Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

WACANA POLITIK NU JATIM

WACANA POLITIK NU JATIM
Oleh: Tirmidzi*


Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sekitar tahun 1926 oleh sejumlah tokoh tradisionalis sebagai reaksi defensif terhadap pelbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok modernis-moderat yang aktif dalam panggung politik semisal Sarekat Islam (SI). Pada awalnya, NU bergerak dalam ranah sosial-keagamaan sebagai spesifikasinya. Lembaga ini berkeinginan untuk membangun budaya intelektual dengan tanpa mengesampingkan sisi sosialnya, karena bagaimanapun intelektualitas tidak akan berarti tanpa pemahaman terhadap realitas sosial yang ada.
Tapi, melalui rentetan sejarah yang sangat panjang, tidak dapat dielakkan NU harus turut berpartisipasi dalam kancah politik. Melihat kondisi yang semakin merunyam, dan ruang gerak NU yang semakin menyempit, NU mulai melibatkan diri secara pelan dalam perpolitikan kala itu, yang dimulai pada masa pendudukan Jepang dan dipersubur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu kemudian dibuktikan dengan partisipasnya dalam pemilu kali pertama pada tahun 1955. Dalam pemilu tersebut, NU meraup suara 18,4%, suara yang cukup mengejutkan untuk partai baru yang usianya relativ dini.
Toh walau demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah panjang NU mengalami pasang surut. Dari organisasi sosial-keagamaan menjadi organisasi yang terjun dalam kancah politik sampai pembentukan partai. Dalam muktamar yang diselenggarakan di Situbondo pada tahun 1984, NU menyatakan diri untuk kembali lagi ke khittah 1926, yakni akan lebih konsen pada cita-cita awal yang diidamkannya dan bersikap netral dalam perpolitikan.
Yang menarik sekarang, warga NU—baik muda maupun tua—ikut andil dalam pesta demokrasi yang diselenggarakan jatim dengan bentuk pemilihan gubernur. Mulai pilgub putaran pertama sampai putaran kedua selesai, warga NU menjadi pemain bahkan penyeting pesta tersebut. Pertanyaannya, apa sebenarnya pijakan mereka terjun ke dalam politik?.
Kalau berbicara tentang politik dalam tubuh NU, setidaknya ada tiga istilah yang harus dimunculkan, politik kerakyatan, kebangsaan, dan kekuasaan. Yang pertama dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan martabat masyarakat serta memperbaiki kehidupan mereka, utamanya yang terkait dengan kebijakan pemerintah yang kurang memihak. Sedang yang kedua adalah media untuk memecahkan problema kebangsaan yang samapai saat ini bertambah kompleks dan rumit. Dan yang terakhir adalah untuk meraih kekuasaan an sich, baik kekuasaan itu nantinya dijadikan untuk perbaikan kehidupan masyarakat atau hanya diperuntukkan pada kelompok dan kerabat sendiri.
Hubungannya dengan pertanyaan di muka, sepertinya NU saat ini akan membuat pijakan baru sekaligus istilah baru yaitu “politik gabungan” dari tiga istilah sebagaimana disebut. Hal itu tampak dari kaburnya orientasi perpolitikan warga NU dewasa ini, mulai dari perbaikan kehidupan masyarakat, partai, organisasi, atau semacamnya.
Dalam pilgub jatim, sangat jelas bahwa warga NU terpecah belah, ada yang mendukung pasangan Khofifat-Modjiono (Kaji) ada juga yang mengikuti langkah Gus Ipul mendukung pasangan Soekarwo-Saifullah (Karsa). Kedua kubu tersebut saling tarik menarik utamanya dalam penghimpunan massa. Hal demikian menurut Moh. Yamin termasuk langkah komoditasi NU, alasannya mereka menggunakan nama NU hanya untuk mengejar kepentingan yang amat sempit dan sesaat.
Dalam hal ini, penulis tidak bisa menyalahkan persepsi Moh. Yamin, bagaimanapun pembacaan demikian harus juga dihargai. Tapi sepatutnya kita tidak memandang sebelah mata. Artinya, walaupun warga NU banyak berbondong terjun ke dalam dunia politik—khususnya yang bertujuan pragmatis dan kepentingan sesaat, bahkan terjadi kontroversi antarsesama warga NU—tidak dapat dijadikan sebuah legitimasi pencemaran reputasi NU.
Bagaimanapun haru kita fahami bahwa mereka belajar dan berangkat dari akarnya, yaitu NU itu sendiri. Sudah barang tentu mereka akan kembali lagi pada asalnya. Artinya, pengalaman demikian akan menjadi dokumen penting NU yang dapat dijadikan sebagai barometer politik bagi generasi penerusnya. Bukankah ada yang mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru yang terbaik?”.
Di samping itu fenomena politik warga NU saat ini dapat menjadi media kaderisasi atau lebih pasnya “pendewasaan politik” bagi mereka, sehingga mereka dapat mengendalikan diri dan dapat membaca perpolitikan yang terjadi. Dengan demikian, dalam berpolitik selanjutnya mereka tidak semena-mena dan dapat bertindak seperti orang dewasa yakni lebih bijak dan arif terhadap semua fenomena yang terjadi dan sedia payung sebelum melangkah.

Tokoh Kharismatik
Penulis masih ingat suasana di pesantren, sering kali ustadz menyampaikan perkataan “hari esok harus lebih baik dari sekarang”. Penulis melihat “kaidah” tersebut dapat direalisasikan dalam tubuh NU. Jelasnya, bagaimana tindakan politis yang dianggap menjual harga dirinya tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Bagaimana mereka bisa kembali ke asalnya, yakni mewujudkan politik kerakyatan dan kebangsaan, sehingga impian masyarakat dan bangsa dalam membangun kehidupan yang aman, damai, sentosa, adil, dan sejahtera dapat segera tercapai.
Memang untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rintangan dan hambatan pasti akan datang menghadang baik internal maupun eksternal. Makanya, adanya optimisme dan upaya penuh serta kreativitas amat dibutuhkan. Salah satu yang menjadi tawaran di sini adalah mengandalkan tokoh kharismatik. Secara sosiologis, penulis melihat bahwa system politik NU adalah struktural-kultural. Dalam teori ini tokoh memiliki peran yang sangat signifikan. Mereka dengan kharismanya dapat merubah pola pikir masyarakat dengan “sekali tekan”. Ketika tokoh kharisma yang berbicara maka dapat dipastikan akan banyak yang mengikuti, toh walaupun tidak seratus persen. Apalagi budaya ta’dhimu al syaikh dalam tradisi NU masih sangat ketat dipraktekkan.
Tawaran di muka dapat dijadikan salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita politik yang benar-benar untuk memperjuangkan rakyat dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi, semua tokoh—baik agama, sosial, budaya, dan politik—harus benar-benar berupaya untuk merubah paradigma politik yang dianggap telah menodai reputasi NU, tentunya harus berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) seperti, tawasuth, tawazun, tasamuh, I’tidal, dan semacamnya, sehingga dalam upaya tersebut tidak terjadi kesenjangan social-politik antarsesama warga NU khususnya.
Perlu diingat bahwa momentum pemilu 2009 sudah di depan mata. Dapat dipastikan bahwa dalam momentum ini warga NU akan terdaftar sebagai pemain. Walhasil, dengan upaya yang telah dikemukakan, warga NU dapat berpolitik secara fair demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih mapan dan berkeadaban, dan tidak boleh dilupakan juga demi menunnjukkan wajah NU yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan betul-betul mengusung misi rahmatan lil ‘alamin.



*Penulis adalah Mahasiswa Fak. Ushuluddin,
berdomisili di PesMa IAIN Supul Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...