangunan di Indonesia dalam menapaki masa depan.



*( Penulis adalah Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tercatat sebagai Mahasiswa Smester Akhir THI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...