Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Kamis, 16 April 2009

PESANTREN, KIAI DAN POLITIK

PESANTREN, KIAI DAN POLITIK
(Mendiskusikan Kiai Berpolitik)

Oleh: TIRMIDZI*


Walau bukan wacana baru, diskursus kiai berpolitik sampai saat ini menjadi topik perdebatan yang semakin akut. Meskipun sudah bisa dipastikan bahwa perdebatan tentang hal itu mengarah pada pro dan kontra, tetap saja terjadi perbedaan persepsi dan adu argumentasi. Perbedaan persepsi semacam itu merupakan kekayaan wacana yang tidak boleh diabaikan, karena bagaimanapun nilai plus yang terkandung di dalamnya akan memberikan konstribusi positif, utamanya pada kalangan kiai yang mulai tertarik untuk bermain di pentas politik, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Dalam tulisan perdananya, Salahkah Kiai Berpolitik?, saudara Syaiful Amin—sebagai pihak kontra—secara terisirat telah menolak kiai untuk terjun ke dalam politik praktis. Kemudian, dipertegas kembali dalam tulisan keduanya, Urgensi Netralitas Pesantren dalam Politik. Dalam artikel tersebut, setidaknya dia menambah dua alasan mengapa kiai tidak boleh berpolitik. Pertama, dia psimis kharisma yang dimiliki oleh kiai akan luntur bahkan hilang ketika mereka terjun dalam politik yang mana saat ini diklaim kotor, kejam, dan penuh kepalsuan. Kedua, dia psimis dengan niatan kiai yang terjun dalam politik, apakah murni dorongan hati nurani dan demi kepentingan masyarakat atau demi kepentingan pragmatis an sich.
Penulis melihat bahwa saudara Syaiful Amin terlalu psimis dan kurang proporsional dalam menelaah sebuah permasalahan. Padahal sikap psimis yang berlebihan akan menimbulkan sikap su’u dhan dan eksklusivitas dalam berfikir. Misalnya, tentang kharisma kiai, banyak sekali kiai-kiai saat ini yang sudah masuk dalam partai politik, bahkan ada yang menjadi prakarsanya, namun mereka tidak kehilangan kharisma yang dimilikinya, bahkan sumbangan politik mereka menjadi sebuah kebanggaan masyarakat dan memperkuat status ke-kiai-annya. Lihat saja Abdurrahman Wahid, Syaifullah Yusuf, Abd. Hamid, dan lainnya.
Begitu juga dengan niatan kiai. Perlu dipertegas bahwa niat adalah hal yang riil-prinsipil dan individuil, artinya niatan muncul bersamaan dengan realitas dan suasana hati seseorang sehingga penilaian seseorang terhadap niat yang tidak tampak hanyalah angan-angan yang belum tentu mencerminkan niat yang sebenarnya. Saudara Syaiful Amin dalam tulisannya yakin bahwa andaikan dalam menjabat pejabat Negara atau DPR tidak mendapat puluhan juta, para kiai dan gus-gus tidak akan berduyun-duyun mencalonkan dirinya sebagai calon legeslatif (caleg). Begitu juga sebaliknya, misalnya dengan menjadi guru madrasah mereka bisa mendapatkan jutaan rupiah, mungkin semua orang—termasuk kiai—akan mencalonkan dirinya sebagai guru. (Kompas edisi Jatim, 09/04/09).
Pertanyaan terbaliknya adalah bagaimana jika seumpama seseorang sama-sama tidak digaji ketika menjadi caleg atau guru, apakah para kiai tidak akan bertindak ketika melihat kondisi pesantren, santri, masyarakat, dan Negaranya dalam keadaan kritis, miskin, bobrok, dan akan jatuh dalam jurang kehancuran dan kebinasaan?, yang jelas semua elemen masyarakat, termasuk kiai sekalipun, akan menjawab ‘tidak’. Di sinilah proporsionalitas sangat dibutuhkan. Dalam menilai sebuah problem, kita dituntut untuk melihatnya dari segala aspeknya dan variabel-variabel yang melingkupinya.
Walau demikian, penulis yakin bahwa ketidaksetujuan saudara Syaiful Amin terhadap kiai berpolitik merupakan kesadaran mendalamnya sebagai seorang santri. Spirit untuk menjernihkan pesantren dari nilai-nilai profan dan kotor perlu diajungi jempol, karena bagaimanapun juga kejernihan pesantren akan berimplikasi terhadap out put pesantren itu sendiri.

Nilai Etik
Pemilihan calon legislatif dari segala tingkatan telah rampung dilaksanakan. Penulis yakin akan banyak gelar “K” atau bahkan “KH.” yang akan tercatat dalam daftar calon terpilih pemilu saat ini. Itu artinya, kiai berpolitik bagaimanapun juga akan menjadi kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Dengan demikian, ada tiga variabel yang perlu ditelisik lebih lanjut yakni, pesantren, kiai dan politik. Ketiga variabel tersebut memiliki korelasi yang sangat erat. Pesantren adalah kendaraan kiai dalam merealisasikan nilai-nilai keagamaan, dan politik adalah kendaraan baru seorang kiai ketika terjun dalam politik praktis.
Dalam ranah demikian, kiai memiliki kesempatan dan peluang besar untuk memadukan nilai-nilai yang terkandung dalam dua kendaraannya tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya sama-sama memiliki nilai etik. Dalam pesantren sering kita mendengar istilah tasamuh, tawazun, tawadhu’, amanah, fathonah, dan semacamnya. Nilai nilai demikian bisa diimplementasikan dalam perpolitikan kita dewasa ini, sehingga citra politik yang terkesan kotor, licik dan palsu akan tampil dengan penuh kejujuran, keramahan dan toleransi. Begitu juga sebaliknya, nilai-nilai etik politik semisal jujur, adil, penuh tanggung jawab, siap menang dan kalah, legowo, bersih, dan lainnya bisa diimplementasikan dalam kehidupan pesantren.
Dengan demikian, pesantren dan politik dapat dijadikan satu kesatuan yang kokoh untuk mencapai orientasinya masing-masing. Pesantren dengan nilai etiknya dapat dijadikan perahu untuk mewujudkan perpolitikan yang bersih, dan politik dengan nilai etiknya dapat dijadikan perahu untuk menentukan sukses tidaknya pesantren di masa depan. Tinggal bagaimana seorang kiai dapat mengompromikan kedua nilai tersebut. Sebagai kata akhir, kalau meminjam bahasa Ubaidillah (1997), kiai, pesantren dan politik dapat diilustrasikan sebagai satu nahkoda, dua perahu, tapi tetap satu muara.



*Penulis aktif di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 komentar:

Tahnks atas komentarnya...