Selamat Datang di tirmidzi85.blogspot.com, Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

Jumat, 03 April 2009

OLITIK DAN PEMBEBASAN MASYARAKAT

POLITIK DAN PEMBEBASAN MASYARAKAT
Oleh: Tirmidzi*


Politik dalam kehidupan manusia menjadi suatu yang tidak dapat dielakkan. Mulai sejak awal terciptanya kehidupan, politik telah muncul yang tentunya sesuai dan seimbang dengan realitas zamannya. Sampai saat ini fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, bangsa, provinsi, kota, masyarakat internasional, asosiasi, sarikat buruh, suku, golongan, dan rupa-rupa kelompok campuran lainnya.
Secara sederhana, Pius A Partanto, dalam kamus ilmiah populernya, mendefinisikan politik sebagai sebuah kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapat kekuasaan. Definisi tersebut menginspirasikan bahwa politik sebagai media, sikap dan tindakan, sedangkan kekuasaan adalah orientasi capaiannya.
Di situlah letak keterkaitan antara politik dan kakuasaan. Jadi, ketika ada pembahasan politik, maka kekuasaan dan pemegang kekuasaan harus dilibatkan. Jika hal itu dikaitkan dengan wacana yang beredar di negara kita, maka jelas masyarakat sebagai pemegang kekuasaan juga harus menjadi vokus pembicaraan karena nagara kita menganut sisitem demokrasi, sistem yang akan mengedepankan kepentingan masyarakat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi pada kenyataannya masyrakat hanya menjadi objek yang tidak pernah dilibatkan dalam kancah politik. Yang lebih ironis, masyarakat hanya dijadikan tumbal dari permainan politik yang berlangsung.

Antagonisme Politik
Dalam tradisi wacana perpolitikan negara ini—termasuk di Jawa Timur—sering kali terjadi pembacaan sebelah mata antara politik dan kekuasaan. Artinya, keduanya tidak dipadukan secara seimbang, politik adalah sesuatu sedangkan kekuasaan adalah sesuatu yang lain. Bahkan pemegang kekuasaan (masyarakat) menjadi diskursus yang tidak tersentuh. Hal itu dapat dilihat dari adanya politisi dengan orientasi kekuasaan yang kurang jelas, juga dari adanya penguasa yang menggunakan politik ngawur untuk melanggengkan kekuasaannya. Di samping itu, minimnya pemerintah yang peduli terhadap masyarakat bawah juga dapat dijadikan salah satu bukti konkretnya.
Fenomena demikian menunjukkan bahwa benih-benih antagonisme politik mulai berkembang biak dalam tradisi perpolitikan dewasa ini. Antagonisme politik dimakasud adalah adanya pemikiran atau bahkan faham yang memandang bahwa antara politik, kekuasaan dan pemegang kekuasaan terdapat sekat atau bahkan ketidakteraturan dan perlawanan. Politik sudah tidak sejalur dengan kekuasaan, kekuasaan telah lepas kontrol dari pemegangnya, sedangkan pemegang kekuasaan sengaja dibuat buta dengan fenomena politik yang berkembang. Demikianlah benih-benih antagonisme politik yang berkembang biak dewasa ini. Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi perkembangan antagoneisme tersebut?.
Maurice Duverger (1998), seorang profesor sosiologi politik pada fakultas hukum dan ekonomi di salah satu universitas Paris, melansir bahwa sebab-sebab timbulnya antagonisme politik dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama adalah individual. Dalam hal ini beliau menyontohkan kecerdasan pribadi seperti profesionalitas, kapabelitas, kecakapan dan faktor-faktor psikologis lainnya. Sedangkan yang kedua adalah kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan stratifikasi sosial, pandangan politik, dan faktor-faktor sosiokultural dan politik lainnya.
Kalau dalam konteks Jatim, kategori yang pertama dapat dilihat dari adanya ketidakcakapan sebagaian pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang semakin membabi buta, pengentasan kemiskinan, pemulihan ekonomi, dan semacamnya. Di samping itu, rencana kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri sebagian mereka mengindikasikan minimnya kesadaran moral dan jiwa empati yang ada dalam pribadi mereka. Di tengah maraknya problematika yang menimpa jatim, seperti pendidikan rendah, balita kurang gizi yang saat ini mencapai 511.500 jiwa, mereka masih ingin kunjungan dengan orientasi yang kurang jelas dan banyak mendapat kritik dari beberapa kalangan.
Sedangkan kategori yang ke dua dapat kita lihat dengan adanya persaingan konstan antarelit politik atau antara mereka dengan masyarakat sehingga terjadi kesenjangan antara oknum dimaksud. Maraknya politik uang (money politic) dan politik keluarga sebagaimana terjadi saat ini juga dapat dikategorikan dalam kategori yang kedua ini.

Politik yang Membebaskan
Pada hakikatnya gema pembebasan masyarakat telah berdengung sejak dahulu. Salah satu tokoh kesohor yang masih lekat dalam ingatan adalah Paulo Freire. Pada tahun 2000, dia menulis sebuah buku dengan judul “Islam dan Pembebasan”, pada kesempatan lain dia juga menerbitkan karyanya yang bertemakan “Pendidikan yang Membebaskan”.
Mengapa dia sering kali mengangkat tema pembebasan?. Salah satu jawabannya adalah karena sampai saat ini masyarakat belum terbebaskan secara politik. Mereka masih terbelenggu oleh aturan-aturan yang tidak sejalan dengan ruh demokrasi dan kebebasan. Dengan pembebasan tersebut, dia ingin menghilangkan segala bentuk eksploitasi, dominasi, penindasan, ketidakadilan, dan tindakan-tindakan lain yang menyusahkan masyarakat. Dia ingin membangun masyarakat baru, yang awalnya hanya tunduk dan patuh menjadi masyarakat yang ingin bersaing dan sedikit berfikir. Kalau meminjam bahasa Paulo Freire: ingin merubah masyarakat kerucut (submerged society) menjadi masyarakat yang terbuka (open society). Itulah yang menjadi cita-cita suci seorang Paulo Freire.
Kenyataan membuktikan bahwa mayoritas masyarakat kita dewasa ini masih berada dalam level tunduk dan patuh yang tidak dilandasi dengan pengetahuan dan sikap kritis sebagaimana dipersepsikan Paulo Freire. Terbukti, pada pemilihan gubernur kemaren, banyak di antara mereka yang tidak mengetahui latar belakang para kandidat, baik politik, kapasitas keilmuan, leadership, mereka mudah terbuai dengan uang politik (money politic) dan janji-janji politik tanpa ada sikap kritis sedikitpun. Memang diakui bahwa untuk mewujudkan cita-cita suci tersebut sangat sulit, tidak semudah membalik telapak tangan. Kesulitan-kesulitan baik teknis maupun non teknis akan hadir dalam setiap kesempatan. Tapi kesulitan demikian dapat dijadikan sebuah tantangan ketika kita benar-benar memiliki niat dan kometmen untuk membuka gerbang pencerahan politik dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu tawaran yang cukup represntatif untuk mewujudkan politik yang membebaskan adalah dengan membangun kesadaran kritis masyarakat. Dalam hal ini Paulo Freire menegaskan bahwa seluruh masyarakat harus berperan aktif untuk menumbuhkan kesadaran antarsesama. Para ulama misalnya menjadikan khutbah menjadi media, tenaga pengajar dengan pendidikan, politisi dengan kekuasaan yang dimilikinya, sastrawan dan budayawan dengan sastra budayanya, dan sebagainya.
Kesadaran kritis ini diperlukan supaya masyarakat tidak terus menjadi ekor, supaya tidak hanya menerima kenyataan apa adanya tapi bagaimana mereka bisa menanyakan meneliti sumber penyebabnya atau melakukan kontrol politik serta berani mengungkap ketika ada ketimpangan dalam setiap fenomena yang terjadi. Pemilihan gubernur putaran kedua sudah tinggal hitungan jari. Dalam momen itu, masyarakat diharapkan untuk bersikap kritis, tidak hanya karena ada embel-embel uang lalu memilih, bukan karena terbuai dengan janji-janji politis kemudian tunduk. Perlu diingat bahwa pilgub sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan hidup mereka. Dengan demikian, sikap kritis dalam menentukan sebuah pilihan secara otomatis merupakan upaya dalam perbaikan kehidupan mereka sendiri.



*Penulis adalah Alumni PP. Annawari Seratengah Bluto Sumenep

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahnks atas komentarnya...