Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

DIAKUI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF

DIAKUI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF
Oleh: Tirmidzi*


Perbincangan tentang kemiskinan tidak kunjung selesai. Kemiskinan terus menjadi tema menarik untuk dikaji dan didalami. Hal itu disebabkan karena kemiskinan merupakan permasalahan global yang kompleks, dinamis, polemis, dan mendesak. Dikatakan kompleks, ia sering kali muncul tanpa membedakan ras maupun suku, Aceh, Lampung, Sulawesi , Madura, semuanya—meminjam bahasa Syauqi Amin—memiliki koleksi masyarakat miskin. Dikatakan dinamis karena dalam kenyataannya ia terus mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan ruang dan waktu, polemis karena ia mengundang banyak orang—tanpa membedakan statusnya—untuk turut berpartisipasi dalam membincangnya, mulai dari apa itu kemiskinan, sebab-sebabnya, dampaknya dalam realitas kehidupan, dan langkah untuk mengantisipasinya. Semua orang sepakat bahwa ia merupakan hal yang mendesak mengingat imbasnya yang terlalu luas.
Semenjak kenaikan BBM tahun 2001 kemaren, kemiskinan di negara ini melonjak secara drastis. Di Jawa Timur (saja), sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, sampai bulan Maret 2007, jumlah penduduk miskin mencapai 7,138 juta jiwa atau 18,93 persen dari total penduduk di jatim.
Data tersebut mengindikasikan bahwa kemiskinan masih menggurita dalam kehidupan masyarakat. Dalam ranah kesadaran, data tersebut menggugah kesadaran seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi membasmi, atau setidaknya meminimalisasi, kemiskinan itu sendiri. Memang, diakui bahwa melawan kemiskinan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlawanan terhadapnya akan dihadapkan pada kerumitan-kerumitan baik fisik ataupun psikis. Ada banyak hal yang harus difikirkan dan dipersiapkan secara mapan.

Motif Kemiskinan
Deepa Naraya dalam bukunya, Voices of the Poor, menjelaskan bahwa secara garis besar kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, kemiskinan kultura. Dalam hal ini, kemiskinan dianggap sebagai “takdir” turunan dari para pendahulunya, sehingga mereka tidak berusaha untuk merubah kehidupannya. Bagi mereka “bekerja” hanyalah membuang-buang tenaga, toh pada akhirnya akan sama saja (tetap miskin). Klimaksnya, mereka terlalu pasrah pada yang “di atas” dan melupakan firman-firman-Nya yang memotivasi umat manusia untuk berkreasi dalam kehidupan dunia, wala tansa nashibaka min al-dunya dan hatta yughayyiru ma bi anfusihim.
Kedua, kemiskinan struktural. Berbeda dengan yang pertama, kemiskinan ini disebabkan oleh struktur (pemerintah) yang kurang memihak terhadap masyarakat. Ubaidillah (1999) menyatakan bahwa dalam level ini biasanya penyakit individualisme dan materialisme yang sering kali menjadi the first causesnya.
Dalam konteks jatim, kedua tipe kemiskinan tersebut dapat ditemukan. Tipe pertama, kita bisa berkaca pada nasib orang-orang yang “lebih senang” hidup di jalanan atau di bawah naungan jembatan, seperti di Surabaya sebagaimana penulis saksikan. Sedangkan tipe kedua, kita dapat mengangkat Pulau Madura sebagai sampelnya. Sampai saat ini, pulau Madura diasumsikan sebagai pulau terbelakang dan tertinggal secara ekonomi. Masyarakatnya mayoritas hidup di level menengah ke bawah. Padahal Suber Daya Alam (SDA) di Madura sangat memadai, mulai dari pertanian, perdagangan, sampai pertambangan. Tapi mengapa kemiskinan masih membelenggu masyarakat Madura yang dikenal sebagai pulau garam tersebut?.
Yang jelas, jawabannya bukan karena masyarakat Madura senang melestarikan kemiskinan atau mereka pemalas dan berpemikiran konservatif, tapi karena struktur yang tidak mengizinkan. Struktur lebih memihak pada para pemilik modal daripada masyarakat miskin, struktur pun berubah menjadi beringas untuk tidak mengatakannya menindas. Mereka hanya dijadikan batu loncatan oleh kalangan elit untuk menggapai tujuan sesaatnya.

Tanggung Jawab Kolektif
Deskripsi di muka sudah cukup memberi gambaran bahwa kemiskinan sungguh telah mendarahdaging dan sulit disembuhkan. Memang sampai saat ini banyak upaya telah dilakukan, mulai dari BOS untuk pendidikan, BLT, Raskin, Pemberdayaan UMKM, sampai kenaikan gaji buruh , tapi tidak satu pun yang memberikan hasil memuaskan. Bahkan kemaren, Presiden Republik Indonesia , Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui secara oral akan kegagalannya memberangus kemiskinan di negara ini.
Pengakuan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan sangat sulit direalisasikan. Di satu sisi bisa karena permasalahan kemiskinan memang sulit ditangani karena sangat kompleks, tapi di sisi yang berbeda bisa saja karena minimnya semangat dari seluruh elemen bangsa terutama pemerintah untuk bertekad dan berjuang melawan kemiskinan, atau karena sistem yang digunakan kurang mumpuni. Ada perkataan “semangat tanpa didukung dengan sistem yang mapan akan sulit mendapat hasil yang maksimal begitu juga sebaliknya”.
Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh elemen bangsa melangkah bersama dalam melawan kemiskinan. Jargon “memerangi kemiskinan” sebagaimana diusung oleh orang Cina dan India sudah tepat waktunya diterjemahkan dalam konteks keIndonesiaan, jatim khususnya. Kata “memerangi” berarti bahwa perlawanan dari berbagai pihak, bukan hanya satu atau kelompok dalam hitungan jari saja, akan tetapi merupakan hasil akumulasi dari berbagai lapisan masyarakat, mulai tingkat elit sampai orang “kecil” sekalipun. Dengan demikian, jargon tersebut sangat tepat dijadikan landasan spirit-ideologis bagi seluruh elemen bangsa yang saat ini sudah mulai merapuh.
Sejalan dengan itu, Imam Cahyono, salah satu Dosen UIN Jakarta, dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam hal ini (pengentasan kemiskinan) solidaritas menjadi penting ditingkatkan. Solidaritas diperlukan bukan hanya dari negara maju kepada negara berkembang, akan tetap juga diperlukan di antara masyarakat itu sendiri. Solidaritas antarsesama masyarakat sangat penting sebagai semangat bersama untuk melawan dan memerangi kemiskinan.
Persepsi penulis, setidaknya dalam hal ini ada tiga elemen yang sangat fundamintal. Pertama, kaum agamawan. Dalam tradisi Jawa, agamawan, atau sebut saja kiai, seringkali menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal, terutama keagamaan. Kondisi seperti itu dapat dijadikan peluang bagi mereka untuk membangun kesadaran bahwa agama bukan hanya memerioritaskan aspek rohani (ukhrawi) tapi juga aspek jasmani atau dahir (dunyawi), walatansa nashibaka min al dunya. Terlepas bagaimana mereka menjalankannya, namun yang terpenting adalah masyarakat miskin—terutama kemiskinan kultural—dapat sadar dan bersemangat untuk terus berubah menuju ranah yang lebih baik secara ekonomi.
Kedua, kaum akademisi. Setiap tahun negara Indonesia setidaknya mengeluarkan ribuan atau bahkan jutaan sarjana yang lebih dikenal dengan kaum intelek. Pada prinsipnya, mereka memiliki tanggung jawab sebagai agent of knowledge, agent of social control, dan agent of change. Ketiga agent tersebut dapat dijadikan pijakan dan spirit bagi mereka untuk melawan kemiskinan. Penafsiran ulang (redefinition) secara kritis terhadap fenomena kemiskinan yang kemudian diikuti dengan tindakan-tindakan solutif dan langkah konstruktif dapat dijadikan bentuk konkret kepedulian mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
Ketiga, pemerintah. Di negara ini, pemerintah memegang peran signifikan dalam perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau di dunia transportasi, pemerintah tak ubahnya sopir, keselamatan para penumpangnya sangat bergantung pada kecakapan dan kecerdikannya. Seorang sopir dikatakan berhasil ketika dia mampu mengantarkan penumpangnya sesuai dengan tujuan masing-masing tanpa ada yang merasa rugi atau dirugikan.
Terkait dengan fenomena kemiskinan yang terjadi, pemerintah dituntut untuk selalu aktif-progresif dalam menjalankan visi-misinya yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam pancasila sebagai falsafah negara Indonesia .
Hal prinsipil yang sangat membantu tercapainya visi-misi tersebut adalah kecakapan dan kelihaian pemerintah dalam membuat kebijakan dan mengatur sistem yang terkait dengan peningkatan bangsa dan negara. Bagaimana kebijakan tidak hanya bisa diambil “untung” oleh suatu pihak, sistem yang digunakanpun harus dengan pertimbangan-pertimbangan rasional sehingga tidak ada ketimpangan dalam prakteknya. Di samping itu, mereka juga harus memberikan suri tauladan dalam tindakan kesehariannya. Karena selama ini, pemerintah di mata masyarakat tak ubahnya manusia-manusia “beruang” yang selalu sikat sana sikat sini. Hal itu berdasaar pada bukti budaya korupsi yang sering kali dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan dalam sebuah lembaga.
Demikian beberapa hal yang menurut penulis sangat urgen sekali untuk dijadikan pertimbangan terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan yang kian meningkat di negara ini. Walau sering kali tulisan semacam ini muncul memenuhi media, tapi dalam tataran aplikasi belum sepenuhnya terwujud. Terakhir yang perlu dicatat adalah bahwa semua usaha tidak akan berarti tanpa ada dukungan penuh dari masyarakat, artinya sudah saatnya kita menjadikan masalah kemiskinan sebagai tanggung jawab kolektif yang harus kita perhatikan bersama.



*Penulis adalah SekUm PesMa IAIN Sunan Ampel
Tercatat sebagai Aktivis FoKSA

2 komentar:

  1. PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen akan sangat dirugikan karenanya. "Perlawanan Pihak Ketiga" mungkin salah satu solusinya.
    Permasalahannya, masihkah Anda mau perduli??

    David
    HP. (0274)9345675

    BalasHapus
  2. kalau yang peduli sekarang mungkin jarang mas...palagi pemerintah sekarang sudah mau enak sendiri...

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...