Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

MEMAKNAI QURBAN PEDULI KORBAN

MEMAKNAI QURBAN PEDULI KORBAN
Oleh: Tirmidzi*


Dalam bahasa arab, qurban adalah bentuk mashdar dari kata kerja qoruba-yaqrubu yang berarti dekat atau mendekatkan diri. Secara terminologi, istilah qurban memiliki arti penyembelihan binatang ternak di bulan haji sebagai salah satu ritual (ibadah) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semisal ritual lainnya seperti sa’ie, mabit dan melempar jumrah. Dalam Islam, ritual qurban dilaksanakan sebagai representasi sejarah nabi Ibrahim selaku bapak para nabi (abu al ambiya) atau juga dikenal sebagai “bapak orang-orang beriman” dalam tiga tradisi agama semitik Yahudi, Kristen, dan Islam.
Allah SWT. dalam al-Quran, beberapa abad yang lalu, telah melansir kisah Ibrahim sebagai landasan teologis disyariatkannya ibadah qurban. Didiskripsikan bahwa Ibrahim kala itu sangat mendambakan seorang anak yang saleh. Keinginan beliau kemudian dipenuhi oleh Allah dengan mengaruniakan anak yang sabar. Tatkala anaknya, Ismaiel, sampai pada umur (sanggup), beliau bermimpi bahwa Tuhan memerintahkan untuk menyembelih anak satu-satunya dan sangat dicintai dan disayangi. Dengan pertimbangan dirinya dan anaknya, beliau rela mengorbankannya demi melaksanakan perintah Tuhan. Dalam diri keduanya tidak ada rasa takut sedikitpun yang ada hanyalah pasrah (Islam) penuh keikhlasan (QS. As Shafat:100-103).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa qurban berorientasi pada pencapaian predikat takwa dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui ritual penyembelihan. Dalam ayat lain Allah berfirman: Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan Telah terikat). Kemudian apabila Telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami Telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al Hajj: 36-37).

Memaknai Qurban
Kalau kita membaca lebih jauh ayat-ayat al-Quran tentang taqorrub, maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih jauh dan mendalam yaitu bahwa ketakwaan dapat dicapai dengan dua jalan, vertikal dan horizontal. Secara vertikal dapat ditempuh dengan berhubungan langsung dengan Tuhan melalui rutual semisal shalat dan puasa. Sedangkan secara horizontal dapat dicapai dengan menjalin hubungan baik, jujur, adil terhadap sesama, dan semacamnya. Nurul Huda (2002) menjelaskan bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus menjadi kesatuan yang utuh untuk mencapai predikat takwa sejati.
Kaitannya dengan qurban, ritual ini juga tidak lepas dari dua dimensi tersebut. Secara vertikal, qurban merupakan salah satu media taqorrub dan mengingat Tuhan yang maha kaya dan maha pemberi. Sedangkan secara horizontal, qurban dapat dijadikan sarana untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan sosial. Dalam dimensi myang kedua ini, qurban paling tidak memiliki tiga aspek: pertama, materiil. Aspek ini adalah aspek yang paling mudah difahami, oleh orang awam sekalipun.
Kedua, moril. Aspek ini dapat dilihat dari kesabaran, ketabahan, dan kerelaan seseorang untuk mengorbankan salah satu binatang ternaknya yang sulit dilakukan kecuali oleh orang yang benar-benar mantap keimanannya. Ketiga, spiritual. Spiritual disini mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang non materiil. Secara subtansial, aspek ini telah mencakup aspek moril sebagaimana disebutkan.
Dalam aspek ini, Rasyid Ridha menyatakan bawha qurban melambangkan perjuangan ketakwaan dan kebenaran yang harus melibatkan kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan. Ali Syari’ati menjelaskan lebih jauh, sebagaimana dikutip oleh Husein Muhammad, bahwa ibadah qurban yang diungkapkan dengan penyembelihan hewan qurban adalah symbol pembunuhan ego dan sifat-sifat kebinatangan yang melekat dalam diri umat manusia.
Dengan paparan di muka, jelas bahwa qurban bukan hanya ibadah simbolik-formasiltik, akan tetapi qurban mengandung sesuatu yang sangat esensi berupa nilai-nilai esoteris-spiritualistis di samping juga nilai sosial yang terselubung di dalamnya. Kalau meminjam bahasa Zuhairi Misrawi: ibadah yang orientasinya melangit sekaligus membumi.

Momentum Qurban untuk Korban
Dewasa ini, kehidupan manusia telah mengalami pergeseran hampir dalam setiap lini kehidupan. Kesejahteraan, perdamaian, keadilan sosial, yang merupakan cita-cita dan kometmen hidup mereka hanya berlaku dalam tataran wacana belaka sedangkan dalam prakteknya sangat nihil. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, kekerasan, pertikaian, korupsi, dan tindakan amoral lainnya tumbuh subur di bumi pertiwi ini.
Ironisnya, yang menjadi objek tindakan tersebut mayoritas adalah masyrakat akar rumput. Merekalah yang menjadi korban utama dan pertama dari segala pergeseran yang terjadi, baik dalam kehidupan beragama, budaya, sosial, lebih-lebih politik. Masih sangat lekat kiranya beberapa fenomena yang akhir-akhir ini terus memenuhi media massa semisal kasus lapindo, kelangkaan pupuk, korupsi, prediksi pemutusan hubungan kerja, korban banjir, dan problem lainnya. Intinya, akhir-akhir ini, sangat terasa bahwa bumi pertiwi ini bagaikan “dunia korban”. Pertanyaan yang muncul kemudian, siapakah yang akan rela berkorban untuk menyelesaikan problema keumatan tersebut?. Di sinilah kiranya hari idul qurban menemukan momentumnya.
Di awal tulisan telah dijelaskan bahwa qurban memiliki dimensi sosial. Dimensi itulah sepertinya yang dapat dijadikan sebuah refleksi terkait dengan fenomena “dunia korban” yang semakin tumbuh subur. Bagaimana hari qurban yang sudah di depan mata tidak hanya dilalui begitu saja, akan tetapi dijadikan landasan untuk menumbuhkan kometmen baru (new commitment) dalam memerhatikan fenomena sosial, utamanya terkait dengan problematika yang semakin kompleks, sehingga dengan demikian banyak orang yang rela berkorban untuk memerjuangkan kehidupan para korban sebagaimana Ibrahim mengorbankan anaknya untuk memerjuangkan keimanan dan ketakwaannya. Tidak lupa pula, momen ini bias dijadikan media untuk memberangus sifat-sifat kebinatangan yang masih lekat dalam setiap pribadi sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syari’ati.
Sekali lagi semoga hari qurban tahun ini bukan hanya sekedar ritual usang yang tanpa makna, tapi benar-benar menjadi media untuk meningkatkan kepedulian kita pada sesama dan memiliki implikasi positif berupa revolusi keimanan dan ketakwaan yang tentu nantinya diharapkan dapat berpengaruh pada tindakan dan perilaku dalam konteks yang lebih riil dengan tanpa melupakan kevertikalan ritual ini. Berkorban bukan hanya memerjuangkan kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan sebagaimana tradisi dewasa ini, tapi berkorban untuk kepentingan masyarakat secara luas, khususnya mereka yang hidup di dalam “dunia korban”. Wallahu a’lamu bi al showab.



*Penulis adalah Mahasiswa THI. Fak. Ushuluddin
dan Mahasantri PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 komentar:

  1. Mohon Ijin untuk mempublish di media buletin kami edisi bulan nopember ini dengan nama dan sumber kami sebutkan....jzklh. ini web kami www.harfapandeglang.org

    BalasHapus

Tahnks atas komentarnya...