Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

SAATNYA KITA BERTOLERANSI

SAATNYA KITA BERTOLERANSI
Oleh: Tirmidzi*


Tidak dapat dipungkiri bahwa intoleransi bukan fenomena baru dalam perjalanan hidup keberagamaan kita. Sejak diciptakannya manusia, benih-benih intoleransi sudah tumbuh, terbukti dengan pertengkaran Habil dan Qabil sebagaimana tercatat dalam sejarah. Dalam islam, intoleransi muncul bersamaan dengan lahirnya islam itu sendiri. Sering kali Nabi Muhammad mendapatkan pelecehan, penghinaan, bahkan tindakan fisik dari masyarakat yang menganggap beliau telah “berkhianat” terhadap ajaran nenek moyang.
Pada masa sahabat, penyiksaan terhadap Bilal bin Rabah merupakan salah satu bukti konkret tindakan yang menyimpang dari ruh toleransi dalam beragama. Bukan hanya Bilal, masih banyak lagi para sahabat, termasuk khalifah yang empat, yang mendapatkan perlakuan yang sama disebabkan telah dianggap melanggar “aturan” keberagamaan masa itu.
Bukan hanya itu, tindaka intoleransi terus berkembang dan menjalar sampai zaman kita dewasa ini, baik antaragama maupun intra agama. Masih sangat lekat dalam ingatan kita kejadian di Poso, Kaltim, Madura, dan daerah-daerah lain yang memiliki dokumen suram mengenai tindakan intoleransi. Intinya, intoleransi tak ubahnya jamur yang setiap musim hujan atau ada hawa dingin bias tumbuh di mana dan kapan saja.
Kalau dalam konteks keindonesiaan, menurut pemikir muda NU, Zuhairi Misrawi (2007), benih intoleransi lebih tampak disebabkan oleh pemahaman keagamaan. Adanya kecemburuan, kecurigaan yang terformulasikan pada tindakan kekerasan merupakan minimnya pemahaman terhadap doktrin keagamaan. Menurutnya, tidak ada satu agamapun yang mengajarkan intoleransi terhadap pemeluknya, lebih-lebih islam yang secara nama sudah menunjukkan cinta perdamaian. Dengan demikian, menurut Zuhairi, claim truth dalam masalah keberagamaan apapun bentuknya tidak dapat dibenarkan.
Indonesia sebagai Negara yang plural merupakan lahan yang sangat potensial timbulnya claim truth tersebut. Dan hal itu sudah semakin tampak dalam kehidupan sehari-hari. Adanya satu kelompok yang menindas kelompok lain, satu suku yang mencemooh suku lain, kepercayaan yang mendiskreditkan kepercayaan lain, adalah keharusan sebagai dampak pluralitas dimaksud. Itulah tantangan terbesar yang sedang dan akan terus dihadapi oleh masyarakat sekarang dan di masa depan.
Walau demikian, sepertinya masyarakat belum memiliki kesadaran dan keinginan untuk merubah dan membangun kehidupan yang rukun dan penuh kepercayaan satu sama lain. Buktinya, sampai detik ini upaya yang mengarah pada toleransi dapat dibilang nihil. Toh walaupun ada, upaya itu hanya dilakukan oleh beberapa elemen yang sangat minim kuantitasnya.

Menyontoh Lebanon dan Vatikan
Pada tanggal 12-14 Oktober 2008 yang lalu, di Lebanon diselenggarakan program bilateral interfaith dialogue. Acara yang menyuguhkan tema “membangun budaya dialog di tengah pluralitas” itu terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Lebanon, dan Dar al Fatwa di bawah pengawasan menteri HE. Mr, Fuad Siniora. Dalam acara tersebut, beberapa tokoh lintas agama, kepercayaan, sekte, dan aliran dihadirkan. Tujuannya adalah untuk mencari kesepahaman dan titik temu sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati (toleran).
Belum lama kemudian, di Vatikan juga menggelar acara yang sama. Acara itu diprakarsai oleh raja Arab, Abdullah, setelah beliau mengadakan kunjungan ke Vatikan hari sebelumnya. Tidak jauh berbeda, acara itu berupaya membangun hubungan baru antara Arab dan Israel yang terjangkit konflik keagamaan yang berkepanjangan. Acara-acara dimuka diyakini akan memberikan income yang signifikan yaitu menumbuhkan saling pemahaman dan pengertian di antara pemimpin dan umat beragama, yang pada gilirannya aka melahirkan “bayi” toleransi.
Di Indonesia, acara-acara seperti itu sudah mulai berbenih. Ada beberapa kelompok yang menginginkan impian sebagaimana diimpikan oleh raja Arab dan Vatikan, sebut saja pemuda di Paramadina, P3M, LKiS, Lakpesdam NU, JIMM, JIL, ICIP, dan semacamnya. Oraganisasi-organisasi tersebut berupaya untuk mendialogkan perbedaan dan kekurangsepahaman antar pemeluk agama. Bahkan beberap bulan lalu di kota Malang Jawa Timur, menggelar dialog interaktif agama islam-kristen selama dua minggu lamanya dengan tema “melintasi prasangka untuk dan demi kehidupan bersama”. Dari tema tersebut sudah dapat diprediksi bahwa adanya kehidupan bersama secara damai merupakan dambaan setiap insan, termasuk di Indonesia segagai Negara beragama dan beragam.
Beberapa acara dimuka yang semestinya dilakukan oleh setiap orang dewasa ini mengingat konflik keagamaan yang semakin meningkat. Yang lebih ironis bahwa intoleransi mulai menjalar ke seluruh level kehidupan. Misalnya dalam berbudaya, masih sering kita dengar istilah budaya makar, budaya carok, budaya tawur, budaya korupsi dan semacamnya. Begitu juga dalam ranah sosial, pembantaian, pemerkosaan, penindasa masih terus memenuhi media masa kita. Sedangkan dalam politik dan ekonomi, tindakan intoleransi sering kita rasakan kebijakan yang kurang memihak dan perekonomian yang menindas. Jadi, sudah tiba waktunya untuk meniru raja Arab dan Vatikan dalam merubah kometmen keberagamaan, dari keberagamaan tertutup menjadi lebih terbuka.
Bagaimana kita bisa membangun budaya untuk selalu mendialogkan perbedaan, sehingga kita bisa mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Akhirnya, perbedaan tidak lagi menjadi sumber tumbuhnya intoleransi tapi dapat menjadi inspirasi dan rahmat. Kalau istilah Nurcholis Madjid, bagaimana kita bisa bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.

Dari Wacana menuju Praktek
Apa yang telah dicontohkan oleh Raja Arab dan Vatikan dimuka perlu kita apresiasi secara positif. Acara tersebut telah memberikan inspirasi betapa pentingnya dialog dalam membentuk sebuah pemahaman keagamaan, utamanya dalam kehidupan yang penuh ragam. Dari acara itu pula kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam membangun budaya—termasuk dialog—diperlukan partisipasi seorang tokoh sebagai pionirnya.
Namun perlu diingat bahwa acara yang demikian belum sepenuhnya sempurnya. Dialog atau wacana tidak berarti apa-apa tanpa praktek. Disini penulis teringat pendapat yang menyatakan bahwa sumber keberagamaan manusia terformulasikan dalam dua hal yaitu teks dan konteks. Ketika mereka dapat memahami kedua sumber tersebut secara komprehensif dipastikan keberagamaannya lebih mantap.
Kalau dilihat, sepertinya formulasi tersebut sangat sederhana. Akan tetapi ketika diteliti, dua sumber tersebut mengandung pemahaman yang sangat luas. Kalau penulis melihat bahwa teks tersebut merupakan symbol wacana, di mana teks itulah yang akan membuka pintu dialog, sedangkan konteks merupakan representasi praksisnya. Intinya, dialog dan tindakan praktis hendaknya dijadikan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam islam, hal demikian disinggung langsung oleh Nabi dalam hadisnya, al ‘ilmu bila ‘amalin ka al syajari bila tsamarin; ilmu—termasuk yang didapat melalui teks dengan proses dialogis—tanpa praktek tak ubahnya pohon yang tidak berbuah, tidak dapat memberi manfaat bagi lingkungannya.
Jadi, kalau dikaitkan dengan penjelasan di muka, dialog tidak akan membuahkan hal yang berarti tanpa pengejawantahan dalam tindakan riil. Kita berdialog tentang toleransi, tanpa praktek nyata maka perdamaian hanya tinggal wacana, tidak akan dapat kita wujudkan. Sebagai kata akhir, penulis hanya dapat menegaskan: mari kita berdialog, mari kita praktekkan, sudah saatnya kita bertoleransi. Wallahu ‘a’lam bi al showab.



*Penulis adalah Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jur. THI,
dan Mahasantri PesMaIAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...