Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

Menjinakkan Manusia “Beruang” Negara

Menjinakkan Manusia “Beruang” Negara
Oleh : Tirmidzi*


Sejak dahulu ketika ada perbincangan tentang korupsi atau koruptor, mayoritas respon bangsa Indonesia hanya datar-datar saja, rasanya hantar, mereka tidak begitu mengubris perilaku ini. Padahal diketahui bahwa korupsi adalah permasalahan krusial yang selalu mengganggu ketenangan hidup mereka. Korupsi sudah menjadi bumerang yang memorak-porandakan kehidupan mereka, lebih-lebih perilaku ini sudah menodai negara ini yang pada dekade ini digelari dengan negara “paling korup” se-Asia dan berada dalam urutan ke 137 dari 158 negara atau nomor 6 paling korup sedunia. (Kompas, 19 Oktober 2005).
Lain hal ketika mereka mendengar bahwa ada pencopet atau maling ayam yang ditangkap. Maka walupun berlainan daerah dan jauh sekalipun mereka akan berhamburan datang, mereka akan menyempatkan diri –sesibuk apapun- untuk memberi hujatan, makian, atau bahkan pukulan kepada pencopet atau maling tersebut. Inilah fakta lapangan yang kerap kali terjadi pada bangsa ini.
Adalah fenomena yang sangat menyedihkan yang sering dan akan terus terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kurangnya kesadaran penuh (full consciouness) bangsa ini terhadap perilaku yang sangat merugikan ini (korupsi). Mereka sadar bahwa pencopet dan maling hanya merugikan sekelompok orang kecil saja, tapi mengapa mereka mancaci, memaki, atau lebih sadis lagi membunuhnya?, memang benar, sebagai jawaban agar pencopet dan maling tersebut jera dan tidak mengulangi kembali perbuatannya. Sementara bandit-bandit negara yang selalu mengorupsi uang negara, menyengsarakan beribu-ribu atau bahkan berjuta umat mereka biarkan berkeliaran dan mereka beri keleluasaan, dan yang sangat ironis mereka memberikan kedudukan yang tinggi tanpa ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Seringkali terlihat bangsa ini dengan bangga mengundang seorang pejabat yang jelas dan nyata memeras mereka untuk meresmikan tempat ibadah atau lainnya. Apakah tidak ada figur lain yang lebih pantas dari pada pejabat tersebut?, atau akankah berakibat fatal apabila bukan seorang pejabat yang meresmikan?. Pertanyaan seperti inilah yang pantas diajukan kepada bangsa ini. Sebab, mereka tidak sadar bahwa secara tidak langsung mereka telah mebantu ke-tumbuhsubur-an korupsi itu sendiri.
Membiarkan apalagi membantu perilaku korupsi adalah seperti seseorang yang menunggang macan –ingat Riding The Tiger; sebuah judul film dokumentor dari Australia yang dibuat oleh Curtis Levy dan Christine Olson- orang itu berada dalam tempat rawan yang bisa membahayakan dirinya. Karena jika turun tidak mustahil dia dikerkah dan dicakar oleh si raja hutan itu, dan jika terus dia tidak akan mampu mengendalikan dan akhirnya dia tersungkur ke dalam jurang yang amat dalam. Apabila suatu saat diketahui bahwa dia telah membantu perilaku korupsi maka dia akan terisolasi dan dianggap sebagai sampah yang paling busuk oleh mereka yang mendamba kejujuran. Sebagaimana dalam pepatah “sekali lancung dalam ujian seumur hidup orang tidak akan percaya”.

Budaya dan Kompleksitas Korupsi
Akhir-akhir ini banyak para pakar yang menyatakan bahwa korupsi di negara ini sudah membudaya sehinga sulit dimusnahkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto –pakar administrasi pemerintahan dari Universitas Airlanga Surabaya- bahwa perilaku korupsi di negara ini sudah menjadi kebiasaan dan budaya (culture) bangsa. Oleh karena itu, pemberantasannya selain dengan cara penegakan hukum juga harus dimulai dengan merubah konsep kultural bangsa itu sendiri. (Baca : korupsi).
Ada juga yang menyatakan bahwa di samping korupsi sudah membudaya ia juga sudah menggurita di semua level kehidupan yang membuat kebijakan publik tidak efektif dan mengakibatkan aktivitas ekonomi dan investasi tidak lagi produktif karena ada faktor non teknis ekonomi di bawah tangan.
Seiring dengan kompleksitas korupsi di negara ini, seorang pakar hukum menyatakan bahwa korupsi sudah seperti pedagang ikan di pasar ikan, tidak tercium lagi bau ikan yang menyengat karena mereka sudah bergumul sepanjang hari layaknya business as usual, pun juga diumpamakan seperti orang yang menyimpan gas di dalam perutnya, tercium baunya tapi tidak seorangpun yang bisa dituduh, begitu pula perilaku korupsi, walaupun negara ini merupakan ladang korupsi namun pelakunya sulit dibuktikan. Apakah hal ini terjadi karena sudah seperti pedagang ikan itu, sifatnya individualisme, atau karena perilaku ini adalah perilaku yang seakan-akan tanpa korban.
Kalau dipikir secara cermat dan teliti memang negara ini termasuk negara aneh. Mengapa, negara ini terletak di nomor urut ke 6 se-dunia atau paling korup se-Asia. Namun, sedikit sekali koruptor yang tertangkap dan kemudian diberi hukuman sepantasnya, itupun menurut segelintir orang masih ada kongkalikongnya. Banyak alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, sedikit sekali bangsa Indonesia yang ingin melihat negara ini menjadi negara bersih. Hal ini disebabkan kekurangsadaran mereka terhadap perilaku korupsi, bahwa perilaku ini telah mengaburkan harapan hidup bangsa dan negara ini.
Kedua, ketegasan yang minim dari pemerintah. Walaupun pada pemerintahan kali ini dibentuk secara khusus Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), namun kinerjanya masih terlihat canggung, mereka masih setengah hati bukan sepenuh hati dalam menjalankan tugas. Sehingga tindakan korupsi sampai saat ini tumbuh dengan subur, dan para koruptor semakin leluasa melakukan aksi amoralnya. Ada juga anggapan bahwa tidak adanya tanggapan serius dari pemerintah dikarenakan sebagian besar dari mereka melakukan korupsi, anggapan ini mungkin benar, sebab, bisa saja mereka menggunakan prinsip “kita satu tiada beda” (we are one) atau “bersatu kita jaya” (one for all, all for one) untuk menutupi semuanya. Dengan demikian, tidaklah mungkin jika salah satu dari mereka mengungkapkan kelakuan amoral yang lainnya, mengungkapkan itu semua sama saja dengan menjebloskan diri ke dalam penjara.
Ketiga, ada image bahwa memang para koruptor di Negara ini adalah koruptor kelas kakap yang sulit ditangkap dan dijinakkan, disamping karena kelihaian mereka dalam melakukan korupsi, mereka juga memiliki kekuatan yang sangat besar (super power) baik fisik atau materi. Namun, kekuatan yang terakhir inilah yang sering digunakan oleh para bandit tersebut sehingga mereka bisa dengan leluasa melakukan perilakunya. Sebagai misal semua orang di sekitarnya dicekoki dengan uang sehingga apabila mereka melakukan korupsi orang-orang itu tidak campur tangan. Begitu pula apabila mereka diketahui dan akan diadili maka dengan uang pulalah mereka bisa lolos dari jeratan hukum, baik dengan cara menyewa pengacara handal yang siap memenagkannya atau dengan uang sogokan terhadap hakim, jaksa, atau fihak terkait lainnya. Intinya mereka selalu menggunakan uang di mana dan kapanpun ia bertindak untuk bisa mendapatkan uang dan selamat dari hal yang merugikan. Sehinga tidak heran jika akhir-akhir ini ada istilah manusia “beruang” yang disandangkan kepada mereka yang pikiran serta pemikirannya sudah dikuasai oleh uang, semuanya uang dengan tanapa melihat status uang tersebut (koruptor).
Istilah ini kalau ditilik secara seksama sangat pas bagi mereka, diketahui bahwa beruang adalah hewan yang hina dina lagi menakutkan dan hewan ini yang sering mengambil buah-buahan dan semacamnya dengan tanpa berfikir –karena memang tidak punya akal- siapa pemiliknya. Secara medis hewan ini banyak mengandung penyakit. Sebab, banyak kutu dan kuman yang melekat pada tubuhnya. Di samping itu juga hewan ini sangat sulit dijinakkan, di samping kekebalan tubuhnya hewan ini juga memiliki keinstimewaan tersendiri yang sanggup menjaga dirinya dari segala mara bahaya. Menurut ahli hewan tiada lain cara untuk menjinak-kannya kecuali dengan menangkapnya dan kemudian tangan dan kakinya –kalau ada- dipotong satu persatu atau langsung membunuhnya agar tidak berkutik lagi.

Sebuah Upaya
Agar terkesan konstruktif dan tidak hampa maka dalam tulisan ini ditawarkan beberapa upaya untuk meminimalisasi serta menjinakkan terkait dengan kegesitan manusia “beruang” itu sendiri serta kelakuannya yang sangat merugikan banyak orang. Pertama, dikatakan bahwa korupsi di negara ini sudah membudaya dan merupakan bagian dari sistem, maka cara yang paling strategis adalah dengan cara memberikan penyadaran, pendidikan politik, dan pendidikan bernegara bagi bangsa ini. Meskipun cara ini tidak populer namun harus dilakukan apabila ingin merubah konsep kultural bangsa yang sudah mengkristal ini. Sebab, pendekatan sosiologis ini sangat efektif sebagai controlling buffer selain tindakan administratif hukum, mengingat bangsa ini adalah bangsa komunal dan patrimonial.
Kedua, penegakan hukum, walaupun cara pertama telah dilaksanakan namun tanpa penegakan hukum dari permerintah khususnya KPK diyakini usaha ini tidak akan berjalan dengan mulus. Sebab dalam pe-minimalisasi-an perilaku korupsi tak ubahnya orang yang kena penyakit malaria, dia harus diobati secara medis, namun supaya penyakitnya tidak menjangkit juga harus dilakukan pembersihan secara sistemetis agar nyamuk lain tidak berdatangan. Dalam pada itu, juga bisa dilakukan –ini sebuah usulan baru- pembentukan koalisi para intelektual yang pernah mengenyam pendidikan tinggi terutama dari luar negeri yang telah banyak mempelajari cara negara maju dalam mengelola negaranya, best practice yang didapatkan dari masing-masing negara apabila diwacanakan secara sistematis akan dapat memberikan pembelajaran bagi penyelesaian korupsi di negara ini. Sedangkan untuk mendapatkan legitemasi politik yang kuat maka kelompok ini dapat membentuk koalisi ini dengan Forum Rektro, suatu kelompok yang beranggotakan perguruan tinggi di Indonesia, yang tentunya sebagai leader koalisi ini adalah pemerintah khususnya KPK yang memiliki kapasitas serta kualitas yang bermutu, dan dengan koalisi ini dapat digagas terobosan yang sistematis dan strategis untuk menembus kebuntuan dalam upaya pemberantasan korupsi pada saat ini.
Ketiga, karena kelihaian manusia “beruang” di negara ini, maka tiada cara lain kecuali dengan menyediakan peti mati atau tempat gantung sebagaimana dilakukan negara-negara tentangga seperti Malaysia, Tiongkok dan lainnya yang sudah mampu keluar dari permasalahan yang amat merugikan ini.
Dan sebagai kata akhir, perlu diketahuai bahwa pada hakikatnya dalam “berperang” melawan apa saja termasuk korupsi tidak cukup hanya dengan niat baik yang dikemas dalam slogan-slogan di ruang yang hampa udara, akan tetapi memerlukan agresivitas yang luar biasa dan keberanian besar yang kemudian diterjemahkan dalam aksi-aksi nyata. Semoga negara ini bisa merealisasikan itu semua. Amien.


*Penulis adalah Mahasantri Pesma IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini sudah Dimuah di Harian Duta Masyarakat

1 komentar:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
    di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
    Permasalahan sekarang, kondisi bejat seperti ini akan dibiarkan sampai kapan??
    Sistem pemerintahan jelas-jelas tidak berdaya mengatasi sistem peradilan seperti ini. UUD 1945 mungkin penyebab utamanya.
    Ataukah hanya revolusi solusinya??

    David
    HP. (0274)9345675

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...